TOLERANSI PLURALISTIC: Finalitas Kristus Menjadi Dasar Toleransi Beragama Di Indonesia


TOLERANSI PLURALISTIC:
Finalitas Kristus Menjadi Dasar Toleransi Beragama Di Indonesia
Oleh: Martinus Pius, S.Th., M.Pd.

Abstrak
Dari seluruh konflik yang terjadi di Indonesia, harus diakui bahwa persoalan kemajemukan agama menjadi hal terdepan dan terpenting untuk diperhatikan oleh pemerintah dan seluruh elemen bangsaTiga pendekatan kontenporer yang dilakukan kelompok Kristen untuk membangun toleransi beragama, yaitu melalui pendekatan Realitas Global, Pendekatan Inklusivisme, dan Pendekatan PluralisKasih Allah itu universal, diberikan kepada semua bangsa, bahkan pada agama apapun itu, namun kasih itu juga partikular, diberikan secara nyata di dalam Kristus Yesus.
Kata Kunci: Toleransi Beragama, Pluralistik, Kristologi, Kasih.



Pendahuluan
Berbeda orang berbeda presepsi atau pemahaman tentang arti toleransi (Different people different preceptions of tolerantoins). Berbeda budaya dan agama, berbeda juga opini atau pendapat tentang makna toleransi (Different cultures and religions also have different opinions about tolerantoins). Keberagaman suku bangsa bahasa (language) dan budaya (culture) serta  agama (religius) di Indonesia adalah, salah satu daya tarik Negeri ini di kancah Internasional. Indonesia juga merupakan bangsa yang dikenal oleh dunia luar sebagai bangsa yang beradab, bangsa yang ramah, sopan santun, dan lemah lembut. Dan kekayan keragaman suku bangsa, budaya dan agama tersebut jua merupakan potensi besar dalam membangun dan mengembangkan bangsa Indonesia untuk lebih maju sehingga mampu bersaing di kancah dunia internasional. Selain keungulan tersebut, ternyata pluralisme agama ini juga mengindikasikan rawan terciptanya persoalan disintegrasi bangsa serta dapat memicu munculnya konflik horizontal secara holistik terhadap sendi-sendi kehidupan beragama di negeri ini (Sumarsono dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Gramedia, 2004), xi.,
Kalau merenungkan kembali sejarah bangsa Indonesia (history of Indonesian), suatu momentum dan karya besar anak bangsa yang mendeklarasikan “Sumpah pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928 yang mengaku bertanah air satu, berbahasa satu, dan berbangsa satu, yaitu: tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia (Pandji Setiji, Pendidikan Pancasila Perspektif  Sejarah Perjuangan Bangsa  (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009).38). Apa yang telah dicapai oleh generasi muda pada masa lampau merupakan wujud pencapaian sebuah impian lewat suatu perjuangan yang besar, dan untuk saat ini spirit perjuangan itu harus terus dikobarkan mengingat konflik-konflik horizontal akhir-akhir ini semakin meningkat secara signifikan, yang berpotensi memecah persatuan dan kesatuan bangsa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita.
Dari seluruh konflik yang terjadi di Indonesia, harus diakui bahwa persoalan kemajemukan agama menjadi hal terdepan dan terpenting untuk diperhatikan oleh pemerintah dan seluruh elemen bangsa, mengingat hal ini akan memicu persoalan yang dapat memporakporandakan integrasi bangsa seperti ditulis olrh Stevri Indra Lumintang dalam karyanya “Teologi Abu-abu” yang dikuti Warisman Harefa, dalam jurnal Teologi SALEM:
Namun harus diakui, dari semua kekayaan sekaligus keungulan Indonesia di mata dunia, maka agama dengan persoalan kemajemukannya, adalah sangat terdepan dalam hal rawan menyulut api peperangan yang dapat memporakporandakan integrasi bangsa. Pemerintah dan semua elemen masyrakat sangat berhati-hati sekali dengan bahaya ini, sehingga agama dengan persoalannya diberi perhatian khusus dan “diusap-usap” bagaikan bayi yang dijaga untuk tidak menangis dan meronta-ronta. (Warisman Harefa, Coram Deo Jurnal Teologi STT Salem Edis).

Perlu dicermati bahwa konflik yang terjadi di Indonesia lebih kepada konflik antara agama Islam dan Kristen. Konflik yang terjadi dapat diklasifikasikan mulai dari konflik fisik sampai kepada konflik di ranah politik. Hal yang harus diperhatikan, konflik ini cendrung muncul ke permukaan menjadi konflik yang bersekala besar bila warga Negara Indonesia tidak menghargai toleransi beragama. Problem ini dilatarbelakangi sejarah yang sangat panjang antara perjumpaan Islam dan Kristen. Diawali oleh perang salib dari tahun 1099- 1229 selama enam kali hingga peristiwa masuknya kekristenan di Indonesia bersamaan dengan kehadiran bangsa penjajah (Ibid., 264-265).
Beberapa sumber menunjukan ada beberapa konflik yang bernuansa agama di Indonesia: Pembakaran Gereja di Halmahera pada 14-15 Agustus 2002, peristiwa berdarah yang terjadi di Poso Desember 2003, penyerangan terhadap gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) (Sholihah & Muhammad Sultan, http:// www.docstoc.com/docs/22431733). Konflik Maluku merupakan tragedi yang besar karena kelompok jihad dari berbagai daerah di tanah air datang membantu sesamanya, Islam di Maluku (Steveri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu…,268). Tidak sampai disitu konflik antar agama terjadi lagi baru-baru ini di Papua pengerusakan sebuah bangunan Musolah tempat umat Muslim beribadah oleh pihak Kristen di Papua tanggal 23 September 2015. Dan disusul lagi dengan pembakaran belasan rumah Ibadah pada bulan Oktober 2015 di Singkil, Aceh oleh orang-orang muslim fundamental yang tidak senang dengan kehadiran kekristenan disana.
Konflik-konflik yang dijelaskan di atas menyayat-nyayat hati bangsa karena bukan hanya mengusik ketenangan dan ketentrman, melainkan juga telah mengkhianati cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila butir ke-3 “Persatuan Indonesia”, serta telah mengoyak dan menginjak-injak nilai dari slogan atau moto bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” (meski berbeda namun tetap satu) (UUD 1945 Amandemen I,II,III dan IV.31). Meskipun persoalan di atas telah ditangani oleh pihak pemerintah dengan baik, satu hal yang menjadi bahan perenungan saat ini ialah: sudahkan pemeluk agama di Indonesia hidup berdamai? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat lihat dari gambaran yang sebenarnya. Sidang tahunan MPR pada tanggal 18 Agustus tahun 2000, suatu sidang yang diwarnai dengan usulan untuk mencantumkan kembali tujuh kata yang mengundang kontroversi dari berbagai tokoh-tokoh dan kelompok masyrakat. Ketujuh kata tersebut adalah “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam sidang tersebut ada dua fraksi besar yang mengusulkan pemberlakuan Piagam Jakarta adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB). Sangat jelas dalam pernyataan ini bahwa, “Sasaran sebenarnya pendirian Negara Islam adalah terciptanya suatu Negara yang didalamnya Ideologi Islam dapat diterapkan secara utuh (Al-Maududi A’la, The Islamic Law and Constitution, (Lahore: Pakistan:Islamic Publication,1975:39).”
Indikasi kuat berbagai usaha perjuangan pemberlakuan “Piagam Jakarta” yang didalamnya berisikan hal-hal berikut ini:  oleh kelompok Islam fundamental ini terwujud pada maraknya partai politik (Parpol) berbasis agama. Siti Musdah Mulia dalam karyanya “Potret Organisasi Berbasis Agama dan kekerasan di Indonesia pada Era Reformasi”, menuliskan: Paling tidak ada tiga implikasi pentingnya dalam lengsernya rezim Orde Baru dan kebebasan yang mengikutinya. Implikasi pertama adalah berdirinya partai politik(Parpol) Islam yang mengadopsi Islam sebagai basis partai mereka. Perlu dicatat bahwa antara bulan Mei dan Oktober 1998, 42 parpol yang bisa dikatagorikan sebagai partai Islam” telah berdiri. Agenda parpol-parpol Islam tersebut adalah mengadovokasi penerapan Syariah secara formal di Negara Indonesia. Implikasi kedua adalah menjamurnya organisasi-organisasi berbasis agama, terutama agama Islam yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe: Eksklusif, moderat, dan frogersif. Kelompok eklusif adalah orang-orang yang percaya bahwa mereka memiliki tugas suci untuk menerapkan keyakinan mereka kepada seluruh masyrakat dengan menghalalkan berbagai cara, termasuk dengan cara kekerasan dan terror (ISIS). Implikasi ketiga adalah maraknya tuntutan untuk menerapkan Syariah secara formal dibeberapa wilayah di Indonesia. Aceh adalah propinsi pertama yang menuntut penerapat syariah. Hingga Juli 2006, tercatat 56 bupati atau walikota menyatakan keinginan mereka untuk menerapkan aturan syariah Islam di wilayah  mereka (DEarwis Khudori,  Maraknya Gerakan Politik Berbasis Agama, (Yogyakarta:Universitas Santa Dharma,2009), 181-182).
Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya problematika antar agama di Indonesia belum selesai tetapi mengambil bentuk yang berbeda. Insaf Albert Tarigan menuliskan, “Lebih dari itu, intoleransi telah disebarkan sedemikian rupa oleh perangkat pemerintah dalam bentuk peraturan daerah (perda) diskriminatif yang dalam berbagai kasus justru menjadi alat legitimasi kekerasan terhadap kaum minoritas.”
Kondisi Indonesia di atas dapat disimpulkan pada suatu pernyataan yang mengatakan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dengan konflik/pertikaian adalah suatu fakta. Kondisi tersebut mengundang semua tokoh-tokoh agama untuk mengkaji penyelesaian konflik agama yang berkepanjangan di Indonesia. Tak terkecuali agama Kristen mencari solusi untuk membangun pendekatan-pendekatan dengan melakukan reinterpretasi ajaran agama untuk membangun jembatan perdamaian di Indonesia. Ada tiga pendekatan kontenporer yang dilakukan kelompok Kristen untuk membangun toleransi beragama, yaitu melalui pendekatan Realitas Global, Pendekatan Inklusivisme, dan Pendekatan Pluralisme. Kita akan melihat tiga pendekatan kontenporer ini serta mentransformasikan kembali terhadap pendekatan Kristen dalam membangun toleransi beragama.

Pendekatan Realitas Global
Yang dimaksud dengan realitas global adalah suatu kenyataan bahwa semua manusia terlibat memberi tanggapan etis terhadap masyrakat global, yang dapat dianggap dapat bermanfaat bagi keseluruhan manusia. Penekanan pada pendekatan ini adalah tanggapan etis yang bermanfaat bagi keseluruhan manusia. Orang-orang yang memperjuangkan pendekatan realitas global ini dipengaruhi, seperti yang dijelaskan oleh Cook, dan dikutif oleh Warisman Harefa, oleh “Shock of Similarty”, pada waktu mereka menemukan ajaran yang sama dari semua agama, mereka pandang sebagai konsensus bersama (Warisman Harefa, Coram Deo, Jurnal Teologi SALEM…,57). Konsensus bersama ini dijadikan tuntutan mendasar karena dalam semua agama ajaran-ajaran yang sama ini disebut dengan kaidah kencana (Golden Rule), “jangan lakukan sesuatu pada sesamamu, yang engkau tidak ingin sesamamu lakukan padamu”.
Pendekatan realitas global lebih berfokus pada usaha menemukan suatu ajaran-ajaran etis yang dapat diterima semua agama di dunia sebagai pengajaran yang bersumber dari mereka. Karena dianggap “Kaidah Kencana” ternyata terbesar dalam seluruh tradisi keagamaan dunia. Hal ini sebagai tujuan untuk membangun manfaat pada penghargaan terhadap kehidupan bersama sebagai manusia, menghadapi masalah-masalah konkret yang secara global dihadapi bersama. Pentingnya memahami kaitan ini disebabkan munculnya semangat toleransi yang baru dalam kekristenan yang mencoba menghancurkan teologi dengan membangun etika bersama (etika global).
Etika global yang dimaksud adalah etika yang dibangun diatas dasar prinsip-prinsip kebenaran yang diakui oleh semua agama-agama di dunia ini. Isu penting adalah bahwa dokumen etika Global tidak bertitik tolak dari masalah dokmatis-teologis tetapi dari masalah-masalah konkrit yang dihadapi bersama. Oleh karena itu, yang disepakati adalah tuntutan mendasar yang diajarkan oleh semua agama, yang dipandang sebagai consensus bersama, yaitu setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi.
Pendekatan Realitas Global bagi mereka yang mendukungnya menganggap bahwa upaya ini merupakan titik terang untuk membangun toleransi beragama. Dengan hanya berporos pada dimensi kosmis sebagai isu yang dianggap serius dan mengabaikan serta menengelamkan isu teologis, untuk mencapai pefrjumpaan antar-iman, maka sesungguhnya segala usaha yang dikerjakan oleh kelompok Kristen ini bukan suatu kemajuan dalam kekristenan melainkan tanda kemunduran dan kegagalan memahami iman dan mengaktualisasikan dalam dunia majemuk.
Kekristenan merupakan suatu sistem maka ajarannya merupakan satu kesatuan (unity) sehingga memahami satu bagian teks alkitab tidak terlepas dari pemahaman dengan teks keseluruhan alkitab serta pusat dari keseluruhan berita alkitab yaitu Yesus Kristus. Dalam konteks semacam ini, memandang adanya suksesi-suksesi yang berkolerasi antara ajaran-ajaran Kristen dengan agama lain, apa yang disebut dengan kaidah Kencana, tanpa menjunjung tinggi presaposisi Kristiani, maka kita tidak dapat menghindarkan diri dari sinkritisme agama.
Upaya menyamakan dan memperdamaikan prinsip-prinsip agama melalui generalisasi dengan tujuan untuk menetapkan kesatuan cara pandang agama yang dapat diterima semua orang, adalah penghianatan terhadap kesetiaan pada kebenaran itu sendiri dan menjual diri pada cita-cita sinkritisme kepercayaan. 




Pendekatan Inklusivisme
 Dalam hal meminimalisasi konflik diantara agama-agama, pendekatan inklusifisme menjadi suatu solusi yang dianggap cukup baik dan efisien bagi tercapainya keharmonisan diantara agama-agama.  Pendekatan ini umumnya lebih diterima ketimbang pendekatan eksklusivisme maupun pluralisme, karena posisi inklusivis merupakan suatu posisi keterbukaan terhadap sesuatu dari luar atau yang berlainan dan mempersilahkan yang berlawanan mendapat bagian di dalam dirinya. Wikipedia Free Encyclopedia, menjelaskannya pendekatan inklusif, demikian: “Traditional inclusivism, which asserts that the believer’s own views are absolutely true, and believers or other religions are correct insofar as they agree with that believer.” Sikap inklusif ini akan pada saat menghadapi kontradiksi yang nyata, misalnya suatu pembedaan yang perlu pun dapat dibuat antara tataran-tataran berbeda sehingga dimungkinkan untuk mengatasi kontradiksi tersebut. Sikap penerimaan yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, akan lebih mudah tercapai.
Sikap ini menerima ekspresi ‘kebenaran’ yang beraneka ragam sehingga dapat merengguh sistem-sistem pemikiran yang paling berlainan sekalipun, ia terpaksa membuat kebenaran bersifat relatif murni. Dalam hal ini kebenaran doktrinal hampir tidak bisa diterima sebagai yang universal. Dalam hal ini, inklusifisme berarti semua agama lain memiliki otentisitas masing-masing, tetapi hanya jika mereka masuk (to be included/inclusive) ke dalam bingkai kekristenan yakni jika agama-agama itu masuk untuk berjumpa Yesus Kristus di dalam kekristenan maka serentak dengan itu, mereka mendapat kepenuhan/ kegenapan kesempurnaannya. Hanya dengan gerak sentripetal (masuk ke pusat, yakni Yesus Kristus), maka agama-agama lain itu tiba pada, atau ditransformasi pada kesempurnaan. Hanya dengan bertemu Yesus, agama-agama lain berubah dari bulan sabit menjadi bulan purnama, dari samar-samar menjadi terang benderang. Walaupun terbuka, inklusivisme masih berdiri atas presaposisi keutamaan/ supremasi/ keunggulan Yesus Kristus dibandingkan para tokoh-tokoh suci pendiri agama lainnya.

Filosofi: The Wideness of God
Dalam pendekatan inklusivisme, salah-satu titik acuan penerimaan secara toleransi kepada agama-agama lain adalah pemahaman mereka akan kasih Allah yang sifatnya universal, dimana penekanan kaum inklusif terletak pada kehendak Allah yang universal yang menginginkan semua manusia diselamatkan. Bagi Pinnock, seorang yang berpandangan inklusivisme secara eksplisit dan komprehensif mempertahankan pandangan bahwa pada akhirnya sebagian benar manusia akan diselamatkan karena universalitas kasih-Nya. Hal ini tidak berarti Pinnock menyetujui universalisme atau pandangan liberal-pluralistik yang menolak keontetikan, keunikan, finalitas inkarnasi Kristus. Konsep The Wideness of God berusaha memahami universalitas Allah dari sisi sifat jangkauan anugrah-Nya yang luas. Ini berarti Allah memperhatikan, membuka diri-Nya, dan berusaha menetapkan jangkauan keselamatan secara luas kepada semua orang dalam segala bangsa, termasuk kepada mereka yang berada dalam agama-agama lain. Aspek keterbukaan Allah ini didasarkan oleh Pinnock pada sifat dasar “Allah yang adalah kasih”, yang mengkomunikasikan diri-Nya secara universal kepada semua manusia lewat aksi dan reaksinya di hadapan mereka.
Kasih Allah yang universal inilah merupakan komitmen Allah untuk menyelamatkan semua manusia. Dalam hal ini, Rahner dalam pendekatannya menekankan ajaran yang sama bahwa Tuhan itu kasih adanya. Dengan membentangkan lebih jauh akan makna dari Tuhan yang kasih itu, ia menjelaskan demikian, kalau Tuhan itu kasih di dalam 1 Yohanes 3:8, maka artinya bahwa Tuhan itu mau menjangkau dan merangkul semua orang dan makhluk hidup. Baginya, Allah itu mengaruniakan rahmat keselamatan kepada tiap-tiap orang. Sebab kalau tidak, berarti Tuhan itu tidak mengasihi tiap-tiap orang. Intinya, karya keselamatan atau penebusan dilakukan dengan dua saluran anugrah: pertama: anugrah yang menyelamatkan (saving grace), yaitu melalui universalitas penebusan Kristus yang ditawarkan dengan luasnya kepada semua orang (Yoh 3:16); kedua, penebusan kosmis aktifitas Roh Kudus dapat menolong kita untuk mengkonseptualisasi dan mengimplementasi anugrah (kasih) Allah.
Karena anugrah Allah bekerja secara tidak terbatas dan secara berganda, maka ada harapan yang besar bahwa semua manusia dapat diselamatkan. Implikasi dari universlitas atau pelebaran Kasih Allah ini menegasakan bahwa Allah berkeinginan menyelamatkan semua orang dalam anugrahnya, dan Allah Anak membuat keselamatan ini menjadi mungkin melalui pekerjaan penebusan-Nya, dan Allah Roh Kudus menjangkau secara universal orang-orang yang terhilang dan berdosa; kemudian, karya keselamatan universal beroperasi secara tidak terbatas. Artinya anugrah keselamatan juga dinyatakan di luar konteks gereja, sebab Allah melalui karya Roh Kudus bekerja.




Kristologi Kosmik Sebagai Dasar Pendekatan
Kasih Allah itu universal, diberikan kepada semua bangsa, bahkan pada agama apapun itu, namun kasih itu juga partikular, diberikan secara nyata di dalam Kristus Yesus. Dalam hal ini, konsekuensi lebih lanjut akan pandangan the wideness of God dalam pendekatan inklusivisme adalah tercetusnya konsep “Kristologi Kosmik” yang memahami sosok Kristus Kosmik yang bertindak sebagai figur juruslamat yang universal sekaligus inklusif. Sikap inklusif menegaskan bahwa, Kristus hadir serta bekerja juga di kalangan mereka yang mungkin tidak mengenal Kristus itu secara pribadi. 
Karl Rahner sebagai tokoh penting dalam pendekatan ini, mengatakan bahwa, karya Kristus juga berlangsung di dalam agama-agama lain, sekalipun tidak disadari oleh penganut agama-agama tersebut, namun Karl Rahner juga tetap menegaskan pendapatnya bahwa, Kristus tetaplah yang paling final dan difinitif, satu-satunya jalan keselamatan. Posisi ini sering dikalimatkan dengan proposisi “semua agama ada dibawah pengaruh penebusan Kristus”, atau “hanya ada satu agama yang benar semua agama mendapat bagian kebenaran dari agama yang satu tersebut.” Posisi inklusivisme ektrim demikian selalu membuahkan yang namanya sinkritisme agama-agama.
Posisi inklusif ini terkenal dengan istilah “Christianity and Non Christian Religions”. Di dalam pandangan ini, orang-orang dari kepercayaan lain, melalui anugrah Kristus, diikutsertakan dalam rencana keselamatan Allah. Robbyanto, menjelaskannya dengan mengutip pemikiran dari Sunand Sumitha, seorang teolog, sekaligus misiolog injili yang berfaham inklusivisme dari India, yang berkometar demikian: “Taking Col. 1:15-20 as his basis, where the word ‘all’ is repeated at least six times, Sittler concludes that God’s redemption is not smaller than the repeated ‘all’ it is ‘cosmic in scope’”. Interpretasi ini kemudian dijadikan oleh Sumitha sebagai dasar tugas misi penginjilannya yang terbuka bagi agama-agama lain, yang akihrnya berbuahkan sinkritisme dengan cara mereduksi kebaikan dari ajaran agama-agama lain sebagai tambahan berita Injil yang diberikatannya. Pada umumnya ajaran tentang Kristus Kosmik ini dibangun pada prasuposisi bahwa sebelum inkarnasi, oknum kedua Trinitas [Kristus] telah bekerja secara aktif dalam penciptaan dan pemeliharaan alam semesta. Ia juga telah menjangkau berbagai tempat dan konteks dalam sejarah umat manusia. Dari sini dapat ditarik implikasi bahwa karya Kristus sebelum berinkarnasi adalah sebagai Kristus kosmik dan ini meliputi umat manusia di berbagai tempat dan waktu. Aktivitas tersebut tetap berlangsung bahkan setelah peristiwa kebangkitannya. Jadi, dasar pendekatan inklusivisme dalam hal ini adalah penafsiran mereka terhadap PL akan pekerjaan Kristus yang sifatnya universal. Selanjutnya, Joseph Sittler, mendasari konsep Kristus Kosmiknya dasar pemikiran yang sama dengan Samartha yaitu di dalam Kolose 1:15-20, dengan eksigesis yang dilakukan pada kata segala ‘all’ yang muncul berulangkali pada bagian tersebut, kemudian, Sittler menyimpulkan bahwa tindakan penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus memiliki dampak kosmik (cosmic effects). Landasan ini kemudian dipakai sebagai basis untuk mendukung posisi inklusivisme dengan menegaskan bahwa pre-eksis (pre-exixting Christ) telah hadir dan aktif berkarya di dalam agama-agama lain. Dengan demikian, dapat ditarik inferensi sebagaimana Karl Rahner lakukan dengan konsep anonymous christian-nya, atau Stanley Samartha dengan konsep unbound Christ-nya, atau M.M. Thomas dengan konsep Christ centered syncretism-nya. Paul Knitter berdasarkan Roma 8:19, menunjukkan bahwa keselamatan yang diperoleh melalui Kristus bekerja bukan hanya bagi kepentingan orang-orang Kristen, the son of God, tetapi melalui mereka karya keselamatan itu menjangkau seluruh ciptaan (http://riusblog.blogspot.co.id/2010/11/suatu-evaluasi-kritis-terhadap.htm).

Pendekatan Pluralisme
Sebutlah bahwa pluralisme dapat dilihat dari dua dimensi di atas (sosiologis dan teologis), yang menjadi problem mendasar adalah pluralisme yang dimaknai dalam dimensi teologis yang secara awam kerap dipahami sebagai “pembenaran atas seluruh agama dan kepercayaan yang ada”. Dengan bahasa yang lebih sederhana, pluralisme dalam pemahaman semacam ini menganggap bahwa“semua agama benar”.
Menurut john hick, sebagai salah satu nama besar dalam paham ini, pluralisme agama adalah sebuah gagasan tentang agama-agama besar dunia yang memiliki persepsi dan konsepsi yang sangat beragam, dan juga respon yang berbeda-beda terhadap yang Maha Agung dalam kehidupan manusia.
Pluralisme agama adalah sebuah teori khusus tentang hubungan antar agama yang memiliki klaim-klaim kebenaran sendiri dan kompetitif. Dengan kata lain, paham ini ingin mengatakan bahwa tidak ada agama yang paling benar diantara agama yang lainnya, atau setidak-tidaknya semua agama sama benarnya. Karena paham ini mengajarkan kepada kita, sesungguhnya, meski berbeda-beda agamanya, sejatinya agama-agama tersebut menyembah dan berujung pada tuhan yang satu. Atau dalam bahasa lain yang di rumuskan oleh Frithjof Schuon,“ The Transcendent Unity of Religion.
Pada konsili Vatikan II yang diselengarakan pada tahun 1962-1965 merupakan momen yang penting bagi kekeristenan. Pada konsili ini mereka mengeluarkan resolusi yang menarik yaittu bahwa pengikut agama lain  dapat diselamatkan melalui agama mereka sendiri tanpa percaya kepada Yesus Kristus. Karena itu, tidak ada alasan bagi mereka untuk memberitakan Injil kepada para pengikut agama lain (Thomas Hwang, Kristologi, (Yogyakarta: ANDI, 2011) 108). Setelah konsili Vatikan II sebagai tonggak sejarah memasuki sikap inklusif terhadap pendekatan agama-agama, maka muncul paradigm baru yang lebih terbuka, yang disebut dengan pendekatan Pluralisme (Thomas Hwang, Kristologi…, 109). Pendekatan ini dikenal dengan istilah lain yaitu Model Mutualis. Premis dasar yang dikembangkan oleh teologi pluralis terletak pada kehendak universal Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia.Setelah memehami perkembangan pluralisme teologi di dunia dan ajaran pokok mereka, dengan sendirinya terfokus tentang toleransi beragama telah berubah atau mengalami pendistorsian. Dengan pengaruh pluralisme, maka toleransi berpusat kepada ide-ide dan bukan kepada manusia. Sikap toleransi baru ini sesungguhnya berdampak pada bidang religious, seperti yang dijelaskan oleh D.A. Carson:
Hanya sedikit orang yang merasa terancam oleh bertambahnya agama-agama baru dengan begitu pesat. Tak peduli betapa lemahnya mandate intelektual mereka, tak peduli  betapa subyektif dan tidak terkendalinya mereka, tak peduli betapa mereka terpusat pada diri sendiri, tak peduli betapa jelas dewa-dewa mereka merupakan ciptaan yang dipakai untuk mendorong promosi diri manusia, media akan memperlakukan mereka dengan ketakjuban dan bahkan dengan suatu derajat penghormatan tertentu. Tetapi jika ada suatu agama yang mengklaim bahwa agama-agama lain adalah salah sampai taraf tertentu, maka suatu batas telah dilanggar dan ketidaksenangan akan segera muncul (D.A. Carson, Kesaksian Kristen di zaman Pluralisme dalam God and Culture, (Surabaya: Momentum, 2002),44).

Dengan demikian toleransi seperti ini bukan menyelesaikan masalah kerukunan beragama, sebaliknya bahkan berpotensi memicu konfli yang baru. Mungkin kita bertanya mengapa demikian? Sebenarnya toleransi beragama yang diperjuangkan oleh pluralisme agama-agama serupa dengan sikap intoleransi terhadap kebebasan beragama. Pada dasarnya bahwa setiap agama berkewajiban menyiarkan agamanya dan menuntut setiap orang dengan bebas untuk menerima atau menolaknya.

Menjernihkan Pendekatan Kristen Terhadap Toleransi Beragama
Dalam bagian ini, kita sampai pada hal penting dimana orang Kristen dituntut, seperti pengakuan Paulus untuk hidup bertolak dari iman dan memimpin kepada iman karena orang benar akan hidup oleh iman (Roma 1: 17). Kehidupan yang bertolak dan memimpin kepada iman adalah kehidupan yang memproklamasikan Kristus sebagai satu-satunya dasar, landasan dan tujuan kehidupan. Pada dasarnya penegakan iman kepada Kristus tidak identik dengan anti toleransi tetapi sebaliknya ajaran ini memberikan dasar toleransi yang benar dalam hidup beragama.
Toleransi beragama bukan berarti membangun dunia utopia atau terbuka terhadap segala sesuatu tanpa filterisasi. Sesungguhnya, toleransi beragama lebih menunjuk kepada sikap menghormati keberadaan keragamaan manusia di sekitar kita dalam perspektif Teosentris sehingga tidak mengaburkan identitas diri sendiri dan kebenaran.
Oleh sebab itu, untuk menegaskan kembali pendekatan Kristen dalam membangun toleransi beragama perlu mempertimbangkan beberapa pertanyaan di bawah ini. Pertama, apakah sikap toleransi beragama diupayakan untuk kepentingan manusia atau untuk kepentingan Allah? Kedua, apakah sikap toleransi beroperasi dengan sendirinya atau membutuhkan penuntun yang benar? Ketiga, jika toleransi beragama membutuhkan teologi sebagai penuntun, mengapa pengetahuan tentang Kristus yang harus dijadikan sebagai dasar untuk membangun toleransi beragama.
Pertama, toleransi beragama tidak boleh egoistis yang diperuntukan hanya bagi manusia semata, melainkan bagi Allah.
Kedua, toleransi beragama akan terdistorsi bila beroperasi dengan sendirinya sehingga membutuhkan penuntun yang jelas.
Ketiga, pengetahuan tentang Kristus menjadi dasar untuk membangun toleransi beragama karena Kristus satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia.

Kristus Menjadi  Dasar Membangun Toleransi Beragama
Ketika kita berbicara tentang finalitas Kristus dalam hubungannya dengan toleransi beragama, kita langsung berpikir bahwa toleransi beragam hanya ide belaka. Bila kita membawa nama Kristus di tengah-tengah agama-agama lain, berarti kita sudah intoleransi dan eksklusivisme. Bisa saja beberapa orang menyarankan agar membangun toleransi beragama berpusat kepada Allah. Karena Allah merupakan tujuan semua agama dan ini mudah diterima dalam masyrakat majemuk. Berpikir demikian berarti kita sudah gagal memahami arti finalitas Kristus seperti yang diberitakan Alkitab. Kristus merupakan pengantara satu-satunya antara Allah dan manusia sehingga pengenalan Allah di luar Kristus berarti belum mengenal Allah sesungguhnya. Kepenuhan ke-Allah-an ada dalam Kristus seutuhnya maka seluruh kehidupan kekristenan tidak dapat dibangun di luar Dia, melainkan di dalam dan melalui Dia.
Dari pokok studi ini saya berpikir bahwa kita lebih baik memperluas pemahaman tentang kedudukan Yesus sebagai pengantara. Dengan harapan, kita bisa memahami lebih utuh seluruh nilai dari tulisan ini. Kedudukan Yesus Kristus sebagai pengantara tidak diartikan sebagai seorang “penengah” yang seolah-olah berdiri antara manusia di satu pihak dan Allah di pihak lain. Ia bukan orang yang setengah Allah dan setengah manusia, mirip dengan seorang dewa yang berupa atau bertopeng manusia, karena kalau demikian halnya Yesus Kristus sebenarnya tidak mempersatukan, melainkan memisahkan manusia dengan Allah (C.Groenen Ofm, Panggilan Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 1979),20).
Kedudukan Yesus sebagai pengentara, secara sederhana dan jelas dikemukakan oleh Yesus sendiri,” dan barang siapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang tgelah mengutus Aku” (Yoh. 12:45). Pernyataan Yesus tentang identitas dirinya merupakan klaim yang absolute tentang kesatuan-Nya dengan Bapa. Melihat Dia berarti sudah melihat Bapa dan bukan seolah-olah atau hanya gambaran saja. Pernyataan Yesus ini menunjukan bahwa Dia adalah Allah karena tidak ada seorang pun manusia yang berani mengatakan kalimat ini, kecuali bahwa Dia adalah sendiri. Secara parallel, kalimat penegasan tentang keabsolutan diri-Nya diproklamasikan berkali-kali oleh Yesus. Ketika filifus meminta Yesus untuk menunjukan Bapa kepada mereka, secara kontras Yesus mengarahkan pandangan mereka kepada-Nya (Yoh. 14:9-11). Beberapa bagian alkitab memberikan penjelasan yang cukup bahwa penunjukan pengantara (mediator) kepada Yesus adalah kepada pribadi-Nya sebagai pribadi kedua dari Allah Tritunggal yang berinkarnasi menjadi Allah-manusia, dan inilah dasar dari iman Kristen untuk  membangun toleransi di atas dasar Kristus dan bukan yang lain.
Keunikan status Yesus mengambarkan rencana Allah atas manusia, bukan hanya dalam relasi keselamatan, untuk mengarahkan seluruh aspek kehidupan orang percaya bertitik tolak dari Kristus dalam mengaktualisasikan seluruh tindakannya. Karena di dalam dan melalui Yesus sendiri seluruh tindakan dan pekerjaan Allah menyingkapkan kebenaran mengenai toleransi yang sempurna sebagai dasar bagi orang Kristen membangun toleransi beragama, yang dapat kita lihat dalam wahyu Allah yang sempurna di dalam Yesus Kristus, kasih Allah di dalam Yesus Kristus , dan inkarnasi Allah di dalam Yesus Kristus.



1.         Konsep Wahyu Yang Sempurna di Dalam Pribadi Kedua Trinitas
Ajaran tentang Wahyu Allah merupakan bagian yang sangat penting sebagai dasar toleransi beragama yang sangat erat hubungannya dengan finalitas Kristus (Elisa B. Surabakti, Benarkah Yesus Juruslamat Universal? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 16). Keeratan hubungan ini dapat dilihat bahwa Kristus adalah Wahyu khusus Allah (special Revelation). Wahyu khusus ini menunjuk kepada Allah yang tidak terbatas, tidak berubah, kekal, dan roh adanya datang kedunia menyatakan diri kepada manusia di dalam Yesus Kristus. Pernyataan ini mengantar kita memahami arti dari kata-kata Yesus sendiri: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9) Ungkapan Yesus ini merupakan penegasan penyataan Allah yang final di dalam diri-Nya. Bila Allah menyatakan diri mengimplisitkan bahwa tidak ada seorang pun manusia yang bisa mengenal Allah. Allah adalah Allah yang tidak berwujud jasmaniah (immaterial), ia adalah Roh yang kekal (Yoh. 4:24). Keberadaan-Nya tidak dicipta oleh siapapun, Ia tidak berawal dan tidak berakhir (alfa dan omega) sehingga Ia tidak berada di bawah satu keharusan. Segala sesuatu dari dia dan Ia yang berkuasa mengatur segala-galanya. Ia tidak hanya mencipta saja , seperti pemahaman Deisme, tetapi Ia terus memilihara ciptaan-Nya. Oleh karena Allah adalah pribadi yang tidak dikenal, maka Ia sendiri yang berinisiatif untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia.

2.         Konsep Kasih Allah Dalam Trinitas
Kasih merupakan inti dari seluruh hukum Taurat sehingga ketika Yesus memanggil orang-orang untuk mengikuti Dia, syarat utama adalah harus mengasihi Dia lebih utama dari kasih kepada apapun dan siapapun. Kasih menjadi unsur penting dalam membangun toleransi beragama dalam masyrakat  majemuk karena kasih meredam sikap agresif dan reaktif serta kontraktif. Hanya masalahnya pada masa sekarang ini, konsep kasih sering ditempatkan pada sejumlah konteks lain yang berbeda dari konteks teologi Alkitabiah. Untuk itu, dalam menjelaskan kasih Allah tidak bisa lepas dari pribadi Yesus Kristus sendiri serta sifat-sifat lain dari Allah. Hal ini untuk membentengi kita agar tidak jatuh pada cara memahami kasih Allah yang bersifat sentimental. Karena kita sudah mulai dengan presaposisi di atas bahwa kasih Allah tidak bisa lepas dari pribadi Yesus dan sifat-sifat lain dari Allah, maka Alkitab menjelaskan dua hal besar tentang kasih Allah bagi kita.
Pertama, bahwa Allah mengasihi dunia dan mau menyelamatkannya sehingga Allah mengutus Yesus Kristus ke dunia ini (Yoh. 3:16).
Kedua kasih Allah di dalam Yesus Kristus untuk menyelamatkan dunia hanya efektif kepada mereka yang percaya. Kasih Allah itu bersifat diskriminatif dan selektif sehingga berkat-berkat dari karya pengorbanan Yesus hanya dinikmati oleh orang-orang percaya saja (James H. Toldd, Kristologi, (Malang: Gandum Mas, 2003),13).
Dari dua cara Alkitab menunjukan kasih Allah di dalam Yesus Kristus, ini tidak berarti bahwa ada dua kasih Allah yang berbeda dan berdiri sendiri-sendiri atau mengangap yang satu lebih penting dari yang lain. Kasih Allah tidak terpisah-pisah karena Allah adalah Allah yang Esa. Tetapi kita harus menerima cara berbeda Allah mengungkapkan kasih-Nya karena Alkitab menjelaskan hal itu kepada kita. Ini bertujuan agar kita memikirkan Allah dengan benar dalam konteks yang selalu berubah. Konsep kasih di dalam Yesus Kristus mendukung konsep toleransi beragama. Konsep ini menjadi standar tertinggi dalam membangun toleransi beragama di dalam dunia majemuk. Maksudnya adalah bahwa konsep kasih Allah terhadap dunia yang berdosa dianalogikan dengan sikap toleransi beragama. Inilah toleransi beragama yang alkitabiah. Allah toleransi terhadap manusia yang jahat (berdosa), yang rela mengutus anak satu-satunya untuk menyelamatkan mereka- namun Allah tidak mentolerin dosa manusia, karenanya tidak semua manusia menikmati berkat kasih allah melalui pengorbanan Yesus. Sebaliknya Allah menghukum dosa yang terwujud dalam kematian Yesus Kristus dan kemudian orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus akan menerima hukuman kekal.  Konsep ini memberikan perbedaan yang terang dan jelas bahwa dalam konsep kasih Allah ada hal-hal yang bisa ditolerin. Kasih di dalam Yesus Kristus mentoleransi perbedaan manusia siapapun dan menerima mereka sebagai sesame tetapi tidak mentoleransi ajaran yang berlawanan dengan ajaran Kristus apalagi pengabungan ajaran agama(sinkritisme).
Peluang merealisasikan kasih Allah ini sangat besar dan dampaknya juga besar. Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara R.I dengan sila pertamanya Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) memberi kedudukan, hak, dan kewajiban yang setara bagi setiap pemeluk agama untuk mendapat kebebasan. Pasal 29 berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua dasar ini meredam segala kekuatan konflik di Indonesia untuk membangun sikap kerukunan hidup beragama. Kerukunan beragama ini bukan berarti gereja harus menghilangkan proklamasi Injil dan finalitas Kristus, karena persatuan ideologi. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ideologi Negara yang mengakui keberagaman dan terikat dalam sikap saling menghormati untuk membangun persatuan. Untuk itu, gereja tidak harus mengorbangkan prinsip-prinsip ajaran Kristen yang eksklusif, tetapi yang dikembangkan adalah toleransi beragama. Dalam toleransi antar agama ini, agama-agama dapat membangun kerja sama untuk menangani masalah-masalah sosial dan lingkungan. Gereja memiliki peluang untuk mendemontrasikan kasih Allah dalam aspek kehidupan yang luas.

3.         Konsep Inkarnasi Trinitas
Salah satu misteri terbesar dalam ajaran kekristenan adalah Allah menjadi manusia. Pengakuan iman Kristen tentang pokok ini menegaskan bahwa Yesus dikandung daripada Roh Kudus dan lahir dari anak dara Maria. Dalam perenungan tentang misteri yang besar ini  maka pertama-tama harus didasari oleh orang Kristen adalah bahwa kelahiran Yesus adalah Maha karya Allah (J. Verkuyl, Aku Pertjaja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966), 127).
Kehadiran Allah ke dalam dunia dengan mengunakan natur manusia yang sempurna merupakan ungkapan bahwa Allah mengasihi manusia (Yoh. 3:16). Ungkapan kasih Allah ini mengimplikasikan apa yang tidak bisa dilakukan oleh manusia, yaitu mengenal Allah, maka Allah menyatakan diri-Nya melalui inkarnasi Yesus Kristus ke dunia. Tindakan Allah yang menyatakan diri melalui inkarnasi memproklamirkan bahwa Allah yang dipercaya oleh kekristenan bukan hanya Allah yang jauh di sana (transenden) tetapi Ia juga sekali gus Allah yang imanen (J.I. Packer, Mengenal Allah, (Yogyakarta: ANDI,2002), 52). Ia mahakuasa, berdaulat tetapi sekaligus Ia Allah yang mengasihi manusia dan berada di tengah-tengah manusia. Ajaran inkarnasi Kristus sekaligus melawan ajaran Deisme tentang Allah. Menurut Deisme, Allah adalah Allah yang mencipta alam semesta dan setelah itu, Ia meningalkanya. Allah tidak memilihara ciptaan-Nya tetapi alam semesta bekerja sesuai dengan hukum-hukum alam.
Fakta yang harus diakui bahwa di tengah-tengah segala ajaran tentang Allah, kekristenan memiliki pandangan yang bersifat teistik, Allah bersifat transenden sekaligus imanen, Allah yang Esa dalam tiga pribadi yang berbeda: Bapa- Anak- Roh Kudus. Dengan demikian, inkarnasi Kristus menjadi sentral penyingkapan misteri tentang Allah. Ia yang tidak dapat dikenal oleh manusia tetapi melalui Yesus Kristus Ia memperkenalkan diri. Ia bukan hanya satu seperti yang dipercayai oleh agama lain melainkan satu dalam kejamakan, sebaliknya ia bukan jamak seperti paham pholiteisme tetapi Allah secara benar.
Orang Kristen memiliki pemahaman yang bersifat holistic tentang Allah sehingga orang percaya lebih menghormati Allah dan kekudusan-Nya, sekaligus berani memanggil Allah sebagai Bapa.
Setelah membahas bagaimana signifikansi ajaran inkarnasi dalam memahami tentang Allah serta secara berelasi dengan Dia, maka ajaran ini berdampak pada sikap toleransi yang benar terhadap agama lain. Tindakan Allah dalam pribadi kedua datang menjadi manusia mengimplikasikan sikap toleransi yang sangat sempurna sehingga mendasari sikap toleransi beragama. Sikap toleransi Allah ini dapat diuraikan sebagai berikut: Allah pencipta segala sesuaatu dengan rela datang ke dunia dengan mengenakan natur manusia, Ia yang tidak berdosa tetapi harus menanggung hukuman dosa manusia. Tetapi harus tetap diingat bahwa Allah yang berinkarnasi, walaupun Ia menunjukan sikap toleransi kepada manusia namun Ia tidak mengubah identitas-Nya sebagai Allah. Inilah dasar yang harus diaplikasikan oleh orang Kristen dalam toleransi  beragama.
Dua sikap dasar yang penting dalam konsep inkarnasi ini adalah landasan dalam membangun toleransi beragama. Pertama, toleransi beragama merupakan sikap yang harus dimiliki oleh orang percaya karena allah sendiri mencerminkan hal tersebut dalam tindakan-Nya terhadap manusia berdosa. Kedua, toleransi tidak berarti mengubah identitas sehingga berdiri pada posisi yang abu-abu (sinkritisme). Kekristenan melarang dan intoleransi terhadap hal itu karena inkarnasi pribadi Allah kedua menunjukan bahwa Yesus tidak berubah dahulu, sekarang, sampai selama-lamanya.



KESIMPULAN

Klaim finalitas membawa kekristenan pada satu sisi mengakui bahwa Kristus adalah satu-satunya Allah dan juruselamat dan tidak ada seorangpun tokoh agama dan masyrakat yang menyamai Dia, sehingga orang-orang percaya pasti selamat di dalam Dia dan yang lain di luar Dia pasti tidak selamat. Tetapi pada sisi yang lain orang-orang percaya masih hidup di dunia, bersama dengan penganut agama lain dan bertanggung jawab memilihara hidup damai dengan mereka.
Dari kondisi ini, orang percaya seharusnya bersukur karena iman dalam Kristus memberikan dasar-dasar yang cukup untuk membangun toleransi beragama. Ini adalah prisnip kehidupan Kristen karena Kristus adalah pusat kehidupan kekristenan itu sendiri. Prinsip-prinsip toleransi yang dibangun di atas Kristus sebagai dasarnya, membersihkan segala kecenderungan-kecenderungan pendekatan kontenporer yang bersifat antroposentris tetapi mengarahkan kehidupan orang percaya pada tujuan utama manusia yaitu memuliakan Allah dan iman kepada Yesus sebagai dasar kehidupan. 



DAFTAR PUSTAKA

A’la ,Al-Maududi, The Islamic Law and Constitution,Lahore: Pakistan:Islamic Publication,1975.
Carson, D.A. Kesaksian Kristen di zaman Pluralisme dalam God and Culture, Surabaya: .Momentum, 2002.
Harefa,Warisman, Coram Deo Jurnal Teologi STT Salem Edisi 2. Malang: SALEM, 2011.
Hwang, Thomas, Kristologi, Yogyakarta: ANDI, 2011.
Khudori, Darwis,  Maraknya Gerakan Politik Berbasis Agama, Yogyakarta:Universitas Santa Dharma,2009.
Lumintang, Steveri Indra, Teologi Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini, Malang: Gandum Mas, 2004.
-----------UUD 1945 Amandemen I,II,III dan IV.
Muhammad, Sultan &Sholihah,http:// www.docstoc.com/docs.
Ofm, C.Groenen, Panggilan Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1979.
Packer, J.I., Mengenal Allah,Yogyakarta: ANDI,2002.
Sumarsono, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Gramedia, 2004.
Setiji, Pandji, Pendidikan Pancasila Perspektif  Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009.
Surabakti,Elisa B.,Benarkah Yesus Juruslamat Universal?,Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Toldd,  James H., Kristologi, Malang: Gandum Mas, 2003.
Verkuyl, J., Aku Pertjaja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1966.

Tidak ada komentar:

DOKTRIN KRISTUS (KRISTOLOGI)

PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG KRIST US A.       Ebionisme: “Yesus manusia biasa, diangkat menjadi Mesias karena kesalehan.” Go...