PENGERTIAN DAN KONSEP TEISME
Sejak manusia ada sudah ada pengenalan akan adanya “Yang Kuasa” yang berkuasa atas seluruh jagat raya ini (Roma 1:19,20). Bahkan seorang Misionaris pernah berkata bahwa di dalam hati setiap manusia terdapat kerinduan akan Allah yang sejati (Don). Jika kita melihat pada masa kesucian (Dispensasi Kesucian), manusia juga sudah mulai menyadari adanya Allah dan mulai membuat model-model penyembahan (Kej.4) dan orang mulai memanggil nama “TUHAN” disitu (Kej.4:26).
Di berbagai belahan dunia dapat kita lihat bermacam ekspresi dari “pengakuan” akan adanya suatu pribadi yang berkuasa, pencipta, disembah, dan luhur. Berbagai agama pula telah diciptakan manusia di muka bumi ini untuk mengakomodir kerinduan atau perasaan tentang Allah ini. Juga muncul banyak pemikiran filosofis mencoba menguraikan pengertian tentang jatidiri Yang Kuasa meski bersifat asumsi dan hipotesis akal-akalan semata. Sampai kadang sulit untuk dicerna dengan iman dan akal sehat kita. Teori tentang Allah muncul pula dalam berbagai situasi kehidupan manusia. Frederik Nitcshe misalnya mengatakan Allah adalah pencipta yang mana setelah Ia selesai menciptakan segala sesuatu Ia pergi meninggalkan ciptaanNya dan tidak pernah kembali lagi, Dia sudah mati.
Orang Kristen menerima kebenaran tentang keberadaan Allah dengan iman. Tetapi iman ini bukanlah iman yang buta, melainkan yang berdasarkan bukti, dan bukti ini ditemukan pertama-tama dalam Alkitab sebagai Firman Allah yang diinspirasikan, dan kedua dalam wahyu umum Allah di dalam alam semesta. Bagi kita yang percaya keberadaan Allah adalah pra-anggapan penting dalam teologi. Pra-anggapan teologi Kristen adalah sebuah pra-anggapan yang amat pasti, bukan berdasarkan asumsi bahwa ada sesuatu atau suatu ide atau gagasan atau suatu kuasa atau suatu kecenderungan terarah, yang dapat disebut sebagai Allah. Namun pra-anggapan Kristen berdasarkan keyakinan ada suatu Pribadi yang keberadaan dan kesadaranNya bersumber pada diriNya sendiri, suatu Keberadaan berpribadi yang merupakan asal mula dari segala sesuatu, yang jauh melampaui segala makhluk ciptaan akan tetapi pada saat yang sama hadir dan terlibat dalam segala bagian dari ciptaanNya itu (Berkhof).
Teologi injili sebetulnya tidak menganggap keberadaan Allah seluruhnya adalah suatu pengandaian yang masuk akal. Sebab Allah telah menyatakannya dalam wahyu umum maupun wahyu khusus yang dapat diketahui semua orang.
Istilah “teisme” memiliki empat arti yang berbeda (Thiessen):
a. Kepercayaan akan adanya satu atau lebih kekuatan adikodrati, satu atau lebih perantara rohani, satu atau lebih dewa. Yakni mencakup semua kepercayaan.
b. Kepercayaan akan adanya satu Allah saja, entah Ia berkepribadian atau tidak berkepribadian, entah Ia saat ini giat berkarya di dalam alam semesta atau diam saja (monoteisme, panteisme dan deisme yang bertolak belakang dengan ateisme, politeisme dan henotisme).
c. Kepercayaan akan adanya satu Allah yang berkepribadian yang transenden dan imanen serta keberadaannya terwujud dalam satu oknum saja (Yahudi, Islam, kaum Unitarianisme dan bertolakbelakang dengan ateisme, politeisme, panteisme dan deisme.
d. Pandangan teisme Kristen, yakni kepercayaan akan adanya satu Allah yang berkepribadian yang transenden maupun imanen yang dikenal sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Pandangan ini merupakan monoteisme yang bersifat trinitarian dan bukan unitarian.
A. PENGENALAN AKAN ALLAH
Perwujudan pengenalan akan Allah di berbagai belahan dunia diungkapkan dalam berbagai keyakinan manusia dalam pola-pola pemikiran berikut (Baker):
1. Politeisme, adalah kepercayaan terhadap banyaknya allah. Alkitab memiliki lebih dari 250 rujukan terhadap politeisme dengan nama allah digunakan dalam bentuk jamak. Politeisme menyembah apa saja yang mereka kagumi atau hormati, seperti pohon, batu, sungai, emas, perak, kuburan tua dan lain-lain. Asumsinya adalah allah ada dalam benda-benda kasat mata yang dapat dilihat diraba dan dirasa, sehingga benda-benda terebut layak disembah. Teori evolusioner telah salah menggambarkan perkembangan kepercayaan manusia dari politeisme kemudian monoteisme, Yudaisme dan Kekristenan. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa manusia pada awalnya mengenal Allah yang esa dan benar (Kol.3:5).
2. Henoteisme, adalah kepercayaan terhadap adanya satu allah bagi satu wilayah, ras atau bangsa. Kepercayaan ini dapat dilihat dalam 1Raja-Raja 20:23, “Pegawai-pegawai raja Aram berkata: ‘Allah mereka ialah allah gunung; itulah sebabnya mereka lebih kuat daripada kita. Tetapi apabila kita berperang melawan mereka di tanah rata, pastilah kita lebih kuat daripada mereka.” coba anda pikirkan kepercayaan seperti apa yang muncul dalam kepercayaan di daerah yang anda ketahui.
3. Panteisme, merupakan ajaran bahwa segala sesuatu (pan-) adalah Allah (teisme). Panteisme telah diterima oleh jutaan manusia, baik sebagai agama maupun filsafat. Menurut Encyclopedia Britannica kepercayaan ini sudah ada mulai 1000 tahun SM di India dalam hubungannya dengan Brahmanisme,ke Mesir Kuno dalam menyamakan Ra, Isis dan Osiris dengan jagat raya secara bergantian, ke filsuf Yunani mulai dari abad 6 SM termasuk Xenophanes, Parmenides, Heraclitus, Cleanthes, ke aliran Neoplatonis abad pertengahan, ke mereka yang mewakili kalangan Kristen dalam Scotus Erigena dan David dari Dinant, mreka yang mewakili kalangan Yudaisme dalam Kabalis, ke Giordano Bruno yang tewas di tiang gantung pada tahun 1600 dalam inkuisisi, ke Spinoza dan John Toland, ke Lessing dan Goethe, dan ke filsuf Fichte, Schelling, dan Hegel serta ahli teologi Schleiermacher dan Strauss.
Kekristenan mengajarkan bahwa Allah bukan hanya di dalam semua (1Kor.15:28) tetapi juga ada di atas segala sesuatu (Roma 9:5), Panteisme mengajarkan Allah hanya ada dalam segala sesuatu. Kekristenan meyakini Imanensi dan Trsnsendensi Allah, tetapi panteisme, dengan membuat dunia sebagai Allah, telah menolak bahwa Allah itu terpisah dari dan berada di atas dunia.
Sifat Panteisme:
Panteisme Naturalistis = benda, dunia yang bersifat materi adalah Allah dan karenanya kekal dan menjadi penyebab semua kehidupan serta pikiran.
Panteisme Idealistis = menyamakan Allah sebagai jumlah keseluruhan pikiran atau roh. Christisn Science termasuk jenis ini.
Kelemahan Panteisme:
Panteisme secara praktis meniadakan Allah. Tentu sangat sulit berdoa kepada dunia, atau mencari ketenangan dalam dunia sebagai Bapa Surgawi. Alkitab menjelaskan Allah sebagai oknum berpribadi yang tidak terbatas, bukan sekedar sesuatu berupa pikiran dan prinsip tidak berpribadi.
Panteisme menjadikan Allah terbatas. Walaupun pandangan ini mengatakan Allah adalah semua, dan menyatakan bahwa Allah terbatas, tetapi semua yang dimaksudkan tersebut terdiri dari bagian-bagian yang terbatas.
Panteisme mengilahkan manusia. Manusia menjadi bagian Allah. Karena itu jika manusia menyembah Allah, ia menyembah bagian dirinya sendiri. Kristus dapat menyatakan diri sama dengan Allah (Yoh.14:10; 10:30) karena Ia adalah salah satu dari Pribadi dalam ke-Allahan, tetapi tidak ada seorang pun manusia yang dapat menyatakan diri satu dengan Allah dalam pengertian demikian.
Panteisme menolak kekekalan pribadi manusia. Manusia itu digambarkan sebagai sebotol air laut di lautan, hanya sementara saja dapat dibedakan karena botol yang membatasinya, tetapi akan kembali hilang dalam lautan segera setelah batasnya yang rapuh itu pecah.
Panteisme menghancurkan dasar moralitas. Jika semua adalah Allah, tentu bukan hanya semua yang baik tetapi semua yang buruk pun adalah Allah. Cara yang ditempuh untuk keluar dari dilema ini ialah menolak bahwa yang jahat itu ada. Mary Baker Edy mengatakan: Jika Allah ada, atau yang baik adalah nyata, yang jahat, yang tidak sama dengan Allah itu nyata.... kami pelajari dalam Christian Science bahwa semua yang seirama dengan pikiran ataupun tubuh yang fana adalah khayalan, tidak memiliki realitas ataupun identitas walaupun kelihatan seperti nyata dan identik.... manusia tidak mungkin berdosa, sakit dan mati.
Panteisme merupakan ajaran nesesitarian. Nesesitarian mengajarkan bahwa apa saja menjadi ada dan bergiat karena keharusan (necessity). Panteisme menolak semua kebebasan penyebab kedua. Jika semua adalah keharusan, dosa pun adalah keharusan. Tetapi dengan membuat dosa sebagai aktivitas Allah, Panteisme secara praktis membatasi kemungkinan terjadinya dosa. Dosa hanya menjadi kebaikan yang terbatas atau tidak berkembang. Rosenkranz mengatakan jika Allah adalah segala sesuatu, dan jika ada iblis, Allah tentu adalah iblis juga, dan bahwa yang jahat itu ada di dalam yang baik dan yang baik ada di dalam yang jahat, dan bahwa tanpa yang jahat tidak mungkin ada yang baik, maka segala sesuatu adalah iblis.
4. Deisme. Adalah ajaran yang memegang transendensi Allah sampai meniadakan imanensiNya. Allah hanya hadir dengan kuasaNya ketika menciptakan alam semesta. Allah telah membekali ciptaanNya dengan hukum-hukum yang tidak mungkin berubah atas mana Allah melakukan pengawasan ala kadarnya. Allah telah memberikan makhluk ciptaanNya kemampuan-kemampuan tertentu, menempatkan mereka di bawah hukum-hukumNya yang tak mungkin berubah, lalu membiarkan mereka berusaha untuk menentukan nasibnya sendiri. Deisme tidak percaya akan adanya penyataan khusus, mujizat, dan pemeliharaan ilahi. Deisme menandaskan bahwa semua kebenaran tentang Allah dapat ditemukan oleh akal dan bahwa Alkitab hanyalah kitab yang berisi prinsip-prinsip agama alami yang dapat diketahui dari alam semesta.
Orang Kristen menolak Deisme karena ia percaya bahwa kita memiliki penyataan khusus tentang Allah di dalam Alkitab, dan Allah hadir dalam alam semesta ini dalam pribadi dan kuasaNya dan Allah secara terus-menerus mengatur pemeliharaan seluruh hasil karya ciptaanNya, Allah menjawab doa, dan kaum deis memperoleh sebagian besar dogma religius mereka dari anggapan bahwa Allah deistis yang absen tidaklah lebih baik daripada tidak ada Allah samasekali.
5. Teisme Alkitabiah
Definisi teisme yang benar-benar diterima adalah kepercayaan terhadap satu Allah berpribadi yang imanen dan transenden. Ada yang menganut konsep unitarian tentang Allah, mengakui bahwa Allah berkeberadaan dalam satu pribadi saja. Ini bentuk monoteisme yang dianut oleh Yahudi, pengikut Muhamad dan Unitarian. Pandangan historis Kristen percaya bahwa Allah yang Esa itu berkeberadaan dalam tiga Pribadi atau memiliki pembedaan Pribadi: Bapa, Anak dan Roh Kudus. Pandangan Kristen ini unik di antara semua keperayaan keagamaan di dunia. Sebagian orang telah mencoba menyamakan Trinitas Alkitab dengan Trimurti Hiduisme: Brahma, Wisnu dan Syiwa, tetapi sebetulnya kesamaannya benar-benar tidak ada. Dalam Trimurti Hinduisme terdapat tiga dewa terpisah dan berbeda satu dengan yang lainnya, tidak ada kesatuan justru sering bermusuhan.
Ajaran Trinitas satu-satunya solusi atas masalah dalam memahami Allah yang telah berkeberadaan kekal sebelum adanya ciptaan. Panteisme, membuat keberadaan Allah bergantung kepada keberadaan alam semesta. Unitarianisme, dengan Allah yang hanya satu Pribadi saja, memiliki Allah yang dalam kekekalan sebelum Ia mulai mencipta pastilah berada dalam keadaan tidak aktif mutlak, tidak mengekspresikan diriNya dengan cara apa pun. Allah orang Kristen, di pihak lain, berkeberadaan kekal dalam segala kesempurnaanNya sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus, menikmati aktivitas penuh dan lengkap dalam keAllahan pada kekekalan sebelum Ia mulai mencipta. Dengan demikian kesempurnaanNya sama sekali tidak bergantung kepada keberadaan alam semesta. Yesus menunjuk kepada fakta ini ketika mengatakan bahwa Bapa mengasihiNya sebelum dunia ada, dan ketika berdoa bahwa Bapa akan memuliakannya dengan kemuliaan yang Ia miliki bersama Bapa sebelum dunia dijadikan (Yoh.17:5-24)
B. KEBERADAAN ALLAH
Pada masa lalu manusia memperdebatkan pertanyaan “Seperti apa Allah?” atau “Ada berapa banyak Allah?” Bahwa Allah ada secara diam-diam diakui hampir setiap orang. Tetapi zaman telah berubah. Zaman kita telah disebut sebagai zaman skeptisisme. Kepercayaan kepada Allah tidak lagi dianggap perlu atau dalam beberapa hal bahkan tidak diinginkan. Sejak periode enlightenment (pencerahan) pada abad delapan belas dan dimulainya zaman pengetahuan, semakin berkembang pendapat bahwa bergantung pada keyakinan terhadap Allah adalah pilihan manusia yang tidak mampu menghadapi kehidupan alam semesta di mana segala sesuatu terjadi berdasarkan hukum alam yang impersonal. Kita tidak memiliki bukti langsung mengenai makhluk hidup.
Pandangan bahwa ilmu pengetahuan membuat Allah tidak dibutuhkan lagi atau bahkan tidak dapat dipertahankan telah membuat banyak orang bersikap agnostik mengenai masalah ini. Bentuk paling populer yang didapatkan dalam masyarakat kita adalah sikap pasif beragama.
1. Argumentasi Filosofis Mengenai Keberadaan Allah
Teolog-teolog Kristen sepanjang sejarah sudah berusaha untuk membuktikan keberadaan Allah dari unsur-unsur dalam dunia ini. Usaha ini disebut “teologi alami” dan didasarkan pada hukum-hukum logika, fakta alam dan gagasan filsafat. Beberapa pihak berargumentasi bahwa keberadaan Allah secara logis dibutuhkan.
a. Argumentasi Ontologi (Anselmus; 1033-1109)
Dalam bahasa Yunani, Ontos adalah bentuk present partisiple (sekarang, sedang berlangsung) dari kata kerja to be (adalah, ada). Ontologi adalah ilmu pengetahuan tentang keberadaan nyata. Ontologi bersifat apriori, yaitu berargumentasi dari sebuah prinsip ke perincian. Ide manusia tentang yang tidak terbatas bukanlah tidak terbatas, dan dari suatu akibat yang terbatas kita tidak dapat mengargumentasikan suatu sebab yang tidak terbatas.
Dua tahap pemikiran ontologis: Pertama, Allah adalah oknum yang tidak bisa dibayangkan bahwa ada yang lebih besar (sempurna) daripada Dia. Kedua, sesuatu yang hanya berada dalam pikiran berbeda dengan sesuatu yang berada dalam pikiran sekaligus juga dalam kenyataan. Kalau kedua tahap itu digabungkan, berarti kalau Allah hanya berada dalam pikiran dan tidak dalam kenyataan, maka dapat dibayangkan oknum yang lebih sempurna yaitu yang berada dalam pikiran dan juga dalam kenyataan. Tetapi Allah adalah oknum yang tidak bisa dibayangkan bahwa ada yang lebih sempurna daripada Dia, jadi Allah tidak berada hanya dalam pikiran saja. Karena itu harus diterima alternatifnya: oknum yang paling sempurna berada dalam kenyataan dan dalam pikiran.
Pandangan ontologis ini dikritik oleh filsuf Jerman, Imanuel Kant (1724-1804). Akhir-akhir ini pandangan mengalami kebangkitan kembali. Beberapa filsuf keagamaan masa kini percaya bahwa, jika diakui bahwa suatu oknum yang tertinggi adalah mungkin, maka Ia harus berada dalam kenyataan (Platinga,1974).
Thomas Aquinas menyanggah Ontologis dengan asumsi bahwa kita dapat mengetahui natur Allah sebelum mengetahui apakah Allah ada. Menurut Thomas, kita harus pertama-tama membangun keberadaan Allah dengan sarana lainnya, barulah kita dapat menggunakan argument otologis untuk tiba pada pengertian terhadap kesempurnaan Allah. Sampai keberadaan Allah dapat dibuktikan, argumentasi ontologis hanyalah observasi pengandaian yang tidak menarik, sebab jika Allah adalah oknum yang sempurna maka Allah harus ada.
Jika manusia tidak dapat mengenal Allah sampai ia mempelajarinya dari penyataan khusus yang ada di dalam Alkitab, sulitlah melihat atas dasar apa Allah dapat menghakimi mereka yang tidak pernah mengenal Alkitab. Juga sulit untuk melihat bagaimana Alkitab dapat memaparkan kepercayaan terhadap keberadaan Allah. Alkitab bukanlah kitab argumen, yang berupaya membujuk manusia bahwa Allah itu ada. Alkitab berbicara sebagai akibat: Karena Allah ada, penting mengenal Dia secara pribadi, memahami kehendakNya dan melaksanakan kehendakNya.
Setelah seseorang dengan benar percaya kepada Allah melalui imannya kepada Yesus Kristus, orang itu tidak lagi secara nyata memerlukan argumen tersebut, karena ia telah memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dan eksperience. Pada kesimpulannya, argumentasi ontologis tidak dapat menimbulkan kepercayaan pada hati orang yang tidak percaya, tidak dapat menghasilkan pertobatan dan kelahiran kembali. Banyak orang yang percaya akan keberadaan Allah, sebagaimana juga setan-setan, yang tidak percaya kepada Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus. Tetapi seseorang harus pertama-tama percaya bahwa Allah itu ada sebelum ia dapat percaya serta menyerahkan dirinya kepada Allah.
b. Argumentasi Kosmologi (Aquinas; 1225-1274)
Pandangan ini menegaskan bahwa keberadaan dunia memerlukan oknum tertinggi yang menyebabkan keberadaannya itu. Perhatian ditujukan pada fakta penyebab (kausalitas) yang berarti setiap kejadian ada sebabnya, yang pada gilirannya juga mempunyai sebab, dan seterusnya sampai pada sebab pertama, yaitu Allah. Pandangan ini dirumuskan dengan istilah “kemungkinan” (contingency). Segala sesuatu bersifat “mungkin” (ada walaupun tidak harus ada) ataupun “perlu” (harus ada). Bila sesuatu sekarang ada, maka harus ada sesuatu yang bersifat abadi kecuali kalau sesuatu itu berasal dari kenihilan (Buswell). Adanya kenyataan-kenyataan tertentu yang mungkin, dapat dijelaskan pada tingkat tertentu dengan mengacu pada sebab-sebab terdahulu yang juga mungkin. Tetapi terjadinya dan kelanjutan segala sesuatu yang mungkin, dianggap sebagai keseluruhan, hanya dapat dijelaskan jika ada sesuatu yang harus ada, yaitu Allah.
Setiap bagian dunia bergantung pada bagian-bagian lain serta berkaitan erat sekali. Sebab menghasilkan akibat, tetapi sebab-sebab itu sendiri merupakan akibat dari sebab-sebab yang lain, dan seterusnya. Sehingga pastilah ada satu sebab yang pertama, atau serangkain sebab yang bersifat abadi. Hukum termodinamika menunjukkan bahwa keadaan alam semesta ini memburuk. Energi menjadi makin berkurang, dan keteraturan bergeser menjadi keacauan. Bila keadaan alam semesta ini memburuk, maka alam semesta tidak dapat memelihara dirinya sendiri, dan kalau alam semesta tidak bisa memelihara dirinya sendiri maka pastilah alam semesta memiliki awal. Semua hukum kosmologis tersebut membuktikan, pertama, adanya oknum Pencipta yang berkepribadian, berikutnya membuktikan bahwa oknum yang ada ini harus berada di luar alam karena segala sesuatu yang tidak mungkin ada dengan sendirinya pastilah disebabkan oleh sesuatu yang di luar dirinya, dan oknum yang ada ini haruslah berakal budi tinggi karena dunia orang-orang yang akalnya terbatas merupakan bagian dari alam semesta (Thiessen).
Kesimpulan evaluasi terhadap pandangan ini adalah, jika keberadaan segala sesuatu memerlukan sebab maka keberadaan Allah juga memerlukan sebab lainnya, sekalipun Allah adalah penyebab tunggal alam semesta ini. Namun demikian gagasan kosmologis dapatlah sedikit membantu manusia untuk berpikir secara argumentasi mengenai keberadaan Allah, meskipun jauh dari kesempurnaan.
c. Argumentasi Teleologikal (Paley; 1743-1805)
Teleologikal berasal dari kata Yunani Telos, artinya “tujuan”. Pandangan ini mengatakan bahwa keteraturan dan pengaturan yang bermanfaat dalam suatu sistem mengimplikasikan akal budi dan tujuan pada hasil dari pengorganisasian tersebut (Paul). Alam semesta adalah keteraturan dan pengaturan yang bermanfaat; oleh karena itu, alam semesta ini memiliki penyebab yang bebas dan berakal budi. Keberadaan Allah dapat dijelaskan sebagai hasil pertemuan secara kebetulan dari kekuatan-kekuatan alam, seperti angin, hujan, panas dan sebagainya. Bukti-bukti perencanaan dan tujuan dalam alam semesta mengharuskan adanya Perencana umum, yaitu Allah. Semesta alam ini memperlihatkan perencanaan menunjukkan adanya suatu Perencana Agung.
Kehidupan menjadi tidak mungkin jika salah satu hal berikut berubah sedikit persen saja: jarak matahari yang tepat berada sejauh sembilan puluh tiga juta mil untuk iklim yang seimbang di atas bumi; jarak bulan sejauh dua ratus empat puluh ribu mil memberikan sinar pada level yang tepat; putaran bumi yang memberikan musim. Jika kelembaban atmosfir berada pada tingkat lebih rendah, setiap hari kita akan dibombardir miliaran meteroit yang terbakar saat melintasi udara (Baker). Sungguh sukar dipercaya bahwa suatu kebetulan sejatilah yang telah menghasilkan keseimbangan saling terkait sangat rumit yang meliputi alam semesta. Pada kesimpulannya adalah jelas bahwa Allah, Perancang Ahli, telah menciptakan alam semesta yang luar biasa ini. Pemikiran bahwa dunia terjadi karena “kebetulan” adalah tidak mungkin, sama seperti seekor monyet dapat menciptakan karya Shakespeare di atas sebuah mesin tik dengan cara mengetiknya dengan sembarangan (Paul).
d. Argumentasi Moral / Antropologis
Setiap orang memiliki kesadaran tentang kewajiban, tentang apa yang benar dan apa yang salah, dan bersamaan dengan itu merasakan tanggung jawab yang tidak dapat dibantah untuk melakukan hal yang benar maupun yang salah. Seolah-olah di dalam manusia terdapat suara yang tidak mau dibungkam yang senantiasa berkata kepada hati nurani “Kau harus melakukan itu”. Kenyataan ini menunjukkan ada yang berbicara, dan selain itu bahwa yang berbicara itu adalah Tuhan dan Raja (Hoekema). Pengalaman universal manusia mengenai kewajiban moral, atau pengertian tentang “apa yang seharusnya dibuat”, serta kegagalannya memenuhi tuntutan moral itu dari hati nuraninya, tidak dapat diterangkan secara memadai baik sebagai kepentingan diri sendiri saja ataupun sebagai hasil penyesuaian sosial. Keberadaan nilai-nilai moral objektif ini menunjukan keberadaan suatu dasar nilai-nilai yang transenden, yaitu Allah. Allah adalah “landasan” kehidupan moral, yaitu kepercayaan dahulu yang mengakibatkan perasaan dan kewajiban moral tanpa syarat (Milne).
Beberapa unsur pada manusia seperti moral, kesadaran, keberadaan total (jiwa) dan kesadaran bergama, sama-sama memerlukan keterangan mengenai asal-muasal dan uraian keberadaan suatu Pribadi yang bermoral, cerdas dan hidup yang telah menciptakan manusia. Kekuatan yang bersifat materi, tidak hidup, atau tidak sadar mustahil dapat menciptakan manusia. Evolusi tidak dapat menghasilkan jiwa, hati nurani atau naluri beragama (Maz.94:9; Kis.17:28-29).
Kesadaran manusia akan kebaikan yang tertinggi dan upayanya mencari suatu ideal moral menuntut dan mengharuskan keberadaan Allah yang memungkinkan hal itu menjadi kenyataan. Walaupun argumen ini benar menunjuk pada keberadaan suatu keberadaan yang kudus dan benar, tetapi argumen ini belum menjadikan kepercayaan akan satu Allah, Pencipta atau keberadaan yang kesempurnaan-kesempurnaanNya tidak terbatas sebagai suatu keharusan (Berkhof). Pandangan antropologis dituduh justru mengandaikan kebenaran yang hendak dibuktikannya, yakni bahwa pengalaman moral harus hanya dapat dijelaskan secara memuaskan dalam hubungannya dengan agama. Ia juga harus menghadapi bukti-bukti bahwa orang-orang mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksudkan dengan “baik” serta adanya dilema-dilema moral.
Manusia adalah makhluk bersifat materi dan non materi. Walaupun natur materi manusia dapat dijelaskan secara memuaskan berdasarkan sebab yang murni alamiah, hal ini dapat diperhitungkan bagi asal mula natur nonmaterinya. Para evolusionis teistis yang menganggap tubuh manusia telah berkembang melalui proses alamiah dari hewan dengan bentuk lebih rendah, tetapi juga terpaksa memercayai bahwa natur nonmaterinya pasti telah muncul dari tindakan khusus penciptaan. Tidak ada natur nonmateri pada dunia binatang yang darinya natur nonmateri manusia telah berkembang (Charles). Hanya oknum yang memiliki kuasa, kebijaksanaan, kesucian dan kebaikan dan semua ini tidak terkira jauh lebih besarnya daripada apa pun yang kita ketahui ada di muka bumi, yang dapat memenuhi kebutuhan jiwa manusia. Oknum demikian pastilah ada. Apabila tidak ada, kebutuhan terbesar manusia tidak dapat terpenuhi, sehingga percaya pada kebohongan akan menjadi kebajikan lebih produktif daripada percaya pada kebenaran (Strong).
Materialisme murni tidak dapat menerangkan kemampuan pikiran manusia untuk mengambil kesimpulan dari dasar-dasar pikiran. Operasi intelek manusia dengan efektif, dan sifat-sifat lain dari pikiran dan bayangan, hanya dapat diterangkan atas dasar adanya pikiran supra-alami, yaitu Allah. Seandainya tidak ada intelegensi ilahi, bagaimana orang dapat mengharapkan bahwa pemikirannya benar dan oleh sebab itu, apa alasannya sehingga argumen-argumen yang dikemukakan untuk mendukung ateisme dapat diterima?
e. Kristologis
Menunjukkan bahwa Yesus Kristus hanya dapat dijelaskan secara memuaskan jika diperkirakan bahwa Allah hadir dan berkarya di dalam Dia. Para pendukung pandangan ini menunjukkan sifat pribadiNya yang tak bernoda, pernyataanNya yang mengherankan tentang diriNya dan misiNya, dan khususnya bukti kebangkitanNya (Mat.17:22,23). Dalam hal terakhir ini, perhatian khususnya ditujukan pada kesulitan yang dialami untuk memberikan penjelasan lain yang lebih memadai tentang munculnya gereja Kristen dengan begitu cepat sesudah kematian Yesus, jika Ia tidak bangkit. Pernyataan Yesus sebelum peristiwa kematianNya bahwa Ia akan bangkit pada hari ketiga tidak dapat dibantah yakni hanya oknum adikodrati yang sanggup mengetahui persis apa yang terjadi pada dirinya pada masa depan.
Tantangan pandangan ini yakni pertanyaan mengenai kehandalan historis tulisan Perjanjian Baru dan kesulitan filosofis yang ditimbulkan oleh mujizat-mujizat Yesus.
2. Pembuktian Tentang Keberadaan Allah
Pembuktian tentang keberadaan Allah dapat dibuktikan dengan cara berbeda dengan pembuktian ilmu pengetahuan alamiah yang dapat diuji secara empiris di meja laboratorium dengan alat-alat tertentu. Kejadian 1:1 mengatakan: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” yang berarti bukan saja menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi akan tetapi juga bahwa Allah adalah penopang seluruh ciptaanNya dan Pemerintah masa depan pribadi dan bangsa-bangsa. Ayat dalam kejadian ini juga memberikan fakta bahwa Allah mengatur segala sesuatu sesuai dengan kehendakNya dan menyatakan tahapan-tahapan pengaturan Ilahi dari masa ke masa.
Penyataan Allah secara umum tersebut menjadi alat pembuktian yang kuat tentang keberadaan Allah. Allah terlihat dalam hampir setiap halaman Kitab Suci sebagaimana Ia menyatakan diriNya dalam sabda-sabda maupun tindakan-tindakan. Wahyu Allah ini adalah dasar dari iman kita tentang keberadaan Allah, dan membuat iman tersebut seluruhnya bersifat masuk akal. Seperti dikatakan dalam Yohanes 7:17 “Barangsiapa mau melakukan kehendakNya, ia akan tahu entah ajaranKu ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diriKu sendiri”. Seperti diungkapkan Hosea 6:3: “Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan”. Pengetahuan intensif ini merupakan hasil persekutuan yang erat manusia dengan Allah. Orang-orang yang tidak percaya tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang Firman Allah, seperti disampaikan Paulus (1Kor.1:20-21). Ayub mengakui keberadaan Allah dengan menyaksikan ciptaan Tuhan: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayub 42:5).
Penyataan khusus adalah sarana pembuktian keberadaan Allah dalam semesta, di mana Yesus Kristus sebagai penyataan khusus yang berdiam dalam tubuh manusiawi historis, yang merasakan kesukaran badani. Dalam Kolose 1:15, 19-20, mengatakan: “Ia adalah gambar Allah yg tidak kelihatan ............karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia”. Yohanes 1:14 menegaskan Firman atau Kristus yang adalah Allah yang masuk ke dalam dimensi yg tak terbatas dan membatasi kodratNya (Fil.2:7).
SUDUT PANDANG PEMIKIRAN SISTEM ANTITEISTIS
a. Ateisme
Berasal dari kata Yunani atheos (Ef.2:12) yakni suatu keadaan “tanpa Allah”, menunjuk kepada kondisi semua manusia tanpa iman yang menyelamatkan di dalam dan melalui Kristus Yesus. Jadi orang ateis adalah orang-orang yang menolak keberadaan Allah. Orang ateis membangun definisi sendiri tentang ateis, yakni kelompok yang melihat fenomena alam sebagai suatu “kekuatan” yang disebut “Allah”, atau gerak, pemikiran atau hukum alam. Jika kita rela melepaskan definisi tentang Allah dan mengizinkan Allah dapat berarti yang mana saja dari hal-hal tersebut, kita akan mengatakan tidak ada ateis di dunia. Namun jika kita tetap memegang arti sebenarnya Allah sebagai Oknum berpribadi, tidak berciri dunia, mahakuasa, kita akan menyebut mereka yang menolak keberadaan Oknum demikian sebagai ateis.
Alkitab mengingatkan kepada semua manusia bahwa Allah akan mendatangkan kesesatan kepada mereka yang tidak menerima dan mengasihi kebenaran, sehingga mereka menjadi percaya akan dusta (2Tes.2:10-11). Jika pada masa tribulasi (ayat di atas) manusia diperdaya oleh pembinasa keji untuk menyembahnya maka sangat masuk akal pada masa kini pun manusia diperdaya untuk percaya tidak ada Allah. Percaya Allah tidak ada pun adalah suatu percaya yang timbul dari hati manusia. Namun tidak berarti karena manusia percaya Allah tidak ada maka Allah tidak ada. Sebab keberadaan Allah adalah mutlak dan independen sehingga keberadaanNya sebenarnya tidakmenuntut seorang manusia harus mempercayai Dia. Dalam hal ini mengatakan bahwa “tidak ada Allah” dapat dikatakan sebagai kepercayaan atau credo (pengakuan).
1. Pikiran mendasar ateis
Pada era pencerahan dan kebangkitan ilmu pengetahuan manusia di bumi ini mencari jawaban atas fenomena alam ini dengan logika, sehingga segala sesuatu yang tidak dapat dicerna akal akan ditolak. Catatan kisah-kisah Alkitab yang semula dianggap supranatural kini dapat dijelaskan sebagai hal alamiah. Nietzche dan Freud berkata: ide religius telah bermula dari naluri seks, atau bahwa manusia menemukan ilah-ilah karena kebodohan, ketakutan dan ketakhayulan, atau karena manusia merasa memerlukan perlindungan dalam dunia yang luas, dingin dan tidak ada kepastian, atau untuk mengembangkan kelas sosial ataupun lembaga tertentu yang memperngaruhi orang banyak.
Penyangkalan akan adanya Allah pada umumnya didasarkan atas pengandaian akan keterbatasan-keterbatasan daya nalar manusia, walaupun ini dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda.
2. Dampak ateisme
Kebenaran bagi ateisme tentu merupakan hal yang relatif, barangkali sekadar sesuatu yang dirasakan seseorang sebagai hal yang akan paling memberi manfaat baginya dalam situasi khusus mana pun. Pertanyaannya sama seperti yang diajukan Pilatus, “Apakah kebenaran itu?” Setiap orang bebas membuat definisnya tentang kebenaran dan moralitas. Para ateis barangkali melihat perlunya mengekang nafsu manusia demi kebaikan masyarakat, mereka barangkali melihat bijaksananya mengadopsi prinsip etika tertentu yang berasal dari pengaruh Kekristenan, mereka barangkali akan menggunakan pandangan berasaskan manfaat, tetapi tidak ada hal yang di dalamnya ada kebaikan yang dapat dikatakan sebagai hasil filsafat ateistis (Baker). Sampai akhir hayat seorang ateis pasti mati dalam kesia-sian, baik dari sisi moralitas maupun kehidupan setelah kematiannya.
3. Jenis Ateime
Pertama, Ateis dogmatis. Adalah para ahli filsafat, ahli psikologi, dan ahli ilmu pengetahuan yang terang-terangan menyokong dan menyebarluaskan ateisme. Mereka adalah kelompok orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai pengaruh penting dalam masyarakat.
Kedua, ateis prinsip. Adalah orang yang berpegang pada prinsip yang tidak konsisten dengan kepercayaan terhadap Allah maupun yang mendefinisikan Allah dengan istilah yang memerosotkan esensi Diri atau sifatNya. Kaum evolusionis adalah termasuk golongan ini di mana mereka mengatakan Allah adalah keseluruhan energi yang ada di dalam alam.
Ketiga, ateis praktis.Kelompok yang menemui kebosanan dengan agama karena pengalaman kurang menguntungkan, yang barangkali telah terguncang imannya oleh kecurangan orang-orang yang dinamakan penyembuh yang memakai cara kebatinan, atau mereka yang tumbuh dalam lingkungan tidak beragama. Mereka diwakili orang kurang berpendidikan yang secara terbuka menolak keberadaan Allah, dalam segala maksud dan tujuan praktisnya.
Pada kesimpulannya, ateistis percaya bahwa Allah itu tidak ada. Mereka percaya dalam seluruh pemikiran, tindakan hidup mereka.
b. Agnostisime
Agnostic adalah ajaran yang menegaskan bahwa pengetahuan yang benar tidak mungkin diperoleh dan bahwa semua pengetahuan yang benar tidak mungkin diperoleh dan bahwa semua pengetahuan yang ada bersifat relatif sehingga dengan demikian tidak pasti (dari Aristoteles sampai David Hume). Menurut Berkhof, sikap dasar agnostic adalah bahwa pikiran manusia tidak memiliki kemampuan mengetahui apa pun yang berada di luar dan di balik fenomena alamiah, dan karena itu tentu saja tidak menyadari hal yang di luar jangkauan indra serta hal yang ilahi (Berkhof). Umumnya dalam dunia teologi istilah ini terbatas pada pandangan yang menegaskan bahwa baik adanya Allah maupun sifat asli Allah maupun sifat asli alam semesta tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.
Agus Comte (1798-1859, pendiri Posivisme) memutuskan untuk tidak menerima sesuatu sebagai benar di luar detail-detail dari fakta-fakta yang dapat diamati; dan karena gagasan akan adanya Allah tidak dapat diperiksa seperti itu, maka Comte mengabaikan gagasan tersebut serta sepenuhnya meneliti gejala-gejala yang nampak. Pandangan agnostic sangat tetap karena mereka mengakui sendiri tidak pernah mencapai kepastian sepenuhnya. Beberapa agnostis menuduh bahwa orang lain dengan sombong dan angkuh mengakui memliki pengetahuan yang lebih tinggi, tetapi agnistic secara jujur mengakui keterbatasan pengetahuan manusia. Berikut beberapa pernyataan agnostis yang sering dikemukakan.
1. Manusia tidak memiliki kemampuan mengetahui apa pun di luar bidang fenomena alamiah.
Pernyataan agnostis ini meniadakan keseluruhan kehidupan dan pelayanan Kristus di bumi serta orang-orang yang menuliskan Alkitab kepada kita. Sedangkan Alkitab sendiri disokong oleh fakta-fakta sejarah bahwa Allah telah datang dari lingkup di luar jangkauan akal ke lingkup jangkauan akal, bahwa Allah mewujudkan diri dalam daging, bahwa Ia dapat dilihat dan dipegang serta diamati banyak saksi. Banyak di antara mereka adalah skeptis dan tidak percaya sebelum menyaksikan sendiri bukti-bukti secara fisik dan kasatmata.
2. Manusia hanya dapat mengetahui melalui analogi yang terbatas.
Hal-hal yang terbatas dikatakan tidak dapat dianalogikan dengan yang tidak terbatas, karena itu tidak ada pengetahuan tentang Allah. Pernyataan tersebut bertentangan dengan Alkitab yang mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kita mengetahui banyak hal melalui pembedaan dan pembandingan. Kebenaran dispensasional pada umumnya dipelajari dengan “membedakan hal-hal yang berbeda” (Fil.1:10).
3. Manusia hanya benar-benar mengetahui hal yang dapat dipahaminya secara menyeluruh.
Manusia tidaklah memiliki pengetahuan lengkap atas apapun. Manusia hanya “mengetahuan sebagian” saja. Namun pengetahuan ini sebagian dapat merupakan pengetahuan sejati.
Agnostisisme bukanlah keadaan yang di dalamnya pikiran makhluk berakal dapat berhenti secara permanent. Pada dasarnya agnostic adalah kondisi kerisauan, pengakuan akan ketidaktahuan, dan menyerahnya akal terhadap pokok-pokok tertinggi. Tidak mungkin, karena naturnya, bagi pikiran untuk tetap berkanjang dalam sikap pasif ini. Pikiran itu mau tidak mau akan memaksa ke arah pandangan yang satu atau yang lain yang menunjukkan dirinya sebagai alternatif, entah ke Teisme atau ke Materialisme dan Ateisme dogmatis (James)
PANDANGAN ALKITAB TENTANG ALLAH
A. Hakikat Allah
Menurut Philo, Tuhan adalah transenden, dalam arti bahwa Tuhan Allah pada hakekatnya tidak dapat dihampiri oleh akal manusia. Sekalipun ada perbedaan di sana sini, pada dasarnya teologi Kristen, dengan cara lebih atau kurang, mengikuti pandangan ini. Pandangan Teologi Kristen tentang Tuhan: Tuhan Allah adalah transenden hakikatNya tidak dapat dikenal oleh manusia secara mutlak. Akan tetapi timbullah kemudian ajaran tentang penyataan atau wahyu Allah, yang dipandang sebagai penyesuaian diri Allah kepada keadaan manusia. Agar supaya Allah yang transenden, yang tidak dapat ditembus oleh akal manusia itu, dapat dimengerti oleh manusia, maka Tuhan Allah dalam wahyuNya harus menyesuaikan diri dengan kecakapan manusia. Dalama penyataanNya itulah Tuhan memakai bentuk-bentu antropomorfisme (Harun).
Ada pengetahuan tentang Allah yang dimiliki oleh Allah sendiri, yang tidak dapat diketahui oleh manusia, dan ada pengetahuan tentang Allah yang dimiliki oleh manusia, yang berdasarkan penyataan atau wahyu Allah. Sebab manusia hanya dapat mengenal Allah melalui wahyu kitab suci dan melalui alam semesta.
a. Allah ada dengan sendirinya
Karena Tuhan ada dengan sendirinya maka tidak diperlukan hal lain yang dapat menyebabkan Dia ada. Dialah penyebab pertama segala sesuatu. Namun tidak tepat jika dikatakan bahwa Tuhan adalah penyebab diriNya sendiri. Sumber keberadaan manusia di luar dirinya sendiri, tetapi keberadaan Allah tidak bergantung pada apa pun di luar diriNya sendiri.Ayat-ayat berikut patut dipelajari:
Keluaran 3:14 =
Yohanes 8:58 =
Yesaya 41:4 =
Wahyu 1:8 =
b. Allah tak terhingga
Allah tidak dapat dibatasi dengan ukuran, tempat, ruang dan waktu. Allah tidak terbatas oleh sesuatu, bahkan segala benda yang terbatas bergantung kepada Allah. Meskipun Allah transenden dan imanen, namun Dia ada di segala tempat dan keadaan dalam hakekat maupun dalam pengetahuan dan kuasaNya. Kapanpun dan di mana pun zat rohani itu ada pastilah Ia utuh adanya, sebagaimana jiwa.
1Raja-Raja 8:27 =
2Tawarikh 2:6 =
Mazmur 113:4-6 =
Mazmur 139:7-8 =
Yesaya 66:1 =
Yeremia 23:24 =
Kisah 17:24-28 =
c. Allah kekal
Hakikat Allah kekal berarti bahwa Allah selalu ada dan tidak pernah tidak ada. Keberadaan Allah tidak bisa dijabarkan titik awal dan titik akhirnya baik di masa silam maupun di masa yang akan datang, tak berhenti tak terbatas dan tak lekang oleh waktu atau peristiwa. Keberadaan kekal Allah bergantung pada dirinya sendiri. Berkhof berkata: “kesempurnaan Allah di mana Ia ditinggikan di atas segala batas-batas sementara dan segala rangkaian waktu, dan memiliki seluruh keberadaanNya di dalam satu saat sekarang yang tak dapat dibagi-bagi (Berkhof). Sesungguhnya Allah tidak perah dikatakan “menjadi ada” karena tidak ada penyebab lain yang menyebabkan Allah ada. Inilah hakikat Allah yang kekal yang tak berujung pangkal keberadaanNya. Kata yang sering digunakan Alkitab untuk menjelaskan kekekalan Allah ialah “dari selama-lamanya sampai selama-lamanya” (Maz.90:2) dan “Allah kekekalan” / El Olam dalam Kejadian 21:33.
d. Kerohanian
Allah tidak memiliki ciri apa upun yang terdapat pada benda. Allah tidak dapat dibagi, dimekarkan ataupun dijumlahkan. Allah tidak kelihatan (Kol.1:15; 1Tim.1:17; Ibr.11:27). Semua pemikiran yang akan menyatukan atau menyamakan Allah dengan dunia tidak dapat digunakan. Allah bukan dunia ataupun bagian dari dunia. Yesus berkata: Allah itu Roh (Yoh.4:24). Hakekat kerohanian Allah berarti:
Pertama, Allah tidak berbadan dan tidak berwujud. Jika Allah adalah Roh maka dengan sendirinya Allah tidak berbadan dan tidak berwujud. Peraturan larangan penyembahan berhala dan membuat patung didasarkan keadaan Allah yang tidak berwujud. Dalam kitab tertentu Allah digambarkan memiliki kaki (Kej.3:8), tangan (Yes.65:2), mata (1Raj.8:29), telinga (Neh.1:6) merupakan pengungkapan bentuk-bentuk antropomorfik untuk membuat Allah seolah-olah nyata.
Kedua, tidak dapat dilihat. Yohanes mengatakan “tidak seorang pun yang pernah melihat Allah” (Yoh.1:18). Paulus menyebutkan Allah sebagai objek yang tidak kelihatan (Kol.1:15; Roma 1:20; 1Tim.1:17), dan bahwa tidak ada orang yang telah/dapat melihat Allah (1Tim.6:16). Dalam peristiwa Musa berjumpa dengan Allah dalam Keluaran 33:23, Musa “melihat belakang” Allah yang dipandang bahwa Musa melihat akibat yang kemudian disebut “sisa pantulan” kemuliaan Allah.
Ketiga, Allah itu berkepribadian. Berkepribadian artinya adalah memiliki kesadaran diri dan kemampuan membuat keputusan sendiri. Hanya yang memiliki roh yang dapat disebut sebagai pribadi. Tidak pernah dikatakan pribadi anjing A, atau pribadi kucing hitam, dan lain-lain. Karena roh inilah yang menjadi pembeda antara manusia dengan hewan. Hal-hal yang secara lahiriah berkaitan dengan Roh adalah pikiran, kehendak dan perasaan. Dalam diri manusia, kepribadian dan kejasmanian bersatu dalam satu orang selama ia hidup di dunia ini, setelah mati tubuh terurai dalam tanah sedangkan kepribadian tetap ada. Binatang tidak memiliki kesadaran diri berupa perasaan, pikiran dan kehendak seperti manusia. Sebab itu jika Allah adalah Roh, maka Ia tentu memiliki kesadaran diri, akal budi, dan kehendak. Baiklah simpulkan ayat berikut ini:
Kejadian 6:6 =
Keluaran 3:14 =
Yesaya 45:5 =
Mazmur 104:27-30 =
Ibrani 6:17 =
Roma 9:11 =
Ayub 23:13 =
Kisah 14:15 =
Keempat, Allah itu hidup.Ini menandakan adanya perasaan, kuasa dan tindakan. Kita menyembah dan mempercayai Allah yang hidup, bukan Allah yang mati, sehingga tidak perlu teriakan keras untuk berseru kepada Dia. Allah kita hidup, Ia melihat, mendengar dan mengasihi. Berhala ciptaan manusia berdosa itu mati, tidak mampu melihat, mendengar, mengasihi dan menajawab doa. Cermati ayat berikut:
Yosua 3:10 =
1Samuel 17:26 =
Mazmur 115:3-9 =
Mazmur 36:10 =
Mazmur 84:3 =
Matius 16:16 =
Yohanes 5:26 =
Kisah 14:15 =
1Timotius 3:15 =
1Tesalonika 1:9 =
Wahyu 7:2 =
Kelima, Allah tidak berwujud fisik. Dalam Lukas 24:39 dikatakan: “....roh tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat padaKu” (Lukas 24:39). Karena Allah adalah Roh, maka Dia tidak memiliki wujud fisik yang dapat dilihat atau diraba. Adalah penghinaan terhadap Allah apabila manusia menyamakan Allah dengan benda-benda yang kelihatan, sehingga penyembahan patung-patung, yang dilarang dalam Keluaran 20, adalah perbuatan sirik yang tidak berdasarkan keberadaan Allah yang Roh adanya, tidak berwujud benda.
Keenam, Allah tidak dapat dilihat manusia. Ketika Allah menampakkan diri kepada orang Israel mereka “tidak melihat sesuatu rupa”, karena itu mereka dilarang membuat patung yang menyerupai apapun juga (Ulangan 4:15-19). Teofani adalah penampakan ilahi yang dapat dilihat oleh mata jasmaniah. Yakub berkata: “Aku telah melihat Allah berhadapan muka” (Kej.32:30). Ayat rujuka:
Kejadian 16:7-14 =
Keluaran 3:2-5 =
1Raja-Raja 19:5-7 =
Kejadian 18:13-33 =
Kejadian 22:11-18 =
Hakim-Hakim 6:11-23 =
2Raja-Raja 19:35 =
B. Sifat Allah
Semua sifat Allah itu harus dipandang sebagai nyata secara objektif, bukan sekedar hasil pemikiran manusia tentang Allah. Sifat Allah dapat digolongan sebagai sifat alamiah (sifat yang berkaitan dengan alam), sifat moral (sifat yang berkaitan dengan pengawasan kesusilaan) dan sifat imanen (sifat Allah yang ada dalam diriNya sendiri, yakni sifat yang nampak keluar dari diriNya dalam hubungannya dengan ciptaanNya) (Thiessen). Lewis Sperry Chafer memandang sifat Allah sebagai kualitas unggul dalam diri Allah dengan membagi dua sifat Allah, yaitu: sifat dasar (ketulusan, kesatuan, ketidakterbatasn, kekekalan, ketidakberubahan, kemahahadiran, dan keberdaulatan) dan kepribadian Allah (mahatahu, perasaan dan kehendak).
a. Mahahadir (omnipresent). Allah dapat hadir di mana-mana pada saat bersamaan di seluruh dunia (sifat imanen), seperti dikatakan Mazmur 139:7,8: “Ke mana aku dapat menjauhi rohMu, ke mana aku dapat lari dari hadapanMu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau”. Tuhan hadir dalam alam semesta ciptaanNya, namun tidak dibatasi oleh alam semesta ciptaanNya itu. Tidak ada suatu mahluk pun yang tersembunyi di hadapanNya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di hadapan Dia, yang kepadaNya kita harus memberikan pertanggungan jawab (Ibr.4:13). Menyadari Allah mahahadir mendorong kita untuk hidup bijaksana dan takut akan Tuhan, dan dapat membuat seseorang yang berencana jahat akhirnya dituntun untuk mencari Allah.
b. Mahatahu. Pengetahuan Allah tidak ada batasnya dan kebijaksanaanNya tidak terhingga. Manusia mengetahui apa yang ada dalam bumi ini dengan mempelajari alam semesta, tetapi ada banyak perkara yang juga belum terjangkau oleh pengetahuan manusia, sehingga manusia tidak sanggup menjelaskan betapa rumitnya ciptaan itu. Pengetahuan Allah sangat sempurna dan lengkap sejak kekekalan sampai kekal. Ia mengetahui segala sesuatu secara bersamaan, langsung, lengkap, mendalam dan sungguh-sungguh. Roma 11:33 berbunyi: “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya!”. Segala sesuatu yang bersifat mungkin maupun yang aktual diketahui Allah yang meliputi masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Thiessen memberi lima rumusan tentang Allah mahatahu:
Pertama, Allah mengenal diriNya sendiri secara sempurna. Tidak ada makhluk ciptaan yang mengenal dirinya sendiri secara menyeluruh dan secara sempurna itu.
Kedua, Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus saling mengenal secara sempurna (bdk. Mat.11:27; 1Kor.2:11; Rom.8:28).
Ketiga, allah mengetahui hal-hal yang benar-benar ada, seperti: ciptaan yang tidak hidup, binatang, manusia dan segala perbuatannya, pikiran manusia, serta beban dan kebutuhan manusia (bdk. Maz.139:1-4; 147:4; Mat.6:8,32; 10:29; Ams.15:3; Kel.3:7).
Keempat, allah mengetahui hal yang mungkin terjadi (baca: 1Sam.23:11-12; Mat.11:21-24; Yes.48:18).
Kelima, Allah mengetahui masa depan, yakni pengetahuan tentang segala hal yang belum terjadi dan akan terjadi di masa yang akan datang (Yes.44:26-45:7; 46:9,10; Dan.2&7; Mat.24&25; Kis.2:23; 3:18; 15:18; Mik.5:1).Pengetahuan Allah tentang masa depan tidak menyebabkan hal itu terjadi. Tindakan-tindakan tersebut telah diketahui karena tindakan itu akan terjadi. Kejahatan moral yang telah diketahui (dinubuatkan) terlebih dulu tidaklah meniadakan tanggung jawab si pelaku kejahatan (Mat.18:7; Yoh.13:27; Kis.2:23).
Pelajarilah ayat berikut ini:
Yesaya 46:10 =
Mazmur 147:5 =
Ibrani 4:13 =
Kisah Rasul 15:18 =
Matius 11:21-24 =
c. Mahakuasa. Allah dapat melakukan apa saja, kecuali hal yang bertentangan dengan sifat-sifatNya. Hal-hal yang bertentangan dengan sifatNya ialah: berdusta (Ibrani 6:18), berbuat dosa (Yak.1:13), menyangkal diriNya (2Tim.2:13). Kristus berkata, “Bagi Allah segala sesuatu mungkin” (Mat.19:26), dan Ia juga berkata, “KepadaKu telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi” (Mat.28:18). Ayub berseru “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu” (Ayub 42:2). Yeremia memulai doanya dalam Yeremia 32:17 “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya, Engkaulah yang telah menjadikan langit dan bumi dengan kekuatanMu yang besar dan dengan lenganMu yang terentang. Tiada suatu apapun yang mustahil untukMu!” Allah menyatakan diriNya kepada Abram sebagai “Allah Yang Mahakuasa” (Kej.17:1).
Kemahakuasaan Allah dapat dijelaskan dengan pengertian: Pertama, mahakuasa bukan satu-satunya sifat Allah. Allah menunjukkan kemahakuasaanNya seturut dengan kebijaksanaan, pengetahuan, kekudusan, dan keadilanNya. Hanya pikiran yang tidak terbatas dapat mengetahui hal yang terbaik dan yang pada akhirnya mendatangkan kemuliaan bagi Allah. Kedua, Mahakuasa bukan berarti bahwa Allah berkenan menggunakan semua kuasaNya. Ia Pribadi bebas dan tidak ada keharusan bagiNya untuk menggunakan kuasaNya yang mana saja, sedikit maupun seluruh. Allah memiliki kendali atas kuasaNya. Mungkin saja Allah dapat menciptakan manusia yang dapat bergerak secara otomatis tanpa kemampuan membuat pilihan, tanpa pertimbangan sendiri, tanpa kemampuan menurut atau menolak, tanpa kemungkinan mengasihi atau membenci, makhluk tanpa emosi, tetapi Ia ternyata tidak melakukannya. Allah justru menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya.
d. Tidak berubah. Hakikat, sifat-sifat dan, kesadaran dan kehendak Allah tidak akan berubah. Semua perubahan merupakan perubahan kepada keadaan yang lebih baik atau yang lebih buruk. Akan tetapi Allah tidak mungkin berubah menjadi makin baik karena Allah sungguh-sungguh sempurna adaNya, dan Allah tidak mungkin berubah menjadi lebih buruk karena sifat Allah adalah Mahabaik.
e. Kudus
f. Benar dan adil
g. Kebaikan
h. Kebenaran
Langganan:
Komentar (Atom)
DOKTRIN KRISTUS (KRISTOLOGI)
PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG KRIST US A. Ebionisme: “Yesus manusia biasa, diangkat menjadi Mesias karena kesalehan.” Go...
-
figures are: Adam ( Gen. 28-30; 2:15-17) 1. Man in the presence of the original: 2. Created from the dust of the ground, broug...
-
(Included in the dispensation of the Law) This short period began with the preaching of John the Baptist, "the kingdom of heaven...
-
Paulus menggunakan sejumlah kata-kata Yunani yang berbeda untuk menjelaskan nature dosa. Hamartia adalah kata umum yang digunakan untuk...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar