Abstract
Offering to God encourage
believers to love God and not love yourself and fortune. Understanding of the
Old Testament teaches us to give to God the obedience of faith , not a deadly
demands. Tithing interpret it as a fragrant sacrifice to God is better than as
an expression of the fulfillment of specific legal or tax repayment is certain.
Well give sacrificially because we already receive.
Keywords : offering, the victim , the Old Testament , Tithing and Giving .
Pendahuluan
Menoleh kepada Perjanjian Lama kita akan
melihat banyak bentuk persembahan yang terdapat dalam bagian itu. Pertanyaan
sederhana kita ialah, apakah kita dapat menerapkan bagian itu? Bagaimanakah
kita menganalisa teks dan membuat penerapan praktisnya? Alkitab menjabarkan
sangat jelas makna persembahan dan bagaimana sikap kita orang percaya
seharusnya. Salah kaprah terhadap analisa tentang persembahan dalam Alkitab
dapat menyebabkan salah terapan teks masa kini. Melalui tulisan ini penulis
hendak menjelaskan makna persembahan ditinjau dari persfektif Perjanjian Lama.
Tulisan ini berisi upaya bagaimana memaknai persepuluhan dalam masa anugerah
ini baik dalam tinjauan biblikal maupun dalam penerapan praktisnya.
1.
Persembahan
ditinjau dari perspektif Perjanjian Lama
Melihat penjelasalan dalam kitab Perjanjian Lama yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia menggunakan terutama kata korban persembahan, selain dari kata persembahan saja, untuk
menterjemahkan beberapa kata dalam bahasa Ibrani yang dapat digolongkan pada
korban atau korban persembahan. Sepertinya kekurangan makna bahasa dalam tatanan bahasa
Indonesia untuk menjelaskan makna kata persembahan itu. Kemudian Pendeta Bonar H. Lumbantobing juga dalam tulisan artikel mengenai ‘Teologi
Persembahan’ mengatakan
bahwa:
“Banyaknya kata untuk persembahan menunjukkan juga
banyaknya jenis-jenis korban persembahan yang dikenal oleh umat Israel. Dalam
perjalanan sejarah iman Israel, umat itu kemudian sampai pada tahap, di mana
mereka meninjau ulang pelaksanaan korban-korban persembahan itu sesuai dengan
kehendak Allah. Seluruh korban-korban yang beraneka ragam itu disatukan dengan
menggunakan satu istilah saja, yaitu korbân. Istilah ini juga tidak membedakan
lagi mana korban yang berdarah (zébakh) mana yang tidak berdarah (minkhâ). Atas
istilah yang satu itu, maka ditentukanlah lima jenis persembahan dari antara
seluruh jenis yang sudah dikenal pada jaman sebelumnya, yaitu: Korban bakaran,‘olâ, Korban
sajian, minkhâ,
Korban keselamatan, syélém, Korban
dosa, khattât, Korban
kesalahan âsyâm. Korban-korban
persembahan lainnya masih tetap berlaku, namun ke lima korban inilah yang
dinilai sebagai inti dari seluruh korban persembahan yang beraneka ragam
tersebut. Ke lima korban ini dijelaskan secara khusus dalam Imamat 1:1-6:7 dan
Imamat 6:8-7:38.”[1]
Sampai sejauh ini kita dapat melihat belum ada kaitan dengan apa yang gereja tubuh
Kristus di zaman kasih karunia ini jalankan dan pahami
berkaitan dengan persembahan, dalam
arti belum terdapat hal yang dapat relevan diterapkan. Lebih lanjut lagi Bonar
mengatakan bahwa:
“Namun bila diperhatikan lebih dalam lagi, ke
lima jenis persembahan di atas digolongkan pada tiga jenis: Pertama: korban bakaran dan korban
sajian dipersembahkan selalu bersamaan dan sifatnya dilihat sebagai pemberian
atau persembahan dari pihak manusia pada Allah. Pada bagian ini tergolonglah
korban-korban nazar, korban ucapan syukur dan korban buah sulung. Kedua: korban keselamatan adalah korban
di mana sebagian dari yang dikorbankan dimakan juga oleh yang mempersembahkan,
sehingga korban ini lebih bersifat ‘persekutuan’. Terhadapnya tergolonglah
seluruh korban-korban yang bersifat persekutuan. Ketiga: Korban ‘penghapus dosa’ dan korban ‘penebus salah’,
keduanya sifatnya adalah korban yang bersifat pendamaian.”[2]
Namun bila melihat ke dalam perjalanan hidup Israel, pemahaman seperti ini sangat dekat
dengan kesalahpahaman, seolah-olah seluruh persembahan itu terpisah-pisah dan
dijalankan menurut kebutuhan seseorang saja, sehingga persembahan ditentukan
oleh manusia. Oleh
karena itu dalam kitab Imamat persembahan
dijelaskan lagi sebagai rangkaian upacara yang saling terkait dan saling
melengkapi; beberapa persembahan itu digambarkan sebagai tahap-tahap upacara
yang secara berurutan dijalankan, sehingga akhirnya dia terlihat menjadi satu
kesatuan. Bila rangkaian pelaksanaan persembahan dalam Imamat 8 diperhatikan
dalam hari tertentu, lalu Imamat 9 pada kesempatan yang berikut, selanjutnya
Bilangan 28-29 sebagai rangkaian persembahan dalam waktu yang berkesinambungan
(pada hari Sabbat, pada bulan baru, pada minggu
ketujuh, pada bulan ketujuh dst), maka terlihatlah maksud utamanya adalah agar
seluruh persembahan pada akhirnya dipusatkan dalam satu acara tunggal dengan
makna tunggal yaitu pendamaian. Seperti juga dikatakan Bonar di bawah
ini:
Bila pendamaian yang menjadi tujuan utama, maka
itu datang dari pihak Allah pada manusia, seperti bagian ke tiga dalam bagan di
atas. Pendamaian adalah anugerah, adalah pemberian dan datang dari atas
oleh karena itu persembahan adalah anugerah Allah, persembahan adalah pemberian
Allah dan persembahan datang dari atas. Hal ini dimungkinkan, karena sudah
terjadi ikatan antara Allah dengan umat Israel melalui perjanjian. Karena
perjanjian inilah maka Allah selalu mengambil inisiatip untuk mengadakan
pendamaian dengan umat Israel dan itu berlangsung melalui persembahan.[3]
Dapat kita simpulkan bahwa Allah menolong manusia agar mampu dengan tulus menyerahkan persembahan dari miliknya pribadi sebagai tanda pengakuan (confesion) iman yang konkrit terhadap Allah, sebab Allah sendiri telah melimpahi umatNya dengan berkat, sehingga mereka dapat mengakui bahwa
Allahlah satu-satunya sumber dari berkat itu. Melalui persembahan kurban ini bangsa Israel mengakui bahwa Allah Mahamurah sebab Dia memberi mereka kehidupan dan berkat, maka umat pun dapat
’meminta’ sesuatu dari Allah sendiri. Dan pada akhirnya kebenaran tentang persembahan adalah: persembahan itu berasal dari Allah dan kembali
pada Allah.
2.
Memaknai Persembahan Persepuluhan ditinjau dari perspektif Perjanjian Lama.
Hal mendasar sebenarnya persepuluhan bukanlah
pokok teologi yang baru sebab sudah ada di dalam Perjanjian Lama. Artinya,
masalah persepuluhan seakan-akan muncul sebagai masalah baru atau pokok teologi
“baru”. Dengan demikian, banyak kesimpangsiuran pendapat tentang persepuluhan yang dapat menyebabkan
beragam pandangan tentang teologi persepuluhan.
Kata yang dipakai untuk
persepuluhan di dalam Perjanjian Lama adalah “maaser (Ibrani) yang berasal dari bahasa Aram: aser, yang artinya: kekayaan.”[4] Dalam Alkitab New King James
Version menulis kata sepersepuluh artinya, “tithe”.[5]
Menurut Kamus Lengkap yang ditulis oleh S. Wojowasito dan Tito W. Wasito, arti
kata “tithe: sepersepuluh (=10%); vb. Mengambil
sepersepuluh dari.”[6] Bahkan Yamowa’Abate’e menulis dalam
bukunya dengan mengutip Kamus Inggris-Indonesia sekarang John M. Enchols dan
Hasan Shadily, mengatakan:
“tithe”memiliki arti “kb. sm Zakat,
sepersepuluh dari penghasilan (yang diberi Gereja). Sebaliknya, di dalam Kamus
Indonesia-Inggris, Yamowa’Abate’e mendapatkan istilah persepuluhan dengan
menggunakan kata “zakat”. “Zakat (ist) tithe, fitrah (isl) tithe rice or money
paid on last day of fasting month, -maal tithe paid by rice people.” Artinya,
zakat (istilah dalam Islam) persepuluhan, - fitrah (dalam Islam) persepuluhan
berupa beras atau uang yang dibayarkan pada hari terakhir pada bulan puasa, -
maal persepuluhan yang dibayar oleh orang-orang kaya.”[7]
Dalam pandangan umum ternyata, persepuluhan disamakan dengan zakat, yaitu sebuah praktik
keagamaan yang di lakukan oleh sudara sebangsa kita yang memeluk agama Islam. Namun inti arti kata persepuluhan
adalah “mengambil sepersepuluh dari penghasilan. Apabila memerhatikan zakat
yang diuraikan (cukup jelas, ada bentuknya, waktu pemberiannya) dalam terjemahan
di atas, dibandingkan dengan persepuluhan yang diberlakukan dalam gereja,
informasi yang didapatkan sangat minim.
“Inilah
kenyataannya, sangat sedikit yang mengetahui dengan jelas apa itu
“persepuluhan”. Sebuah misteri yang di beberapa gereja diwajibkan, tetapi sesungguhnya jemaat tidak begitu paham
konsep persepuluhan itu. Jemaat hanya tahu, bahwa persepuluhan adalah sesuatu
yang harus, wajib, tidak boleh tidak, untuk diberikan kepada gereja. Apabila
tidak memberi, kutuk, musibah, sakit penyakit, dan segala macam yang menakutkan
akan dialami.”[8]
Persepuluhan
dalam bahasa Ibrani adalah rfEß[]m; (Hebrew Word). Menurut
Program Alkitab “Bible Work 7” kata ini memiliki penjelasan sebagai berikut:
“(Hebrew Word) rfEß[]m;{rf;[]m;} or (Hebrew Word)m; rf;[]m; {rf;[]m;} and (in pl.) fem. ma`asrah {mah-as-raw'}. Meaning: 1) tithe, tenth
part 1a) tenth part 1b) tithe, payment of a tenth part. Usage: AV - tithe 27, tenth
part 2, tenth 2, tithing 1; 32”. Jadi ternyata kata asli “persepuluhan (ma’aser) artinya bisa persepuluhan, sepersepuluh bagian atau
memberikan sepersepuluh dari.” [9]
Kata
Persepuluha dalam bahasa Yunani, yaitu bahasa asli Perjanjian Baru adalah (dekade) kata Yunani yang memiliki arti “The custom of giving a 10th part of the produkcts of land
and of the spoils of war to priests and kings”. Artinya, “kebudayaan memberikan sepersepuluh bagian dari
hasil pertanian (tanah) dan
dari hasil rampasan perang kepada imam atau raja.”[10]
Dari laman Wikipedia juga didapat informasi mengenai persepuluhan yakni:
“A tithe (from old English teogopa “tenth”) is a one-tenth part of some
thing, paid as a (usually) voluntary contribution or as a tax or levy, usually
to support a Christian religious organization. Artinya, persepuluhan (dari bahasa Inggris
kuno teogopa “kesepuluh”) adalah satu dari sepuluh bagian dari sesuatu, dibayar
sebagai kontribusi pertama atau sebagai pajak atau pungutan, biasanya untuk
mendukung sebuah organisasi rohani Kristen.”[11]
Menjadi pertanyaan kita
adalah: Jika memang
persepuluhan adalah sebuah budaya yang telah diterapkan, apakah budaya tersebut
hanya ada di dalam Alkitab atau sudah ada sebelumnya? Sesungguhnya, budaya ini
berasal dari mana? New Bible Dictionary, yang
mengatakan bahwa:
“Praktik
persepuluhan bukan ide orsinal dari Abraham atau bangsa Israel. “The custom of tithing did not originate with
the Mosaic law (Gn. 14:17-20), nor was it peculiar to the Hebrews. It was
practised among other ancient peoples.”
Artinya, kebiasaan atau budaya pemberian persepuluhan bukanlah ide murni atau
orsinal dari Hukum Musa (Kej. 14:17-20), dan bukan pula berasal dari budaya
Ibrani. Hal itu sudah dipraktikkan pada masa nenek moyang bangsa lain.”[12]
Terdapat juga dalam salam
satu sumber dalam website jewishencyclopedia.com mengatakan bahwa praktik “persepuluhan sudah menjadi sebuah budaya atau
tradisi dari setiap nenek moyang bangsa-bangsa. “Tithing one’s possessions was a very ancient custom, existing as early
as the time of the Patriarchs.”[13]
Dari wikipedia.org dapat ditemukan bahwa praktik persepuluhan sudah sering
dilakukan di daerah Timur Tengah seperti di Lydia, Arab, Karthago.”[14]
Kebenarannya adalah, praktik persepuluhan ini sudah menjadi suatu tradisi dan budaya yang sudah
sangat lama, dalam arti sudah di praktikkan jauh sebelum konsep ini dijadikan
sebuah hukum dalam Taurat Musa. Bahkan dapat diketahui pula bahwa Abraham
sendiri mempraktikkan hal ini bukan karena diperintahkan oleh Tuhan melainkan
karena sudah menjadi kebiasaan yang umum. Tentunya Abraham melakukannya karena imannya
kepada Allah yang memeliharanya. “Menurut ukuran persepuluhan pajak di Babilon, Abraham di dalam kitab
Kejadian sudah sangat akrab dengan konsep pemberian sepuluh persen dari
barang-barang sebagai pajak.”[15] Berdasarkan pemahaman beberapa sumber
di atas tersebut dapat
diketahui bahwa makna persepuluhan
adalah:
Pertama, pemberian
persembahan kepada dewa-dewa yang disembah, kepada raja, atau kepada orang-orang yang dianggap
lebih berkuasa.
Kedua, praktik
persepuluhan tidak hanya sebagai persembahan tetapi dapat juga disamakan dengan
pajak (tax) sebagai upeti yang
menunjukkan bahwa orang yang menerima upeti kedudukannya lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang memberikan upeti (persepuluhan).
Dalam sebuah artikel yang
ditulis dalam www.sahabatsurgawi.net arti dari pemberian persepuluhan
pada zaman itu, dapat diketahui memiliki pengertian sebagai berikut:
“Kata persepuluhan
(Ibrani: maser, Yunania: decade) sebetulnya bukan istilah
keagamaan. Itu adalah istilah matematika. Dalam dunia kuno angka 10 adalah
dasar untuk system perhitungan (angka dasar untuk mengukur, juga merupakan
simbol penyelesaian). Agama kuno di Timur Tengah memberi persembahan kepada
ilah-ilahnya dengan memakai perhitungan sepersepuluh. Dalam agama-agama kuno,
angka 10 adalah lambang keseluruhan atau kesempurnaan. Bila seseorang telah
memberi sepersepuluh kepada ilahnya menunjukkan penyerahan menyeluruh.”[16]
Dengan demikian arti pemberian persepuluhan adalah
“penyelesaian atau penyerahan menyeluruh” dari segala yang kita miliki. Dengan memberikan persepuluhan
kepada ilah yang disembah menunjukkan bahwa seseorang telah menyerahkan
hidupnya secara total, baik jasmani maupun rohani.
Demikian juga secara politis, pemberian persepuluhan pada masa itu
memiliki fungsi yang sangat berarti, sebab pemasukan keuangan dari persepuluhan adalah sumber
keuangan negara (upeti atau pajak). Dalam bidang ekonomi, persepuluhan dapat
mempererat hubungan sebuah Negara, di mana sebuah negara dapat memberi
persepuluhan sebagai upeti penghormatan. Sebagaimana
pula dilakukan oleh bangsa-bangsa timur pada peradaban terdahulu demikianlah
kebiasaan orang-orang memberi sepersepuluhan, seperti berikut:
“Terdapat semacam
tradisi diantara bangsa-bangsa seperti: Mesir, Syria, Lydia, Babylonia, Asyur,
yang memfungsikan ‘persepuluhan’ sebagai upeti atau pajak. Bangsa-bangsa yang
lebih kecil, secara politis, berkewajiban untuk melaksanakan ‘persepuluhan’
kepada bangsa yang menjajahnya. Selain itu, ‘persepuluhan’ yang diberikan akan
menambah nilai ekonomis dalam hubungan dagang di antara kedua negara, yakni
menjadi semacam ‘penyuapan’, untuk melancarkan segala urusan dagang”.[17]
Sehingga dapat
disumpulkan bahwa konsep
persepuluhan bagi bangsa-bangsa lain di luar Israel pada saat itu tidak hanya
berbicara soal persembahan dari sudut pandang keagamaan, tetapi juga dari sudut
pandang politik. Yamowa mengatakan:
Persepuluhan
adalah sebuah budaya yang luar biasa! Hal ini telah lama diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat, bahkan jauh sebelum Abraham Bapa orang beriman itu
menerapkannya. Penerapannya memiliki makna yang berbeda-beda, tergantung siapa
yang memberi dan siapa yang menerima.[18]
Pada masa itu persepuluhan diberikan kepada
raja, imam, bahkan dewa, namun bagaimana praktik
persepuluhan itu dalam kehidupan umat Tuhan
dalam Alkitab? Adakah persamaan ataukah memang berbeda?
Pada kenyataannya
kebiasaan pemberian
persepuluhan bukanlah kebiasaan orsinal bangsa
Israel atau Yahudi, tetapi itu merupakan sebuah tradisi yang telah lama berkembang di bangsa-bangsa lain pada
zaman Abraham bahkan
sebelumnya.
Dalam kitab suci Tuhan hanya memberikan petunjuk catatan bahwa pemberian persepuluhan
pertama kali muncul pada zaman Abraham. Peristiwa ini ditulis di dalam Kitab Kejadian 14:20.
“Praktik
pemberian persepuluhan ini sudah menjadi kebiasaan bangsa-bangsa lain pada
zaman Perjanjian Lama. Pemberian persepuluhan kepada Melkisedek adalah sebuah
bentuk pengakuan, penghormatan, dan penghargaan, Abram kepada Melkisedek.
Selanjutnya ia berkata bahwa memang tidak dapat diketahui dengan pasti, apakah
Abraham memberi persepuluhan karena sebatas tradisi atau ada nilai-nilai secara
religius dalam pemberiannya itu. Namun, mengingat Melkisedek adalah seorang
imam, mau tidak mau nilai religius juga turut menyertai pemberian persepuluhan
Abram tersebut”.[19]
Ketika masa itu berbagai peraturan tentang memberi perpuluhan belum baku diterapkan maupun
diundangkan. Persepuluhan diberikan sebagai sebuah
kebiasaan dari rakyat untuk memberikan pajak atau persembahan kepada raja atau
dewa. Sesungguhnya
persepuluhan hanya kebiasaan pada waktu itu, bukan suatu keharusan yang tidak
boleh tidak. Tulisan dalam sahabatsurgawi.net
berikut menjelaskan:
“Pada zaman
Abraham Leluhur (pathriarkh; zaman Abraham, Yakub), persembahan persepuluhan
bersifat sukarela; bukan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah. Baik Abraham
yang memberikan sepersepuluh dari penghasilannya kepada Melkisedek, dan Yakub
yang menjanjikan sepersepuluh dari yang dimilikinya kepada Allah, tidak
melakukannya karena diwajibkan, tetapi karena spontan, atas dasar keinginan
mereka sendiri.”[20]
Perlu diketahui ialah Abraham pada waktu itu tidak hanya
memberikan perpuluhan kepada seorang raja saja, namun juga memberi kepada seorang Imam, karena Melkisedek adalah juga
seorang imam Allah Yang Mahatinggi. Sehingga Abraham memberikan persepuluhan bukan
karena adanya peraturan seperti itu, namun karena Abraham menyadari dirinya
sebagai seorang yang
percaya dan beriman kepada Tuhan.
Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa praktik atau konsep pemberian persepuluhan pada
zaman Abraham dan Yakub dengan alasan:
1.
Persepuluhan
diberikan dengan sukarela, tidak dengan paksaan, sekalipun telah menjadi sebuah
budaya, karena belum ada hukum yang mengatur. Dengan kata lain, memberikan persepuluhan hanyalah menurut hati nurani orang-orang
yang hidup pada zaman itu di mana mereka merasa suatu objek layak menerima persepuluhan itu.
2.
Pemberian
persepuluhan diberikan Abraham kepada Melkisedek, seorang Raja Salem dan imam
Allah Yang Mahatinggi, yang datang menyonsong Abraham dan memberkatinya. Dalam hal ini dapat
dilihat bahwa Abraham mengenal sosok Melkisedek sebagai jelmaan Tuhan, karena
hsanya Tuhanlah yang dapat memberkati seseorang. Ketika itulah Abraham merasa
persepuluhan layak dikembalikan kepada yang berkuasa atau superior.
3.
Pemberian
persepuluhan yang dilakukan
adalah sebagai tanda penghargaan dan penghormatan
kepada seseorang yang lebih superoir atau memiliki kedudukan atau jabatan lebih tinggi dari pemberi, juga sebagai
persembahan kepada Tuhan (nilai spiritual yang memiliki arti “penyerahan
total”).
4.
Persepuluhan umumnya diberikan sesudah Tuhan Allah memberkati, bukan sebelum
diberkati. Contohnya Abraham setelah mendapat jarahan, Yakub setelah diberkati
oleh Tuhan. Kebanyakan
kita dapat menjumpai orang percaya sekarang cenderung memberi persepuluhan
karena ingin diberkati berlimpah. Tidak jadi masalah jika demikian. Namun itu
merupakan konsep yang salah dalam penerapan.
5.
Persepuluhan oleh
Abraham diberikan dari hasil jarahan, sementara Yakub memberi dari seluruh yang dimilikinya atau
berkat yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Dalam pengertian ini persepuluhan diberikan
kepada Allah tanpa mempercakapkan asal usul barang atau harta tersebut dari
mana.
Menjadi pertanyaan bagi kita ialah: apakah persepuluhan yang dilakukan
oleh orang percaya masa kini meneladani kebiasaan Abraham? Bagaimana Abraham sadar bahwa pemberian persepuluhan
yang diberikannya kepada Melkisedek
itu karena hati yang mengasihi Tuhan atau bukan? Jangan-jangan itu hanya bentuk penghargaan dan penghormatan
kepada Melkisedek yang telah memberkati dia? Jika orang percaya masa kini
meneladani Abraham dalam kebiasaan itu maka itu berarti Abraham mewarissi
budaya dan tradisi yang sudah
berlaku pada zaman itu.
KESIMPULAN
Sampai sejauh ini kita dapat melihat belum ada kaitan dengan apa yang gereja tubuh
Kristus di zaman kasih karunia ini jalankan dan pahami
berkaitan dengan persembahan, dalam
arti belum terdapat hal yang dapat relevan untuk dipaksakan. Namun bila
mempraktekan apa yang dijalankan
Israel, maka pemahaman seperti ini sangat dekat dengan
kesalahpahaman.
Allah menolong manusia agar mampu dengan tulus menyerahkan persembahan dari miliknya pribadi sebagai tanda pengakuan (confesion) iman yang konkrit terhadap Allah, sebab Allah sendiri telah melimpahi umatNya dengan berkat, sehingga mereka dapat mengakui bahwa
Allahlah satu-satunya sumber dari berkat it.
Persepuluhan bukanlah pokok teologi yang baru sebab sudah ada di dalam
Perjanjian Lama. Artinya, masalah persepuluhan seakan-akan muncul sebagai masalah
baru atau pokok teologi “baru”. Pandangan demikian menyebabkan banyak kesimpangsiuran pendapat tentang
persepuluhan yang dapat
menyebabkan beragam pandangan tentang teologi persepuluhan. Praktik persepuluhan ini sudah menjadi suatu tradisi dan budaya yang sudah
sangat lama, dalam arti sudah di praktikkan jauh sebelum konsep ini dijadikan
sebuah hukum dalam Taurat Musa. Konsep persepuluhan bagi bangsa-bangsa lain di luar Israel pada saat itu
tidak hanya berbicara soal persembahan dari sudut pandang keagamaan, tetapi
juga dari sudut pandang politik.
Dengan demikian arti pemberian persepuluhan adalah
“penyelesaian atau penyerahan menyeluruh” dari segala yang kita miliki. Dengan memberikan persepuluhan
kepada ilah yang disembah menunjukkan bahwa seseorang telah menyerahkan
hidupnya secara total, baik jasmani maupun rohani.
by: >>YB<<
KEPUSTAKAAN
Pdt. Dr. A. Muthe, Tema-tema Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2007), hal.
63
Alkitab Holy Bible (New King James
Versioon), (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2007), hal.
Prof. Drs. S. Wojowasito dan Drs Tito
Wasito W, Kamus Lengkap, (Malang:
C.V. Hasta, 1980), hal. 237
J.D. Douglas, New Bible Dictionary (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2008), hal. 252
http://www.hkbp.or.id/files/1.5.Teologi%20Persembahan.doc?
BibleWorks7
Website jewishencyclopedia.com
http://en.wikipedia.org/wiki/Tithting#Tithting _in_
the_Bible.
[4] Pdt. Dr. A. Muthe, Tema-tema
Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2007), hal. 63
[5] Alkitab Holy Bible (New King James Versioon), (Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia, 2007), hal.
[6] Prof. Drs. S. Wojowasito dan Drs Tito Wasito W, Kamus Lengkap, (Malang: C.V. Hasta,
1980), hal. 237
[7] Yamowa’Abate’e, Ibid,
hal. 11
[8] Ibid, hal. 12
[9] BibleWorks7
[10] Ibid, hal. 16-17
[11] http://en.wikipedia.org/wiki/Tithting#Tithting
_in_ the_Bible.
[14] http://en.wikipedia.org/wiki/Tithting#Tithting
_in_ the_Bible.
[15] http://en.wikipedia.org/wiki/Tithting#Tithting
_in_ the_Bible.
[18] Yamowa’Abate’e, Ibid,
hal. 29
[19] Ibid, hal. 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar