SEJARAH
GERAKAN OIKOUMENE
A. Pengertian
Oikoumene
Istilah Oikoumene nyaris diartikan
sebagai universal atau interiman, yang sesungguhnya keliru. Makna aslinya adalah bumi yang dihuni. Kata oikos
dalam bahasa Yunani berarti “rumah”, mene adalah “bumi”. Pemahaman
tentang hal ini dalam kehidupan batin gereja sejajar dengan konsep ahl-kitab
dalam Islam. Istilah Oikoumene merupakan istilah misi yang analog dengan
dinamisme konsep ahl alkitab dan berpusat pada pesan iman. Paulus
meringkas pesan ini sebagai, “sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu
bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah
membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Rm. 10:9).
Jadi sesungguhnya Oikoumene merupakan istilah untuk menggambarkan misi
keKristenan atau gerakan Oikoumene adalah upaya untuk mendiami bumi yang
kepadanya Injil diberitakan. Hal tersebut dapat digambarkan semacam parafrase
bagian akhir Injil Matius, untuk pergi dan membaptis bangsa-bangsa (Mat. 28 :
18 – 20) atau bagian pembuka kisah para Rasul “kamu akan menjadi saksiku ....
sampai ke ujung bumi” (Kis. 1 : 8). (Geogre B. Grose dan Benjamin J. Hubbard
(ed.), Tiga Agama Satu Tuhan : Sebuah Dialog, Terj. Santi Indra Astuti,
Mizan, Bandung, 1998, hlm. 2271)
B. Kata Oikoumene mempunyai dua arti
yang saling terkait.
Pertama sesuai arti harfiahnya, ialah “rumah
kediaman”. Kedua, maknanya adalah “dunia yang dihuni manusia”. Jadi gerakan Oikoumene
adalah “gerakan untuk menjadikan dunia ini sebuah rumah hunian bagi manusia
sebagai sebuah keluarga besar. Istilah Oikoumene terdapat dalam Alkitab,
dan digunakan oleh gereja-gereja, terutama di Barat setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Dalam tradisi agama
Kristen, ada yang disebut dengan istilah Oikoumene (bahasa Yunani, Oikos
= rumah, monos = satu; Oikoumene = satu rumah).
Istilah ini mengalami beberapa penyesuaian
dengan konteks perkembangan keKristenan sedunia. Tadinya hanya sebatas
lingkungan keKristenan di wilayah kerajaan Romawi, tetapi kemudian menunjuk
pada keKristenan secara umum. Dari situ berkembang lagi menjadi gereja-gereja
(=agama Kristen) dan agama-agama non Kristen, dan berkembang lagi sampai kepada
hubungan gereja-gereja dengan ideologi-ideologi.
Gerakan ini sangat dikenal dengan gerakan Oikoumene.
Gerakan yang peduli pada relasi-relasi antar denominasi gereja (keKristenan)
antara agama Kristen dengan agama-agama lain, ideologi-ideologi bahkan tentang
lingkungan hidup dan seluruh ciptaan Allah.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa di
dalam agama Kristen ada sebuah konsep yang merupakan solusi untuk para
pemeluknya dalam menyikapi adanya pluralisme agama, yaitu gerakan Oikoumene.
Dan semua pengartian-pengartian tentang Oikoumene seperti yang tersebut
di atas menuju kepada satu arah yaitu semacam kesadaran baru bahwa seluruh umat
Kristen di muka bumi ini tidak mungkin untuk bersatu atau seragam. Mereka
mengumpamakannya seperti sebuah rumah yang terdiri dari banyak bilik (kamar).
Namun rumah dengan banyak bilik tersebut merupakan satu kesatuan yang bisa
saling berinteraksi dengan baik.
Sumber:
-
Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan
Problem Sosial (Diskursus Tiologi tentang Isuisu Kontemporer), Pustaka Cidesindo,
Jakarta, 1998.- Th. Sumartana, Noegroho Agoeng, Zuly Qodir (ed.), Pluralisme, Konflik dan Perdamaian (Studi Bersama Antar Iman), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
C.
Sejarah dan Perkembangan Gerakan Oikoumene
Oikoumene adalah kata dari
bahasa Yunani, yaitu Partitium Preasentis passivum femium dari kata
kerja oikeo, yang berarti tinggal, berdiam atau yang mendiami. Oleh
karena itu arti harfiah kata Oikoumene adalah “yang didiami”. Tetapi
particium ini telah mempunyai arti khusus sebagai kata benda. Arti pertama
adalah geografis, dunia yang didiami (Luk.4:5, Rom.10:18, Ibr.1:6 dan
lain-lain). Kemudian kata Oikoumene juga
mendapat arti politik: kekaisaran Romawi (Kis.24:5) dan semua penduduknya
(Kis.17:6).4 Oikoumene sesungguhnya merupakan istilah untuk menggambarkan
keKristenan, gerakan Oikoumene untuk mendiami bumi yang kepadanya Injil
diberitakan. Itu semacam parafrase bagian akhir Injil Matius, untuk pergi dari
membabtis bangsa-bangsa (Mat.28:18-20) atau bagian pembuka kisah para rasul,
kamu akan menjadi saksiku … sampai ke ujung bumi (Kis.1:8).
Penggunaan dan pemahaman istilah Oikoumene
mengalami proses yang sangat dinamis. Semula Oikoumene hanya untuk
menyebut ke-Kristenan di wilayah kerajaan Romawi, berkembang lagi sampai pada
dataran Oikoumene ditujukan untuk agama-agama non Kristen, ideologi-ideologi
lain, bahkan tentang lingkungan dan seluruh ciptaan Allah.
Orang-orang Yunani kunopun mengenal istilah Oikoumene
untuk menyebut daerah yang terbentang dari Nil dan Oxus sebagai pusat Oikoumene
(yang menurut Alfred Koeber berarti “komplek agraria historis dari Afro –
Eurasia” di bumi). Namun jika Oikoumene
diartikan dalam arti yang sesungguhnya, maka dapat ditarik akar-akar yang
melatarbelakangi gerakan Oikoumene (keseluruhan orang-orang Kristen)
yaitu adanya perpecahan di kalangan orang-orang Kristen.
(Dr. Christian De Jonge, Menuju Keesaan
Gereja (Sejarah, Dokumen-dokumen dan
Tema-tema Gerakan Oikoumene), BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 2000).
Perpecahan itu terlihat secara nyata, pada
zaman reformasi gereja Katolik Roma untuk pertama kali (sejak Khisma dengan
gereja ortodoks Yunani tahun 1054), umat Kristen dihadapkan pada ancaman perpecahan
secara besar-besaran. Walaupun Luther dengan cepat dikucilkan dari gereja
(1612), namun tetap diusahakan mencari perdamaian dengan pengikut pengikutnya kaum
Injil demi kesatuan kaum Kristen terhadap ancaman Turki. Usaha-usaha ini yang
didorong oleh pertimbangan-pertimbangan politik yang menghasilkan pembicaraan-pembicaraan
agama di Leipzig (1539), Hagenau (1540), Worms (1540) dan Regensburg Ratizbon
(1561) di wilayah kekaisaran Jerman dan Colloguium di Poissy (1561) di Perancis
tetapi persetujuan tidak dicapai.
Perlu dijelaskan di sini hal-hal mendasar
yang membedakan antara Kristen Katolik dan Protestan, faktor-faktor ini pula
yang menjadi sebab awal perpecahan di kalangan orang-orang Kristen sekaligus
faktor pendorong adanya Kristen Protestan. Menurut orang-orang Katolik, gereja-gereja
adalah jalan kepada Kristus dengan jabatan dan sakramen-sakramen. Sedangkan
menurut orang-orang Protestan, Kristus adalah jalan ke gereja, dengan penekanan
menurut firman dan iman. Di samping itu juga, terjadinya kehidupan mewah dalam
istana Paus melebihi kemewahan raja-raja Perancis dan Inggris, sementara itu perubahan
sosial politik sangat tajam, sehingga kedudukan para rohaniawan kehilangan
monopoli dalam masyarakat. Pada puncaknya gereja ternyata menyalahgunakan
wewenangnya, antara lain karena menjual idulgensi (penghapusan siksa, dosa) dan
absolusi kepada para jemaat gereja. Hal ini menyebabkan kejengkelan para
anggota jemaat dan pemimpin gereja, terutama di Jerman yang dipelopori oleh
Marthin Luther.
Demikianlah sekilas gambaran penyebab
perpecahan yang ada di kalangan umat Kristen yang kemudian memunculkan konsep
gerakan Oikoumene yang muncul di kalangan orang-orang Kristen Protestan.
Kembali kepada pembahasan gerakan Oikoumene, seperti yang dijelaskan di
atas, bahwa meskipun kaum Injili memisahkan diri dari Roma, namun tetap ada
kesadaran, baik di kalangan Protestan maupun di kalangan Katolik-Roma bahwa
satu warisan menjadi milik bersama, yaitu warisan gereja kuno. Timbul kesadaran
bahwa usaha-usaha untuk memulihkan perpecahan yang diakibatkan reformasi harus
bertolak dari warisan bersama. Kesadaran ini hidup khususnya di kalangan kaum humanis,
cendekiawan Katolik maupun Protestan yang mengecam keadaan gereja Katolik Roma
pada zaman itu karena telah menyimpang dari ajaran dan praktek gereja kuno.
Pada abad ke-17 dan ke-18 pertama-tama
usaha-usaha dari abad reformasi dilanjutkan. Dapat disebutkan dua macam usaha,
yang pertama dalam mencari titik persatuan dalam warisan gereja kuno. Ini jalan
yang diikuti oleh Hugo Crotius (1583 – 1645) dan juga oleh teolog Lutheran
George Calixtus (1586 – 1656). Yang terakhir merumuskan bahwa kesatuan kaum
Kristen sebaiknya dilihat dalam warisan gereja kuno selama lima abad pertama, consensus
guinguesaecularis. Warisan ini dapat membantu gereja Katolik-Roma untuk
meniadakan penyimpangan-penyimpangan yang muncul pada abad pertengahan dengan
hasil yang pasti tidak akan berbeda jauh dengan hasil reformasi.
Usaha kedua, adalah untuk merumuskan semacam
daftar pasal-pasal iman yang dianggap azazi untuk iman Kristen fundamental),
yang harus diterima secara mutlak, sedangkan pasal-pasal iman yang dianggap
tidak azazi tidak boleh menjadi alasan perpecahan di antara orang-orang
Kristen. Metode ini antara lain diusahakan oleh John Dury (Duraeus, 1595 –
1680). Usaha pertama seperti dikatakan di atas, terlalu intelektualistis untuk
diterima secara umum di gereja-gereja, sedangkan untuk usaha kedua waktunya
belum matang. Gereja-gereja masih terlalu mengindahkan rumusan-rumusan konfensional
masing-masing.
Pada abad ke-19, kita dapat melihat 4 macam
usaha yang dapat disebut usaha untuk mempersatukan orang-orang Kristen dari
gereja-gereja yang berbeda.
1.
Pertama adalah usaha mempersatukan orang-orang Kristen dari gereja-gereja yang mempunyai
dasar teologis atau konfensional yang sama.
2. Kedua
adalah usaha untuk mempersatukan orang-orang Kristen Protestan dalam satu
perhimpunan.
3. Usaha
ketiga adalah apa yang disebut Voluntary Movement (gerakan-gerakan sukarela).
Gerakan ini mempunyai pandangan, bahwa bukan konferensi gereja yang penting,
melainkan iman murni kepada juru selamat.
4.
Usaha yang keempat berkaitan dengan yang
ketiga, yaitu usaha untuk bekerjsama di bidang pengabaran Injil.
Usaha-usaha ini bermuara pada konferensi
pengabaran Injil sedunia di Edinburgh (14 – 23 Juni 1910). Konperensi pengabaran Injil sedunia ini
dipelopori oleh John Raleigh Mott (1865 – 1655), seorang metodis dari Amerika
Serikat dan Joseph H. Olgham (1874 –1969) dari Skotlandia.
Pokok-pokok yang dibahas di Edinburg adalah :
1.
Pengabaran Injil di seluruh dunia;
2. Gereja
di lapangan pengabaran Injil;
3. Pendidikan
dan pengKristenan;
4. Berita
Kristen dan agama-agama bukan Kristen;
5. Persiapan
para pengkabar Injil;
6. Hubungan
dengan “pangkal” di dalam negeri (homebase);
7. Hubungan
dengan pemerintah;
8.
Kerjasama dan keesaan.
Kemudian disepakati untuk menunjuk suatu continuation
committe (Panitia penerus, panitia yang melanjutkan) yang diberi tugas
meneliti kemungkinan-kemungkinan untuk membentuk suatu panitia pengabaran Injil
internasional. Keputusan ini di kemudian
hari ternyata berarti langkah awal di sejarah Oikoumene, sehingga
konperensi pengabaran Injil sedunia di Edinburg 1910 dilihat sebagai saat
kelahiran gerakan Oikoumene. Untuk selanjutnya sejarah perlu mencatat
momentum penting yang kemudian setelah adanya komperensi pengabaran Injil
sedunia di Edinburg 1910.
Momentum inilah yang kemudian menjadi
spirit/jiwa gerakan Oikoumene baik yang bertujuan ke dalam yaitu
kesatuan bagi orangorang Kristen maupun tujuan pengabaran Injil/kerjasama
dengan agama-agama lain, ideologi-ideologi lain, bidang politik, sosial dan
ekonomi bahkan keseluruhan ciptaan Allah. Momentum tersebut adalah Edinburg (I)
International Missionary Council 1921 – 1961; Edenburg (II) Gerakan Faith
and Order (1910 – 1937; Edinburg (III) Gerakan Life and Work (1919 –
1937); World Alliance (1914 – 1948) dan pembentukan Dewan Gereja-gereja
se-Dunia (1937 – 1948). Berikut uraian
dari masing-masing momentum tersebut :
(Dr. Christian De Jonge, Menuju Keesaan
Gereja… op. cit., hlm. 10)
Edenburg (I) International Missionary Council
1921 - 1961
Continuation committe yang
ditunjuk di Edenburg 1910 mulai pekerjaannya, namun karena pecahnya perang
dunia pertama (1914 –1918) pembentukan panitia pengabaran Injil terlambat. Baru
pada tahun 1921 di Lake Mohorik, New York, dapat didirikan Internasional Missionary
Council (IMC), Dewan Pengabaran Injil Internasional yang berpusat di London
dan New York ketuanya adalah John Mott, sekretarisnya JH. Oldham,
anggota-anggota Dewan Pengabaran Injil internasional bukan orang perorang
melainkan organisasi-organsasi kerjasama di bidang pengabaran Injil Nasional
yang mulai didirikan sejak di Edinburg, seperti Dewan-dewan Kristen Nasional di
India, Jepang, Korea, Tiongkok. Namun
selama perang Dunia Pertama masih terlihat kecenderungan gereja-gereja berpikir
secara nasional saja, seraya memungkiri pertalian dan dasarnya yang melewati
segala batas bangsa dan negeri.
Meskipun demikian masih terlihat adanya usaha
baik untuk kesatuan orang-orang Kristen ataupun kesatuan pengabaran Injil, hal
ini terlihat dari terlaksananya komperensi yang dipelopori oleh International
Missionary Council (IMC) di Yerussalem, 23 Maret – 8 April 1928. jumlah
peserta dari “gereja-gereja muda” (istilah-istilah yang dipergunakan untuk
pertama kali) adalah 50, seperlima dari 250 peserta. Dari Indonesia T.S. Gunung
Mulia yang hadir. Yang dibicarakan adalah hubungan antara gereja-gereja muda
dan tua (relations between the yonger and older churches), hubungan
dengan agama-agama lain (yang menyatakan perubahan dalam sikap terhadap dan
pemahaman teologis mengenai agama-agama lain dan mengenai tugas pengabaran
Injil), sekularisasi (yang dilihat sebagai bahaya lebih besar dari agama-agama
kafir) serta komprehensive approach to the jews (pendekatan menyeluruh).
Didirikan committe on the christian approach to the jews (panitia
pendekatan Kristen terhadap orang-orang Gagasan komprehensife bertolak dari
pendapat bahwa Injil menyangkut seluruh manusia, yaitu jiwanya,
hubungannya dengan sesama manusia dan dunia sekitarnya. Oleh sebab itu
pengabaran Injil tidak boleh membatasi diri pada pemberitaan firman pada orang perorangan.
Pengabaran Injil juga termasuk pekerjaan seosial, medis, pendidikan, singkatnya
kegiatan-kegiatan yang mencakup segala bidang kehidupan (pelayanan total dengan
Injil total, kepada manusia total).
Usaha kedua, dilakukan di Tambaran 12 – 29
Desember 1938. Di sini perwakilan gereja-gereja muda seimbang dengan perwakilan
gerejagereja tua. Masing-masing 189 dan 182 orang. Dari Indonesia hadir sembilan
orang pribumi, antara lain Dr. J. Leimina dan Mh. Mr. A.L.Fransz. Yang memainkan
peranan besar dalam konperensi ini adalah bukunya Dr. H. Kraemer, The
Christian Message in a Non – Chritian World. Di dalam bukunya ditujukan
peleburan semua agama dalam suatu persaudaraan yang mencakup seluruh dunia.
(H. Berkhof, Sejarah Gereja, terj.
I.H. Enklaar, BPK : Gunung Mulia, Jakarta, 1995), 339
Usaha ketiga, diadakannya komperensi Whitby
(Kanada), 5 –24 Juni 1947. Temanya adalah “The Christian Witness in a Revolutionary
World” (Kesaksian Kristen dalam dunia yang revolusioner). Gereja-gereja tua
dan muda mulai saling mengakui sebagai “Partner in Obedience” (mitra dalam ketaatan)
yang sama-sama diperhadapkan dengan tugas mengabarkan Injil di seluruh dunia.
Dari istilah partner in obidience menjadi nyata bahwa
perbedaan-perbedaan status antara dua jeis gereja ini.
Usaha keempat, konperensi Willingen (Jerman)
5 – 12 Juli 1952, dengan tema “The Missionary Obligation of the Church” (kewajiban
gereja untuk mengabarkan Injil). Dibicarakan soal nasionalisme yang dihadapi
gereja-gereja di negara-negara yang baru merdeka atau yang sedang
memperjuangkan kemerdekaan.
Usaha kelima, terlihat dari komponen di
Achimota (Graha, Afrika) 28 Desember – 8 Januari 1958. Temanya adalah “The
Christian Mission at This Hour” (misi Kristen pada saat ini). Diputuskan untuk mengintegrasikan
IMC dengan DCD. Didirikan Theological Education Fund (TEF, Dana
Pendidikan) untuk pendidikan teologi di Asia, Afrika dan Amerika Serikat.
Kalau kita meninjau kembali sejarah IMC
sampai Achimota, perubahan zaman dapat dilihat dalam pokok-pokok pembahasan dan
tema-tema sebelum perang dunia kedua dan dapat dilihat pengaruh dekolonisasi
dan nasionalisme di dunia ketiga pada kalangan perkabaran Injil. Dalam
pemahaman baru tentang perkabaran Injil yang dirumuskan kesamaan hak dan
derajat antara orang-orang Kristen tua dan muda mulai ditekankan sekaligus
diperjuangkan pendewasaan dan kemandirian gereja-gereja. Sesudah perang dunia
kedua perkembangan ini dilanjutkan dengan penekanan pada perkabaran Injil
sebagai tugas bersama di seluruh gereja sebagai pengabar Injil. Pemisahan
antara gereja dan perkabaran Injil ditiadakan. Pemahaman tentang perkabaran Injil
sebagai pemberitaan firman keselamatan diperluas dan mulai mencakup dimensi
sosial, ekonomis dan politik. Namun demikian polarisasi yang semakin meningkat
antara kaum ekouminikal dan evangelikal menunjukkan bahwa tidak semua kalangan
perkabaran Injil setuju dengan perluasan pemahaman mengenai tugas perkabaran
Injil ini.
Edinburg (II) : Gerakan Faith and Order (iman
dan tata Gereja)
Komperensi perkabaran Injil sedunia di
Edinburg (1910) adalah komperensi untuk membicarakan soal-soal yang dihadapi bersama
di bidang perkabaran Injil. Semua hal yang dapat mempersulit pembicaraan ini
dihindari, sehingga soal-soal yang menyangkut iman dan tata gereja, hal-hal
yang membedakan gereja-gereja tidak dibicarakan. Namun dirasa oleh para peserta
bahwa suasana perundingan pada komperensi Edinburg telah begitu baik dan
perasaan persaudaraan telah begitu dalam sehingga untuk masa depan diharapkan langkah-langkah
yang lebih maju menuju keesaan. Untuk mengambil langkah-langkah ini perbedaan-perbedaan
di bidang teologi dan tata gereja perlu dibahas. Untuk usaha menyelenggarakan
suatu konperensi sedunia mengenai iman dan tata negara (world conference in
Faith and Order) dipelopori oleh Charles H. Brent (1862 – 1929) seorang
uskup dari Protestan Episcopal Church di Amerika. Tujuan Faith and
Order, yang dirumuskan oleh Brent, adalah jalan menuju keesaan gereja.
Brent melihat gerejanya sendiri sebagai titik permulaan untuk gerakan Faith
and Order. Gerejanya harus mengundang gereja-gereja lain untuk menghadiri
konperensi mengenai pokok ini. Dan akhir tahun 1910 gerejanya memutuskan
menunjuk suatu panitia yang harus mengundang tata gereja dari gereja lain untuk
membicarakan persoalan-persoalan di bidang iman dan tata gereja untuk mencari
jalan menuju keesaaan gereja. Pada tahun 1912 delegasi penitia ini mengunjungi
gereja-gereja Anglikan di Inggris dan memperoleh dukungan untuk rencana konperensi
sedunia mengenai iman dan tata gereja. Konperensi
persiapan sempat diadakan di Amerika, tetapi baru sesudah perang dunia pertama
panitia dapat mengunjungi Eropa. Akan tetapi selama perang di Amerika penitia
tetap bekerja untuk mempersiapkan usaha-usaha lebih lanjut sesudah perang. Pada
tahun 1919 delegasi dari Episcopal Churgh pergi ke Eropa dan mengunjungi
banyak gereja, yaitu gereja Anglikan, gereja-gereja Protestan, tetapi juga gereja-gereja
ortodoks dan gereja Katolik-Roma. Gereja Katolik-Roma tidak mau ikut serta,
sebab Paus menganggap diri lambang keesaan gereja yang telah terwujud dalam
gereja Katolik-Roma. Respon gereja-gereja ortodoks jauh lebih positif, kecuali
gereja di Rusia, yang sedang menderita karena revolusi komunis. Semua gereja
ortodoks menyatakan kerelaan untuk ikut serta.
Dari 12 – 20 Agustus 1920 diadakan di Jenewa
konperensi persiapan untuk konperensi sedunia mengenai iman dan tata gereja. Diundang
wakil-wakil dari penitia-penitia dan komisi yang ikut serta dalam pekerjaan
panitia Episcopal Church. Yang hadir adalah wakil-wakil dari 70 gereja
dari 40 negara, termasuk gereja-gereja ortodoks. Diputuskan untuk menunjuk continuation
committe, yang diketuai oleh Brent dengan Gardiner sebagai sekretaris,
untuk persiapan konperensi sedunia.
Dengan demikian Faith and Order menjadi
gerakan yang didukung oleh banyak gereja dari berbagai latar belakang. Yang
akan diundang nanti adalah semua gereja “Which Confess Our Lord Jesus Christ
As God Saviour” (yang mengaku Tuhan kita Yesus Kristus sebagai Allah dan
juruselamat), suatu rumusan yang kemudian diambil alih oleh dewan-dewan gereja
sedunia pada tahun 1948. Pada 3 – 20
Agustus 1927 konperensi pertama Faith and Order diselenggarakan di
Lausanne, Swis, dengan Brent sebagai ketua dan A.E. Garwie sebagai wakil ketua
(karena kesehatan Brent terlalu lemah) yang hadir 394 orang, sebagian besar mewakili
108 gereja dari semua latar belakang konperensional kecuali Katolik-Roma.
Dibicarakan tujuh pokok yang telah dipersiapkan oleh continuation committee Jenewa,yaitu
:
a.
The call to unity (panggilan
untuk keesaan);
b. The
church’s message to the world-the gospel (amanat gereja bagi
dunia Injil);
c. The nature
of the church (sifat gereja);
d. The
church’s ministry (pelayanan gereja);
e. The
sacrament (sakramen-sacramen);
f.
The unity of christen dom and the place
of the different churches in it (keesaan keKristenan dan
tempat gereja-gereja yang berbeda di dalamnya).
Tentu masih banyak perbedaan pendapat
sehingga konperensi lebih sibuk dengan
inventarisasi perbedaan-perbedaan.
Pada konperensi Faith and Order yang
pertama perbedaan yang paling banyak dibicarakan adalah pertanyaan pokok.
Apakah gereja adalah jalan kepada kristus dengan jabatan dan sakramen-sakramen seperti
dikatakan gereja-gereja Ortodoks dan Anglikan atau kristus adalah jalan ke
gereja, dengan penekanan dan pemberitaan firman dan iman, seperti dikatakan gereja-gereja
protestan.
Pada hakekatnya hasil seluruh perundingan tak
seberapa besar. Namun tampak jurang yang dalam antara gereja-gereja yang
menganggap Injil terutama sebagai pemberi hidup baru dengan sakramen (teristimewa
gereja Ortodoks Timur dan juga separuh gereja Anglikan), dengan gereja-gereja
yang terutama memandang Injil selaku suatu berita yang harus dikabarkan
(gereja-gereja Lutheran dan Calvinis).
Akan tetapi juga ada hasil positif tercapai kesepakatan mengenai laporan
dua (amanat gereja bagi dunia Injil), yang sekaligus menyatakan bahwa para
peserta menyadari bahwa hakekat gereja adalah mengabarkan Injil di dunia,
hakekat misioner.
(C. De Jonge – J.S. Aritonang, Apa dan
Bagaimana … op. cit., hlm. 52; Christian De Jonge, Menuju Keesaan … op.
cit., hlm. 23)
Komperensi Faith and Order yang kedua
diadakan di Edinburg dari 3 – 10 Agustus 1937. yang hadir adalah 504 peserta,
443 wakil resmi dari gereja-gereja dan tamu-tamu. Pokok-pokok yang dibicarakan:
1.
The grace of our lord Jesus Christ (kasih
karunia Tuhan kita Yesus Kristus);
2. The
church of christ and the word of God (gereja Kristus dalam firman
Allah);
3. The
church of christ ministry and sacraments (gereja kristus :
Pelayanan dan sakramen-sakramen);
4. The
church’s unity in life and Worship (keesaan gereja di dalam
kehidupan dan peribadatan); pokok ini kemudian dibagi dua, sehingga ditambahkan
:
5.
The communion of holyman, persekutuan
orang-orang kudus.
Jelas suasana di gerakan Faith and Order telah
menjadi lebih terbuka. Pembicaraan tentang perbedaan-perbedaan lebih terbuka
juga tentang kasih karunia Kristus dicapai kesepakatan.
Di Edinburg, ekklesiologi merupakan pokok
diskusi yang paling hanyat. Diskusi berpusat pada successio apostolico (penggantian
rasuli). Apakah kontinuitas gereja tergantung dari orang-orang (uskup-uskup)
yang memelihara warisan ajaran rasuli, seperti yang dikatakan gereja-gereja Ortodoks
dan Anglikan, atau dari ajaran rasuli itu sendiri yang disimpan oleh gereja,
seperti dikatakan gereja-gereja Protestan ? walaupun perbedaan-perbedaan tetap
ada, namun akhirnya dikeluarkan suatu pernyataan dimana gereja-gereja peserta
bahwa dalam Yesus Kristus keesaan yang sedang dicari gereja-gereja adalah
menemukan dan mewujudkan kembali keesaan dasariah ini.
(H. Berkhof, op. cit., hlm. 340; Christian De Jonge, Menuju Keesaan … op.
cit., hlm 23)
T. Tatlow, seorang teolog dari gereja
Anglikan yang terlibat dalam Faith and Order, menyebutkan 12 hal sebagai
hasil gerakan Faith and Order antara lain :
1.
Faith and Order berhasil
menciptakan suasana dimana wakil-wakil dari gereja-gereja yang berbeda-beda
dapat berdiskusi bersama pokok-pokok yang sensitif.
2. Peserta-peserta
konperensi-konperensi Faith and Order mengalami keesaan rohani dalam
kristus, tanda una sancta (gereja yang satu dan kudus) yang dikejar.
3. Faith
and Order menyadarkan peserta bahwa perpecahanperpecahan gerejani bukan
hal biasa melainkan dosa.
4. Dimulai
proses perkenalan; orang belajar menganai tradisi-tradisi yag sangat berbeda dari
gereja asal mereka, dan sekaligus menyadari dengan lebih dalam warisan gereja
sendiri.
5. Tumbuh
kesadaran bahwa di belakang perbedaan-perbedaan besar ada keesaan, seperti
menjadi nyata dalam pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan di Lausanne dan
Edinburg.
6. Pernyataan
ini bukan hasil kompromi, sebab perbedaan-perbedaan tidak disembunyikan.
7. Ternyata
sulit bagi gereja-gereja untuk merumuskan apa yang membedakan mereka, namun
jelas bahwa gereja, jabatan serta sakramen dan kasih karunia merupakan
persoalan pokok.
8. Yang
menjadikan diskusi mengenai pokok-pokok di atas sulit, adalah kenyataan bahwa
teologi gereja berakar dari kehidupannya. Orang tidak dapat mengganti teologi
gereja lain, kalau mereka tidak ikut serta dalam kehidupannya.
9. Berhubungan
dengan itu semakin disadari bahwa faktor-faktor non teologis (historis, sosial,
ekonomi, etnis) memainkan peranan penting dalam perbedaan-perbedaan antara
gejala-gejala.
10. Karena
pengaruh faktor-faktor non teologis ini, maka sulit untuk menentukan sampai
dimana diskusi-diskusi teologis di Faith and Order memajukan persatuan
antara gereja-gereja dan memainkan peranan dalam persatuan-persatuan yang
terjadi. Faith and Order sendiri tidak mau menyatukan gereja-gereja,
hanya mendorong gereja-gereja untuk bersatu.
11. Faith
and Order memajukan hubungan Oikoumene antara teolog-teolog
dari gereja-gereja yang berbeda.
12. Gerakan
Faith and Order memperlihatkan perkembangan-perkembangan menuju keesaan yang
terjadi di banyak gereja yang masih terjadi.
Segi kuat dari Faith and Order adalah
bahwa sejak awalnya sudah melibatkan gereja-gereja dalam
pembicaraan-pembicaraannya dan untuk memperoleh bagi peserta-peserta status
wakil resmi dari gereja-gereja mereka masing-masing. Dengan demikian gerakan
ini langsung berakar dalam gereja-gereja dan tidak terbatas pada orang perorang
pribadi yang berminat pada Oikoumene. Segi kuat lainnya bahwa Faith
and Order langsung memahami Oikoumene secara luas dan melibatkan gereja-gereja
ortodok (dan Katolik-Roma, tetapi tanpa hasil dalam pembicaraan-pembicaraan.
Dalam Faith and Order sebelum perang
dunia II penekanan dalam pembicaraan-pembicaraan gereja lebih menyangkut
perbedaanperbedaan antara gereja-gereja. Tetapi lambat laun timbul kesadaran, pertama-tama
bahwa keesaan gereja secara khusus lebih nampak dalam aksi-aksi gereja keluar,
di dunia juga tumbuh kesadaran bahwa, walaupun gereja-gereja terpecah belum
dalam dunia ini, mereka pada dasarnya esa dalam Kristus, sebab merupakan
perwujudan tubuh Yesus Kristus yang Esa. Dengan demikian keesaan gereja tidak
lagi dilihat sebagai titik akhir gerakan Oikoumene, melainkan sebagai
titik tolak. Sesuai dengan pengakuan iman, orang-orang Kristen percaya bahwa
mereka adalah satu gereja yang kudus, am dan rasuli (una sancta etclesia
catholica et apostolica), dipersingkat sebagai una sancta,
suatu istilah yang dipakai untuk menunjuk kepada gereja yang dipercayai) dan
oleh sebab itu diberi tugas untuk menampakkan keesaan ini dalam suatu proses pernyatuan
antara gereja-gereja. Gerakan Oikoumene dipahami sebagai kesaksian
mengenai gereja-gereja yang esa dari pengakuan iman, sedang perpecahan-perpecahan
yang terjadi dalam sejarah gereja dilihat sebagai hasil dosa manusia.
Edinburg (III) Gerakan Life and Work (Kehidupan
dan Usaha) 1919 – 1937; World Alliance 1914 – 1948
Pra sejarah Life and Work terdapat
dalam aksi Kristen dibidang sosial pada abad ke-19, banyak organisasi Kristen
melibatkan diri dalam aksi sosial pada waktu itu. Timbullah kesadaran bahwa
dalam menghadapi sosial-soal sosial orang-orang Kristen harus bekerjasama.
Oleh sebab itu banyak organisasi merupakan
hasil kerjasama antara orang-orang Kristen dari gereja-gereja yang berbeda. Seorang
pelopor yang patut disebut adalah J.H. Wicher (1808 –1881) yang terlibat dalam
perkabaran Injil. Gerakan keKristenan praktis bekerja pada dua bidang yaitu,
bidang sosial ekonomi dan bidang perdamaian internasional. Di bidang sosial
ekonomi diusahakan perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat sesuai
dengan gagasan-gagasan Kristen. Untuk mengatasi ketidak adilan sosial ekonomi.
Sebagai contoh dapat disebut tokoh-tokoh sosialisme Kristen di Swiss, Hermann
Kutter (1869 – 1931) dan Leonhard Ragas (1868 –1945), dan gerakan social Gospel
(Injil Sosial) dengan pelopornya Water Raunchenbusch (1861 – 1918) di Amerika
Serikat. Di bidang perdamaian
internasional diusahaka untuk menonjolkan peranan bersama gereja-gereja dalam
mencari penyelesaikan persoalan-persoalan politik. World Alliance adalah
salah satu organisasi di bidang ini. Life and Work, Natahan
Soderblom (1866 – 1931) adalah pendeta Luther di Swedia dan seorang ahli ilmu-ilmu
agama yang kenamaan. Pada tahun 1914 ia menjadi uskup agung gereja Lutheran
Swedia di Uppsala, suatu kedudukan yang memeberikan kemungkinan untuk berperan
sebagai pemimpin gereja dibidang Oikoumene, khususnya melalui
usaha-usaha kerja sama dibidang sosial politik.
Sejarah lahirnya Life and Work berhubungan
erat dengan suatu organisasi Kristen Internasional yang lain yaitu World
Alliance for Promoting International Friendship Through the Churches (persekutuan
sedunia untuk memajukan persahabatan internasional melalui gereja-gereja) yang
didirikan pada tahun 1914 – 1948. Penting dalam sejarah Life and Work adalah
konperensi yang diadakan pada tahun 1919 di Oud-Wassehaar (suatu pusat
konperensi di negeri Belanda dekat Den Haag). Sebenarnya konperensi ini
merupakan pertemuan pengurus world Alliance, tetapi di sinilah Soderblom
mengusulkan untuk mendirikan suatu Ecumeninal Council yang beranggota
gereja-gereja, untuk membahas soal-soal praktis. Tujuannya tak beda jauh yang
telah mencari keesaan gereja juga, tetapi Soderblom berpendapat bahwa kerja
sama di bidang praktis (pada waktu itu timbul nama Life and Work)
mungkin dapat berhasil dengan lebih mudah. Di belakang usul-usul Soderblom ada
gagasan-gagasan mengenai keesaan dan peranan gereja, yang dikemukakan dalam
beberapa tulisan dari tahun 1919. Keesaan gereja tidak hanya nyata dalam
kesepakatan di bidang iman dan tata gereja, tetapi juga, dan lebih dulu, dalam
keesaan tindakan dan kesaksian di dalam dan terhadap dunia untuk mempersatukan
serta memperdamaikan manusia dan mencari penyelesaian masalah-masalah sosial.
Gereja-gereja harus bersatu dalam usaha ini, juga supaya kesaksian Kristen
betul-betul berwibawa di dunia.
Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia
terlalu urgen untuk menunggu kesaksian gereja-gereja melalui
percakapan-percakapan tentang iman dan tata gereja. Akhirnya pada tanggal 19 –
30 Agustus 1925 diadakan The Universal Christian Conference on Life and Work
(Konperensi Kristen Universal tentang Kehidupan dan Pekerjaan) di
Stockholm, Swedia yang dihadiri oleh 661 wakil gereja-gereja dan organisasi-organisasi
Kristen dari 37 negara. Ketuanya adalah Soderblom, dan Dr. Adolph Keller dari
Swiss, seorang tokoh Oikoumene yang penting, menjadi salah satu
sekretaris. Enam pokok dibicarakan oleh Nicaea Etika ini (penunjuk kepada
konsili Oikoumene) yakni;
1. The
general obligation of the Church in the light of god’s plan for the world (Kewajiban
umum gereja dalam terang rencana Allah bagi dunia);
2.
The Church and economic and industrial
problems (gereja dan masalahmasalah ekonomi dan industri);
3.
The church and social and moral problems
(gereja
dan hubungan-hubungan internasional);
4.
The church and Christian education (gereja
dan pendidikan Kristen);
5.
Methods of Cooperative and federative
efforts by the Christian Communions (metode-metode tentang
usaha-usaha kerjasama dan federasi oleh persekutuan-persekutuan Kristen).
Gerakan untuk kehidupan dan usaha telah
dimengerti, juga bahwa dalam memperbincangkan masalah-masalah praktek,
perbedaan ajaran perlu diperhatikan. Pada tahun 1937 gerakan ini mengadakan
lagi suatu konperensi sedunia, sekarang di Oxford (dihadiri oleh 425 wakil dari
40 negeri). Pokok umum “Gereja – Bangsa – Negara” memperlihatkan perubahan
pendirian dan tujuan dibandingkan konperensi di Stockholm. Biarpun
kesimpulan-kesimpulan konperensi ini agak kabur, tetapi sungguh penting bahwa
gereja-gereja telah bermusyawarah bersama-sama dan bahu membahu mau memperdengarkan
suara Injil di tengah-tengah masyarakat hidup bangsa manusia. Hal ini terlihat
pada tahun-tahun perang kontak Oikoumene itu telah menunjukkan
manfaatnya yang besar dalam praktek. Dari pusat organisasi-organisasi Oikoumene
di Jenewa, dan juga oleh gereja-gereja sendiri banyak pertolongan diberikan
kepada kaum pengungsi, orang tawanan dan daerah-daerah zending yang
ditinggalkan dengan tidak mempunyai pengantar-pengantar; juga mengadakan
hubungan antara negeri-negeri yang terpisah oleh garis-garis peperangan. Dan kegiatan-kegiatan
ini tanpa memperdulikan perbedaan agama, ras, suku bangsa dan
perbedaan-perbedaan yang lain. Sementara, World Alliance didirikan
sebagai akibat konperensi internasional yang diadakan di Kontanz, Jerman (2 – 3
Agustus 1914). Konperensi ini salah satu diantara sekian banyak yang diadakan
pada awal abad ke-20 untuk memajukan perdamaian dan persahabatan internasional,
khususnya dalam keadaan tegang dalam politik internasional menjelang perang
dunia pertama. Sesudah perang dunia pertama World Alliance membicarakan
pada konperensi-konerensi sosial internasional seperti liga bangsa-bangsa (League
of Nations), perlucutan senjata, nasionalisme dan internasionalisme.
Sebelum perang dunia kedua beberapa konperensi diadakan (Praha 1928, Cambridge 1931,
Chamby, Swis 1935, Narvik, Norwegia 1938). Di Praha ditentukan bahwa world
Alliance mencoba mempegaruhi melalui dewan-dewan gereja-gereja nasional dan
kerjasama antar gereja-gereja, parlemen-parlemen dan pemerintah-pemerintah
untuk mencari hubungan baik dan damai dengan negara-negara lain. Usaha-usaha
yang diperlukan adalah :
1.
Memperjuangkan kebebesan agama-agama;
2. Melawan
halangan untuk gereja-gereja, sekolah-sekolah dan institusiinstitusi Kristen;
3. Mencari
penyelesaian untuk konflik-konflik gerejani dan politik yang memecahkan
gereja-gereja;
4. Memajukan
hubunganhubungan persahabatan internasional antara gereja-gereja dan
jemaatjemaat;
5. Mencari
perdamaian;
6.
Mendukung usaha-usaha yang memajukan keadilan
dalam hubungan antar bangsa.
Segi Faith and Order dan Life and
Work serta world Alliance dalam gerakan Oikoumene dapat dibedakan
tetapi tidak dapat dipisahkan. Itu mejadi jelas dari sejarah karena sejak
permulaan Life and Work dicari hubungan dengan Faith and Order.
Menjelang sidang Edinburg dan Oxford menjadi jelas bahwa kedua gerakan
semakin dekat, sehingga tidak hanya alasan ekonomi (menghemat karena
pada tahun 30-an abad ini dunia dilanda oleh resesi ekonomi yang juga
mempengaruhi keuangan gereja) tetapi juga alasan Oikoumene mendorong
kedua gerakan untuk bergabung dalam suatu Dewan Gereja-Gereja seDunia. Ini
perkembangan logis sebab sejak awal ketiga gerakan ini mau mempersatukan
gereja-gereja dan melibatkan gerejagereja secara resmi.
Dalam sejarah gerakan tersebut juga dapat
disimpulkan bahwa kerjasama praktis lebih mudah dibanding dengan kesepakatan
teologis jelas dari sejarah Oikoumene, tetapi juga tidak semata-mata
karena “doctrine devides but service unites” (ajaran memisahkan tetapi pelayanan
memersatukan). Ajaran menyangkut akar-akar iman, sehingga khususnya di sana
kesepakatan sulit tercapai. Akan tetapi kalau tercapai tujuan Oikoumene untuk
sebagian besar telah diwujudkan. Kerjasama tidak banyak dilihat sebagai jalan
gampang tetapi sebagai segi lain dari hakekat gereja-gereja yang dipanggil
untuk memperdamaikan dan melayani dalam keesaan. Dua segi saling melengkapi.
D.
Implikasi Gerakan Oikoumene
Dari pembicaraan mengenai sejarah dan
perkembangan gerakan Oikoumene, dapat ditemukan adanya perubahan atau
pergeseran pemahaman gerekan Oikoumene. Untuk lebih jelasnya pembahasan tentang
implikasi gerakan Oikoumene akan terlihat dari uraian berikut.
Istilah Oikoumene mulai muncul dari
berabad-abad yang lalu. Oikoumene digunakan untuk menyebut wilayah
persatuan orang-orang Kristen di lingkungan kerajaan Romawi. Ketika masa-masa
reformasi gereja yang menyebabkan perpecahan secara besar-besaran di kalangan orang-orang
Kristen, Oikoumene kembali digunakan untuk menyebut sebuah usaha
penyatuan orang-orang Kristen (seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab
sejarah dan perkembangan gerakan Oikoumene).
Usaha dari masa reformasi ini terus
diupayakan pada abad ke 17 sampai pada abad ke 19. Pada masa ini orang-orang
Kristen berbicara tentang gereja di seluruh dunia, yaitu dunia mediterranian kuno.
Oikoumene untuk membedakan dengan majlis gereja lokal. Ketika orang-orang
Kristen dari berbagai daerah yang berbeda saling bertemu untuk membicarakan
aspek-aspek keyakinan dan disiplin, pertemuanpertemuan tersebut diakui sebagai
“Ecumenical Councils” yang mewakili dari Oikoumene seluruh dunia
tentang waktu dan pengalaman mereka. (Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan
Masyarakat Dunia, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1998, hlm. 6)
Pada abad ke 20 kata Oikoumene memperoleh
makna yang baru, kata ini diterapkan pada kelahiran gerakan baru untuk menjembatani
erpecahan historis gereja-gereja Kristen yang berbeda, untuk mengekspresikan
penyatuan keimanan orang Kristen dengan keseluruhan dunia yang di dalanmnya
terdapat banyak agama selain agama Kristen.
Sebelum perang dunia ke II, gerakan Oikoumene
sangat ditekankan pada penyatuan dalam tindakan-tindakan di dunia. Walaupun
hal itu penting sekali, tetapi tidak dapat dihindari kesan bahwa dengan
demikian persoalan-persoalan eklesiologis sedikit dihindari. Kesepakatan
dalam bertindak ternyata lebih mudah diwujudkan dari keesaan antara
gereja-gereja. Namun demikian dirasa juga bahwa justru keesaan gerejawi yang
nampak adalah pelayanan yang terpenting di dalam dunia dimana umat manusia
hidup terpecah dan dalam permusuhan. Gereja harus menjadi satu untuk mempersatukan
seluruh umat manusia.
Penting untuk perkembangan pemahaman mengenai
Oikoumene adalah pernyataan yang ditetapkan oleh Sidang Raya di New Delhi
yang biasanya dikutip sebagai pernyataan “All In Each Place”. Di dalamnya
dikatakan bahwa gereja yang esa menjadi nampak dimana saja, orang-orang yang
dibaptis dalam nama Kristus dan mengakui Kristus sebagai Tuhan, dikumpulkan
oleh Ruh Kudus untuk menjadi sebuah persekutuan yang mengaku, memberitakan
Injil, merayakan perjamuan Kudus, berdo’a dan melayani bersama. Di sini
ditekankan kembali gagasan gereja mula-mula bahwa setiap gereja lokal mewakili gereja
se-dunia, gereja dari pengakuan iman. Pemahaman ini dilihat sebagai dasar
saling mengakui dan saling menerima antara gereja-gereja
anggota DGD. (Cristian D. Jonge, Jan S.
Aritonang, op. cit., hlm. 54)
Bertolak dari pemahaman ini, gereja-gereja
mulai mencari perluasan dasar keesaan dan perwujudan keesaan yang nampak pada penerimaan
pihak-pihak lain, baik yang berasal dari gereja lain maupun dari agama-agama
lain. Disadari bahwa keesaan yang nampak secara sempurna tidak mungkin segera
tercapai, tetapi hanya terwujud melalui suatu proses. Oleh karena itu, panitian
persiapan untuk konferensi Faith and Order yang ke dua di Edinburgh
(1937) menguraikan dalam laporan tentang “The Meaning of Unity” tiga
model keesaan yang ebrturut-turut dapat dilewati. Tahap pertama adalah “Cooperative
Action” , aksi bersama. Tahap kedua adalah “Mutual Recognition and
Intercommonion”, yaitu saling mengakui dan merayakan perjamuan Kudus
bersama. Tahap terakhir dan tujuan utama dalam mengusahakan keesaan gereja
adalah “Corperate or Organic Union” , yang dipahami sebagai keesaan
dalam keanekaragaman sebagaimana terdapat dalam suatu tubuh. Setiap anggota
tubuh memiliki ciri yang berbeda-beda, tetapi tetap anggota seluruh tubuh,
sedangkan keesaan tubuh tidak menghalangi keanekaragaman dalam karunia-karunia
yang dimiliki masing-masing anggota.
Dalam makalahnya “Ecumenis as Reflections
on Models of Cristian Unity” (Oikuomene sebagai refleksi tentang
model-model keesaan Kristen), Paul Crow menyebut lima model keesaan
gereja yang telah dikembangkan di kalangan Oikoumene.
Yang pertama adalah “Organic or
Corporate Unity” (Edinburgh 1937), yang berarti bahwa yang dicari
adalah keesaan gereja sebagaimana terdapat dalam sebuah organisme atau
tubuh. Istilah organis dipakai untuk menolak sifat statis dalam keesaan.
Keesaan gereja bertumbuh dan menjadi semakin dalam. Istilah Corporate
dipakai untuk menolak keseragaman. Ditekankan tugas panggilan yang
harus dilakukan bersama, dan diharapkan bahwa setiap gereja dapat
mengembang pada pelaksanaan tugas ini sesuai dengan ciri khas
masing-masing gereja.
Model kedua “Conciliar Fellowship” yang
sudah disebut di atas. Dimaksudkan untuk memperdalam gagasan pertama.
Ditekankan bahwa keesaan gereja juga harus nampak dalam
keputusan-keputusan yang diambil bersama.
Model ketiga adalah “Reconciled Diversity”
, kepelbagaian yang diperdalam. Istilah ini muncul pada tahun 70-an di
kalangan World Confensional Familier.
Model keempat yaitu “Communion of Communion”.
Gagasan ini timbul di kalangan gereja Katolik-Roma. Di cita-citakan suatu
gereja yang esa dalam ajaran dan tindakan bersama yang tetap memperlihatkan keanekaragaman
tipe-tipe gereja.
Dari uraian di atas jelas bahwa pemahaman
mengenai Oikoumene mengalami perubahan. Dua macam pergeseran dapat diamati.
Pertama terlihat pergeseran dari keseragaman ke arah keanekaragaman. Disadari
bahwa konsensus total mengenai ajaran, liturgi, tata gereja, dan sebagainya
dapat menimbulkan bahaya bahwa kekeyaan masing-masing gereja tidak cukup diberi
tempat dalam gereja yang esa. Kesadaran bahwa aliran-alirang yang dapat
dibedakan dalam ke-Kristenan masing-masing memelihara unsur-unsur yang hakiki
dari iman Kristen, menimbulkan keinginan untuk mencari bentuk keesaan yang memelihara
kekayaan. Pergeseran kedua adalah pergeseran dari segi institusional kepada
segi pelayanan. Dirasa bahwa mencari kesepakatan mengenai ajaran, tata gereja,
dan sebagainya masih terlalu melihat gereja terlepas dari dunia. Gereja tidak
menjadi esa demi dirinya sendiri melainkan demi dunia. Dengan demikian dapat
dirumuskan bahwa gerakan Oikoumene mempunyai dua tujuan. Pertama, tujuan
internal di kalangan orang-orang Kristen yang terpecah dengan mengupayakan
kesatuan. Kesatuan yang dimaksud bukanlah terwujud ketika di dunia ini hanya terdapat
satu gereja saja, melainkan kesatuan dalam hal pengakuan iman. Tujuan yang
kedua adalah untuk mendapatkan kesepakatan dalam bertindak atau suikap
keberagamaan umat Kristenm terhadap umat beragama lain untuk bersama-sama
mewujudkan perdamaian dunia.
E.
Pembentukan Dewan Gereja-gereja Sedunia
1937 – 1948 Sebagai Lembaga Gerakan Oikoumene
Gagasan-gagasan untuk mendirikan suatu dewan
gereja-gereja mulai dikemukakan sejak perang dunia pertama. Semangat untuk mendirikan
dewan karena dirasa perlu untuk mendirikan suatu persekutuan gereja-gereja
sebagai jiwa untuk kerjasama antara bangsabangsa. Namun suatu persekutuan waktu
untuk itu belum tiba. Kedua organisasi Oikoumene yang mempunyai relasi
yang paling resmi dengan gereja-gereja, Faith and Order dan Life and
Work, dua-duanya merasa bahwa sebaiknya kedua organisasi untuk sementara
waktu bekerja seara terpisah supaya tujuan mereka bersama, yaitu mempersatukan
gereja-gereja jangan dibahayakan. Akan tetapi sejak tahun 1928 iklim berubah dan
orang mulai mencari jalan untuk mewujudkan kerjasama yang lebih akrab. Sejak
1933 organisasi-organisasi Oikoumene seperti Faith and Order dan
Life and Work, bersama dengan IMC, Worl Alliance, WSCF dan YMCA sedunia
mulai membicarakan kemungkinan untuk mendirikan suatu organisasi Oikoumene yang
menckaup semua bidang pelayanan gereja.
Faktor-faktor yang mendukung perkembangan ini
adalah resesi ekonomi dan keadaan politik internasional. Karena resesi ekonomi
juga gereja-gereja mengalami kesulitan keuangan, sehingga dirasa lebih bijaksana
untuk mengkonsentrasikan semua kegiatan Oikoumene dalam suatu wadah.
Keadaan politik internasional, khususnya munculnya negara-negara totaliter,
memperhadapkan gereja-gereja dengan suatu ancaman yang sebaiknya dihadapi
bersama. Sekaligus dapat dilihat bahwa Life and Work dan Faith and
Order mulai saling mendekati, karena yang pertama menjadi semakin sadar
akan dasar teologis untuk pelayanan praktis dan yang kedua akan
implikasi-implikasi teori iman dan tata gereja untuk pekerjaan gereja di dunia
ini.
Yang menjadi pelopor usaha ini adalah William
Temple dari gerakan Faith and Order, yang mengusulkan pada tahun 1935
untuk membentuk suatu dewan Oikoumene internasional gereja-geerja, dan Joseph
Oldham yang pada tahun 1936 mengusulkan dalam rapat Life and Work bahwa
konperensi Life and Work di Oxford dan konperensi Faith and Order di
Edinburg dimanfaatkan juga untuk membicarakan masa depan gerakan Oikoumene.
Baik di Oxford maupun Edinburg menerima rencana ini dan masing-masing sidang
menunjuk tujuh wakil dan tujuh pengganti untuk duduk dalam panitia empat belas
yang harus mempersiapkan Dewan gereja-gereja sedunia dan mencari dukungan gereja-gereja
untuk rencana ini.
Rencana untuk mengadakan sidang raya DGD yang
pertama pada tahun 1941 digagalkan karena perang dunia kedua (1939 – 1945). Akan
tetapi ketiga kantor DGR berada di kota yang tidak diduduki, sedang kantor
pusat di Jenewa berada dalam negara netral, yang dapat mengadalan
hubungan-hubungan dengan semua pihak yang berperang. Oleh sebab itu World
Council of Churches in Process of Formation (DGD dalam proses pembentukan)
dapat mengadakan komunikasi dengan gereja-gereja pada kedua belah pihak.
Hubungan yang terus menerus dengan gereja yang mengaku di Jerman dirasa sangat
penting. Diusahakan untuk menolong pengungsi-pengungsi, khususnya orangorang Yahudi,
yang melarikan diri ke Swis, juga diusahakan, bersama dengan
organisasi-organisasi Kristen dan umum (seperti palang merah) untuk membantu
dimana saja bantuan diperlukan. Untuk tawanantawanan perang diadakan persediaan
literatur Kristen yang dapat dipakai untuk ibadah-ibadah di kamp-kamp tawanan.
Didirikan Departement of Reconstruction and Inter Church Aid (Departemen
Rekontruksi dan Bantuan Antar Gereja) untuk pembangunan sesudah perang. Karena semua
kegiatan ini hubungan antara gereja-gereja di negara-negara yang berperang
tidak terputus.
Ini berbeda dengan perang dunia pertama,
ketika gereja-gereja begitu mendukung pemerintahannya masing-masing sehingga
hubungan dengan orang-orang Kristen dari pihak lain hampir dianggap penghianatan.
Sekarang hampir semua gereja setuju bahwa tugas pokok gereja adalah mencari
amal juga disadari bahwa apa yang terjadi sesudah perang dunia pertama, yaitu
kecurigaan antara gereja-gereja dari negara-negara yang dikalahkan dan
gereja-gereja dari negaranegara yang menang harus dihindari. Pengalaman bersama
selama perang menyebabkan bahwa gerakan Oikoumene justru semakin maju dan
tidak mundur seperti yang dikhawatirkan. Kehadiran gereja pada masa perang
dalam banyak hal bersifat Oikoumene.
Pada tahun 1948 DGD didirikan yang merupakan
“a fellowship of churches which accept our Lord Jesus Christ as God and
saviar” (persekutuan gereja-gereja yang menerima Tuhan kita Yesus
Kristus sebagai Allah dan Juru selamat).
Pada tanggal 22 – 23 Agustus 1948 di Amsterdam itu sekaligus
merupakan sidang raya DGD yang pertama. Jumlah gereja yang hadir
sebanyak 147 gereja dari 44 negara. Jumlah wakil resmi adalah 351,
tetapi ada banyak hadirin yang lain. Delegasi dari Asia cukup besar,
tetapi dari Afrika masih kurang. Peninjau-peninjau Katolik-Roma yang
diundang tidak mendapat izin dari gereja mereka untuk hadir. Dari
gereja-gereja Ortodoks hanya gereja Yunani Ortodoks yang menjadi
anggota. Gereja-gereja Protestan yang sangat ortodoks tidak ikut serta.
Sebagian gereja ini (khususnya di Amerika Serikat) mendirikan pada tahun
1948, International Council Of Christian Churches (ICCC, Dewan
Gereja-Gereja Kristen Internasional) sebagai lawan DGD. Dalam sidang raya pertama belum seluruhnya
menjadi jelas. Ditolak bahwa DGD mengambil alih tugas dan wewenang
gereja. DGD juga tidak boleh disamakan dengan una sancta. DGD
dalam wadah dimana gereja-gereja dapat berkumpul, dalam suatu persekutuan
rohani, untuk berunding dan mencari jalan keesaan yang lebih sempurna.
Sidang raya DGD II diadakan di Evanston
(USA< dekat Chicago). 15 – 31 Agustus 1954. Temanya adalah “Christ,
the hope of the world” (Kristus, harapan dunia) yang hadir adalah 502
utusan dari 132 dan 163 gereja anggota DGD. Delegasi dari Indonesia
sebanyak 11 orang. Ada enam seksi, yaitu :
1.
Faith and Order – Our
oneness in christ and our disunity as churches (iman dan tata gereja –
keesaan kita dalam kristus dan perpecahan kita sebagai gereja);
2. Evangelism
– The mission of the church to those out side her life (penginjilan
– Pengabaran Injil gereja kepada orang-orang yang ada di luar kehidupannya);
3. Social
Question – The Responsible society in a world perspective (masalah-masalah
sosial – masyarakat yang bertanggung jawab di dalam perspektif seluruh dunia);
4. International
affairs –Christians in the struggle for world community (perkara-perkara
internasional – orang-orang Kristen dalam pergumulan terhadap masyarakat
Dunia);
5. Inter
– Group Relations The Chruch amid Rasial and Ethnic Tensions (Hubungan-hubungan
antar kelompok – gereja di tengah-tengah ketegangan ras dan suku);
6.
The Laity – The Christian in his
vocation (kaum awam – orang Kristen dalam panggilannya).
(Christian de Jonge, Jan S. Aritonang, Apa
dan Bagaimana Gereja …, op. cit., hlm. 53; Christian de Jonge, Pembimbing
ke Dalam Sejarah Gereja, BPK. Gungung Mulia, Jakarta, 1989, Tabel II dan
hlm. 90.)
Sidang raya DGD III New Delhi (19 Noveber –
15 Desember 1961) adalah sidang raya pertama yang diadakan di luar dunia Barat.
Oleh sebab itu sangat disadari bahwa di dunia masih banyak agama lain dan bahwa
gereja berada di tengah-tengah dunia dengan banyak agama dan banyak kebduayaan.
Temanya adalah “Jesus Christ, the light of the world” (Yesus Kristus,
terang Dunia) lebih dari 1000 orang, diantaranya 577 utusan resmi yang mewakili
hampir 200 gereja anggota, menghadiri sidang raya ini. Tema dibahas dalam 3
seksi, yakni witness, service dan unity (Kesaksian, pelayanan dan
keesaan). Belum dibicarakan soal dialog dengan agama lain, tetapi disadari
bahwa agama Kristen bukan agama Barat saja. Dibicarakan teologi Asia dan
hubungan Kristus dengan agama-agama lain. Beberapa peristiwa penting yang
terjadi pada sidang raya New Delhi :
a.
Penggabungan antara IMC dan DGD. Kerjasama
antara kedua lembaga Oikoumene ini sejak permulaan erat dan telah
menjadi semakin erat, sehingga central committe DGD pada rapatnya di New Hoven,.
Amerika Serikat (1957) dan IMC pada konperensi di Graha (1958) telah memutuskan
untuk bergabung. Dalam penggabungan ini menjadi nyata bahwa gereja-gereja Barat
dan gereja-gereja dari Asia serta Afrika sama penting di gerakan Oikoumene.
Tidak ada lagi perbedaan antara gereja-gereja yang mengkabarkan Injil dan gereja-gereja
hasil perkabaran Injil. Khususnya gereja dari Asia dan Afrika senang dengan
keputusan ini. Sebab mereka merasa bahwa di dalam DGD hak yang sama dengan
gereja Barat lebih nyata dari IMC, yang dibebani sejarah perkabaran Injil yang
kadang-kadang peternalistik. Demikian juga lebih nyata bahwa perkabaran Injil adalah
tugas untuk setiap gereja dan bahwa tugas untuk mengabarkan Injil tidak lepas
dari tugas mengesakan gereja.
b. Gereja-gereja
Ortodoks Rusia, Rumania, Bulgaria, Polandia menjadi anggota, sehingga unsur
ortodoks sangat diperkuat (sebelumnya hanya gereja Ortodoks Yunani yang menjadi
anggota) dan menjadi lebih nyata bahwa gerakan Oikoumene bukan hal
protestan saja.
c. Selain
itu beberapa gereja dari dunia ketiga menjadi anggota dan juga satu gereja
pentakosta dari Chili. Dengan demikian keanggotaan DGD diperluas ke arah dunia
ketiga dan ke arah keKristenan pentakostal. Perkembangan ini kemudian
menyebabkan perubahan dalam suasana gerakan Oikoumene.
d. Karena
gereja-gereja ortodoks menjadi anggota DGD, dirasa perlu untuk memperluas dasar
DGD. Dasar 1948 berbunyi : “The world council of Churches is a Fellowship of
Churches which accept our Lord Jesus Christ as God and savior according to the
scriptures and therefore sext to fulfil together their common calling to the
glory of one god, father, son and holy spirit”.
e. Hadir
untuk pertama kali pada sidang raya DGD peninjau-peninjau dari gereja
Katolik-Roma, sebagai hasil sikap lebih terbuka gereja ini.
f. Didiskusikan
apakah DGD harus membicarakan soal-soal politik yang menyebabkan perbedaan pendapat
antara gereja-gereja anggota, seperti soal Israel, yang membedakan
gereja-gereja Barat dan gereja-gereja Arab, dan masalah Afrika Selatan
(Apartheid; pembunuhan orang-orang hitam dalam peristiwa sharpeville, 1960)
g.
Di keluarkan pernyataan tentang keesaan Oikoumene
gereja-gereja yang biasanya dikutip sebagai All in Each place. Penting
untuk dicatat bahwa melalui dokumen ini DGD untuk pertama kalinya menunjuk ke
arah mana keesaan gereja dapat diwujudnyatakan.
Sidang raya DGD IV diadakan di Uppsala, Swedia
4 – 20 Juli 1968, ada hadir sama seperti di new Delhi, peninjau-peninjau Roma.
Di sini komite pusat menyediakan uang untuk pemberantasan rasisme (mendahulukan
suatu suku bangsa berdasarkan rasnya) dan untuk gerakan-gerakan kemerdekaan.
Ada lima seksi yaitu :
1.
The holy spirit and the catholicity of
the church (Roh Kudus dan katolisitas gereja);
2. Renewal
in mission (pembaharuan dalam perkabaran Injil);
3. World
Economic and social development (ekonomi dunia dan perkembangan
masyarakat);
4. Toward
justice and peace in international affairs (menuju keadilan dan
perdamaian dalam perkaraperkara internasional);
5.
Toward new styles of living (menuju
gaya hidup baru), seksi ini membahas lingkungan hidup, penghematan dan pendobrakan
pola hidup yang konsumtif.
Sidang raya DGD V diadakan di Nairobi, Kenya,
dari 23 Novmeber – 10 Desember 1975. yang hadir sekitar 2300 orang, diantaranya
676 utusan resmi 286 gereja anggota. Antara lain dibicarakan di sana tentang
hak-hak manusia, dan percakapan antara gereja-gereja dengan agama lain. 46
Untuk pertama kalinya utusanutusan wakil-wakil dari agama lain diundang. Ada
enam seksi yaitu :
1.
Confessing christ today,
mengaku Kristus dewasa ini (perkabaran Injil);
2. What
unity requires, apa yang dibutuhkan oleh untuk keesaan;
3. Seeking
community, mencari persekutuan (dialog antar
kepercayaankepercayaan, kebudayaan-kebudayaan dan ideologi-ideologi);
4. Education
for Liberation and community (pendidikan untuk pembebasan
dan persekutuan);
5. Structures
of injustice and struggles for liberation (struktur-struktur
ketidakadilan dan perjuangan-perjuangan untuk pembebesan);
6.
Human development,
pembangunan manusia (kekuasaan, teknologi, kualitas hidup).
Sidang raya DGD VI diadakan di Vancouver,
Kanada, 24 Juli– 10 Agustus 1983, yang hadir sekitar 3000 peserta, diantaranya
wakilwakil 314 gereja. Temanya adalah “Jesus christ, the life of the world”
(Yesus Kristus, kehidupan dunia). Tema ini dibahas dalam 8 seksi yaitu
1.
Witnessing in a Devided world,
bersaksi dalam dunia yang terbagibagi (perkabaran Injil);
2. Taking
steps toword unity, mengambil langkah-langkah menuju keesaan;
3. Moving
toward participation, bergerak menuju ke partisipasi (dibahas
diskriminasi, pengangguran, emansipasi wanita),
4. Heading
and sharing life in community, menyembuhkan dan
membagikan kehidupan di dalam persekutuan;
5. Confronting
threats ti peace and survival, menghadapi ancamanancaman demi
perdamaian dan kelangsungan hidup;
6. Struggling
for justice and human dignity, berjuang demi keadilan dan
martabat manusia;
7.
Learning in community,
belajar dalam persekutuan (pendidikan); 8. Communicating with conviction,
berkomunikasi dengan keyakinan.
F.
Aplikasi Konsep Gerakan Oikoumene
Lahirnya gerakan Oikoumene membawa
angin segar untuk dapat mewujudkan perdamaian dan kerukunan antar umat
beragama. Meskipun implikasi dari konsep gerakan Oikoumene beranekaragam
melalui serangkaian proses dalam mencari format yang tepat sesuai dengan
perkembangannya, namun aplikasinya sudah dirasakan manfaatnya. Hal ini terlihat
pada tahun-tahun perang, kontak Oikoumene itu telah menunjukkan manfat
yang sangat besar di dalam prakteknya. Dari pusat organisasi-organisasi Oikoumene
di Jenewa, dan juga oleh gerejagereja sendiri banyak pertolongan di berikan
kepada kaum pengungsi, orang-orang tawanan dari daerah Zending yang
ditinggalkan dengan tidak mempunyai pengantar-pengntar, juga mengadakan
hubungan antar negara-negara yang terpisah oleh garis peperangan. Kegiatan ini
tanpa memperdulikan perbedaan agama, ras, suku bangsa dan perbedaanperbedaan yang
lain.
Selain manfaat yang telah disebutkan di atas,
gerakan ini menimbulkan ggasan untuk mengadakan dialog dengan umat beragama lain.
Kata dialog antar umat beragama menunjuk kepada pertemuan serta percakapan
antara orang-orang yang berbeda agama yang diadakan untuk saling mengenal dan
saling belajar mengenai agama yang diyakini. Antara dialog dan pekabaran Injil
terdapat hubungan erat. Timbul kesadaran bahwa kesaksian mengenai Kristus bukan
gerakan satu arah saja, dari yang bersaksi kepada yang menerima saksi ini, seakan-akan
orang Kristen sudah tahu segala-galanya dan orang-orang yang bukan Kristen
tidaki tahu apa-apa. Orang-orang bukan Kristen juga mempunyai iman serta
keyakinan dan tidak mungkin memberitakan Injil tanpa memberi perhatian penuh
kepada keyakinan dan iman ini. Namun kata dialog tidak semata-mata dimaksudkan sebagai
kata halus untuk pekabaran Injil. Usaha untuk mengadakan dialog didorong oleh
pendapat bahwa bagaimanapun juga cara terbaik untuk bersaksi mengenai iman
sendiri kepada orang lain, perlu orang-orang yang berbeda agama, saling
mengenal dan mengerti dalam dunia dimana komuniaksi dan pergaulan antar manusia
semakin intensif. Hal itu pada saat
sekarang menumbuhkan ide Oikoumene global, yang tidak hanya membawa
bentuk penyatuan antara orangorang Kristen tetapi juga penyatuan seluruh
keyakinan yang berbeda di dunia. Dialog antar iman antar anggota keimanan yang
berbeda telah meningkatkan kesadaran dimensi global dalam persoalan agama. Para
teolog terkemuka, juga para pemikir agama, mulai membahas persoalanpersoalan global,
yang menekankan saling keterkaitan dalam ide-ide keagamaan dan kehidupan
spiritual seperti dalam permasalahan ekonomi.
Gagasan untuk mengadakan dialog dengan
orang-orang dari agama lain sebenarnya terdengar sejak permulaan gerakan Oikoumene
pada konperensi pekabaran Injil di Edinburgh (1910) dan dapat didengar juga
pada konperensi IMC di Yerussalem (1928) dan Tambaran (1938). Dialog pada waktu
itu terutama dilihat sebagai usaha untuk mengambil yang paling baik dari semua
agama. Pada Sidang Raya DGD di Evanston (1954), dalam laporan mengenai Evangelism
muncul motif baru untuk mengadakan dialog. Dikatakan bahwa kebangkitan
agama-agama lain dan ideologi-ideologi sesudah perang dunia ke II memaksa gereja
untuk memikirkan cara-cara lain untuk mengkomunikasikan Injil.
Dalam diskusi tentang peranan orang-orang
Kristen di Nattion- Building timbul kesadaran bahwa selain ideologi juga agama memainkan
peran penting. Pada tahun 1967 diadakan konsultasi di Kandy (Sri Langka)
tentang “Christians in Dialogue With Man of Other Faiths” (orang-orang
Kristen dalam dialog dengan orang-orang yang berkepercayaan lain).
Pada tahun 1970 untuk pertama kalinya dapat diadakan
konsultasi dengan penganut agama-agama lain (Hindu, Budha, Islam) yang diadakan
di kota Ajaltun di Libanon. Sebelumnya hanya diadakan konperensi-konperensi
bilateral khususnya dengan orangorang Islam (Bharndoun, Libanon 1955 ;
Alexaderia, Mesir 1955, diadakan “World Fellowship of Muslim and Christians,
persekutuan orang-orang Islam-Kristen sedunia). Pada tahun 1971 diputuskan
untuk membentuk sub unit khusus, dalam unit “Faith and Witness” untuk dialog
dengan nama “Dialogue With People of Ulang Faiths and Ideologies”, yang
diperoleh oleh Sumartha.
G.
Tantangan dan Hambatan Gerakan Oikoumene
Memang konflik agama dan politik merupakan
bagian integral setiap yang dialami masyarakat. Majid Tehranian (1995 : 283)
yang mengelompokkan modernisasi menjadi 6 tahap, mengatakan bahwa “Tahap keenam
modernisasi” ditandai dengan adanya pilihan-pilihan ideologis yang terentang.
Antara dialog versus perbenturan peradapan; Oikoumene versus
fundamentalis; dan kapitalis totalitarian versus komunitarian.
Ideologi-ideologi ini memandang planet bumi sebagai sistem organis yang menyatu
secara tunggal atau sebagai perangkat peradaban, agama atau blok regional yang
saling berbenturan. Pada uraian
sebelumnya, sudah disinyalir tentang adanya tantangan dan hambatan di dalam
gerakan Oikoumene.
Pada umumnya tidak ada perbedaan yang
psinsipil antara keyakinan yang dimiliki dan diajarkan gerkan Injili (yang
kemudian mempelopori adanya gerakan Oikoumene) dengan yang diaut oleh
gereja-gereja arus utama. Memang begitulah halnya, dan justru karena itulah
gerakan Injili bisa masuk dan merembes ke ana-mana karena tidak ada satu gerejapun
yang berpegang pada Alkitab dan ajaran pada reformator (yang biasa disebut
ajaran ortodoks atau ortodoksi), yang sering berbeda adalah gaya penyampaiannya
atau penekanannya dan penafsiran atas beberapa pokok, misalnya tentang
kemutlakan Alkitab, tentang arti keselamatan (apakah hanya jiwa atau seluruh
keberadaan manusia, apakah baru terwujud nanti di surga atau sudah mulai
terwujud di sunia ini. Apakah bersifat pribadi atau kolektif dan mencakup
seluruh ciptaan), tentang makna dan tujuan perjanjian (apakah sama dengan
mengKristenkan dan menumbuhkan gereja, atau memberlakukan damai sejahtera yang
dari Allah dalam setiap bidang kehidupan).
Perbedaan-perbedaan ini tentu bisa dipertajam
bila masingmasing pihak menganggap penafsirannya yang paling benar seraya menyerang
dan mempersalahkan penafsiran pihak lain. Ini misalnya kita lihat dalam
pertentangan antara kubu Ekuiminal (Oikoumenekal) yang antara lain
diwakili oleh WCC/DGD, CWF dan WARC versus kubu Injili yang antara lain
diwakili oleh NAE, WEF dan LCWE yang berkobar terutama sejak akhir 1960-an,
kendati sejak 1980-an ada upaya
memperdamaikannya. (Abu Zahra (ed.), Politik
Demi Tuhan (Nasionalisme Religius di Indonesia), Pustaka Hidayah, Bandung,
1999, hlm. 89)
Dalam bidang diskusi Oikoumene, Dewan
Gereja se-Dunia telah menjadi sadar akan adanya rasa ketidakpuasan yang cukup tersebar,
terutama antara ahli-ahli kitab, tentang cara kitab yang digunakan dalam
paper-paper (kertas-kertas kerja) penelitian Oikoumene sesudah perang.
Bahkan pada puncaknya, rasa ketidakpuasan itu mengakibatkan suatu keretakan
yang cukup mendalam antara ahli-ahli Evangelis dan teolog-teolog. Maka adanya keretakan
ini merupakan sebab utama, mengapa Dewan Gereja-gereja se-Dunia memulai suatu
penelitian Oikoumene yang baru tentang kewibawaan Alkitab. Dokumen
penelitian, yang disiapkan untuk merangsang riset itu, dapat dibaca dalam the
Ekumenical Review No. 21 tahun 1969 halaman 135 166.
Jelas dari dokumen penelitian tersebut bahwa
para penyusunnya telah undur dari konsep bahwa hanya Alkitab yag merupakan
unsur pemersatu, yang dimiliki bersama oleh gerejagereja yang masih berpisah. Hambatan
lain terlihat dari perlawanan terhadap penggabungan antara IMC dan DGD muncul
di kalangan gereja-gereja Ortodoks dan kaum Evangelikal. Gereja-gereja Ortodoks
khawatir bahwa penggabungan ini membuka pintu untuk proselitisme (memenangkan orang
dari gereja-gereja lain). Seperti telah dialami mereka dari pihak Katolik-Roma
dan Protestan. Kaum Evangelikal melihat dalam keputusan New Delhi bukti lagi
bahwa gereja-gereja Oikoumene telah melupakan tugas mengkabarkan Injil.
Mereka mengadakan kongres internasional di Lausanne (1974) dan pada pertemuan
continuation committee “Gerakan Lausanne” ini di Mexico (1975)
Consultative Council of World Evangelicals (Dewan Penasehat Kaum Injili Sedunia).
Perlawanan itu juga muncul dari sikap gereja Katolik-Roma yang dengan tegas
menyatakan bahwa keesaan Kristen itu terlihat dari kepaulusan artinya Paus
sendiri adalah merupakan lambang dari orang Kristen yang bersatu. Seperti yang
dijelaskan di atas bahwa banyak orang Kristen Evangelis yang memandang gereja Oikoumene
sebagai sebuah gerakan kompromis dan pelecehan terhadap keyakinan Kristen.
Maka di samping gerakan menuju rekonsiliasi diantara orang-orang Kristen, terdapat
juga gerakan Evangelis sebagai protes atas kecenderungan itu, dan karenanya,
meski beberapa perpecahan lama sedang ditanggulangi, atau setidaknya
dimoderatkan, namun perpecahan yang lain muncul sampai taraf tertentu.
Beberapa komentatator tentang keadaan dunia Kristen
pada masa sekarang menyatakan bahwa ada dua bentuk agama Kristen yang berlaku;
pertama Oikoumene, sebuah bentuk yang tidak hanya membentuk
gereja-gereja Kristen Protestan yang telah mapan tetapi juga gereja-gereja
Ortodoks, bahkan gereja Katolik-Roma (sebuah gerakan yang bersikap terbuka
terhadap ideologi-ideologi lain, agama-agama lain, sosial politik, ekonomi)
bahkan memandang seluruh dunia beserta isinya sebagai keseluruhan ciptaan Allah
yang menjadi lapangan perkabaran Injil. Yang kedua Evangelis.
Hambatan dari dalam muncul ketika berhadapan
dengan persoalan konferensional di dalam gerakan Oikoumene. Pemahaman yang
lebih menjurus menuju kepada pemahaman baru muncul pada abad pertengahan lalu,
ketika kata Oikoumene mulai diartikan sebagai “rela untuk melampaui dan
mengatasi batas-batas konfensional yang memisahkan orang-roang Kristen”.
Pemahaman ini tidak langsung diterima. Pada umumnya pada kira-kira tahun 1920
kata Oikoumene masih dimengerti dalam arti tradisional, yakni secara
geografis atau berhubungan dengan gereja, sebagai sinonim dengan katolik,
universal, berwibawa. Namun, khususnya karena usaha Natahan Soderblom, seorang
pelopor Life and Work. Pemahaman modern mulai diterima secara umum.
Mulai disadari bahwa gereja belum Oikoumene kalau masih ada
tembok-tembok pemisah antara gereja-gereja Protestan, gereja-gereja Ortodoks
dan gereja Katolik-Roma, seperti yang telah dijelaskan panjang lebar pada
uraian-uraian sebelumnya.
Jadi, arti dari kata Oikoumene tidak
lagi menunjuk kepada sesuatu kenyataan, seperti dahulu, tetapi kepada suatu
tujuan yang hendak dicapai melalui suatu usaha dan pergumulan atau melalui
suatu wadah yang terorganisir dengan baik.
H. Pertumbuhan Dan Gerakan Keesaan Di Asia
Salah satu
faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkebangan keesaan di Asia adalah
pengaruh nasionalisme di Asia, setelah Jepang megalahkan Rusia pada tahun 1905.
Timbul perasaan bahwa orang-orang Asia telah cukup mampu untuk mengurus
persoalan-persoalan mereka sendiri sehingga tidak perlu lagi diatur oleh
orang-orang Barat. Selain itu terdapat juga pengaruh dari konperensi Pekabaran
Injil Sedunia tahun 1910 di Edinburgh.
Di beberapa
Negara di Asia seperti di India, Jepang, Cina, Burma, Sri Lanka, Korea, Filipina
dan termasuk Indonesia, muncul lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang
sesungguhnya disemangati oleh konperensi Edinburgh. Dan ketika di tahun 1938,
dilangsungkan konperensi pekabaran Injil sedunia di Tambaran India muncul
kesadaran orang-orang Kristen Asia bahwa mereka mempunyai
kepentingan-kepentingan bersama yang berbeda dari kepentingan-kepentingan
gereja-gereja Barat. Kesadaran ini yang kemudian membuahkan Dewan-dewan Gereja
di negara-negara Asia, yang kemudian turut melahirkan Dewan Gereja Asia.
I.
Pertumbuhan
Gerakan Keesaan Di Indonesia
Ada lima hal
yang memperngaruhi sejarah Oikumene di
Indonesia yang bermuara pada pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia. Menurut Dr. T.B. Simatupang, kelima hal
itu adalah :
- Alkitab
(dalam hal ini Yohanes 17 : 21) dan
Pengakuan Iman;
- Nasionalisme
di Indonesia menjelang dan sesudah Perang Dunia II;
- Pengalaman
pemuda Kristen dalam Christelijk Studenten Vereniging (CSV, Perhimpunan
Mahasiswa-mahasiswa Kristen) dan pada Sekolah Theologia Tinggi
(Sekarang STT) di Jakarta;
- Pengalaman
pada masa Jepang;
- Pengaruh
gerakan oikumenis dari luar (IMC, WSCF, DGD) dan pengaruh tokoh-tokoh di kalangan Pekabaran
Injil.
Doa Yesus
dalam Yohanes 17 : 21 : "supaya
mereka menjadi satu ... agar dunia percaya" menjadi tema Gerakan
Oikoumene. Sejak abad 20 Gerakan Oikoumene itu berkembang meliputi seluruh
dunia, juga di Indonesia ini. Dan ketika kesadaran/gerakan oikoumene mulai
melanda Indonesia, pada saat yang sama kesadaran nasionalisme muncul.
Gereja-gereja mulai berupaya menghilangkan perselisihan, perpisahan dan
keterasingan satu dari yang lain. Ini tidak mudah, sebab faktor-faktor dogma
dan tradisi masih kuat. Sekalipun demikian mulai nyata bahwa upaya itu tidak
sia-sia.
Tahun 1939,
atas inisiatif dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI), Gereja Kristen Jawi
Wetan (GKJW), Gereja Kristus, dan Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat (GKI
Jabar) serta dihadiri juga oleh peserta-peserta yang mengikuti Konperensi
Pekabaran Injil Sedunia di Tambaran India, diadakan sebua pertemuan di Batavia
(Jakarta). Pertemuan ini memutuskan mempersiapkan pembentukan suatu National
Christian Council. Dibentuklah Panitia persiapan yang merancangkan Anggaran
Dasar dan Peraturan untuk Dewan ini, dengan diketuai oleh Dr. Mulia dan
Sekretaris-Bendahara adalah Van Randwijck. Rencana pembentukan Dewan ini
terkendala bukan saja karena Perang Dunia II tetapi juga karena ada perbedaan
pendapat tentang Anggaran Dasar dan tentang perwakilan Gereja dan Lembaga
Penginjilan dalam Dewan yang akan dibentuk.
Selain itu,
selama masa Jepang, Gereja-gereja mulai melihat bahwa mereka menghadapi
pergumulan bersama dan harus diatasi bersama. Maka di beberapa daerah
Gereja-gereja bergabung untuk mengatasi bersama masalah-masalah yang mereka
hadapi. Ada juga gereja-gereja di daerah tertentu yang membentuk Dewan Gereja.
Ada Dewan Permoesyawaratan Geredja-geredja di Indonesia (DPG) yang menghasilkan
kesepakatan Kwitang pada Mei 1947; ada Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja
Kristen (MOBGK) yang berpusat di Makassar untuk Gereja-gereja di Indonesia
bagian Timur. Nyata bahwa ada upaya yang sungguh untuk membentuk suatu lembaga
keesaan Gereja. Dan akhirnya tanggal 25 Mei 1950, DGI didirikan.
Berdirinya
DGI merupakan hasil dari sebuah Sidang Raya Gereja-gereja Protestan yang
berlangsung tanggal 21 – 28 Mei 1950 di STT Jakarta. Dan tanggal 25 Mei 1950
tepat jam 12.00 WIB, diputuskan dan disahkan Anggaran Dasar berdirinya DGI. Tokoh-tokoh
yang berperan penting dalam sejarah panjang gerakan keesaan sampai berdirinya
DGI a.l. Dr. T.S.G. Mulia yang turut
hadir dalam Konperensi Pekabaran Injil di Yerusalem tahun 1928 dan di Tambaran
tahun 1938, Pdt. W.J. Rumambi yang turut
membidani MOBGK.
Tahun 1984
dalam DGI berubah menjadi PGI. Semangat yang menjiwai PGI nampak dalam
prinsip-prinsip penting yang dijadikan pedoman Gerakan Keesaan antara lain :
- Keesaan
itu bukanlah soal keseragaman atau keterpisahan, melainkan keberagaman
dalam kebersamaan. Seperti tubuh yang terdiri dari banyak anggota yang
saling terikat satu dengan yang lain
- Keesaan
itu adalah keesaan dalam roh. Keesaan yang bukan hasil usaha manusia,
tetapi karena karya Kristus.
- Keesaan
itu harus nampak agar dunia menjadi percaya.
Berdasarkan
prinsip-prinsip penting itu, maka harus ada saling mengakui dan saling
menerima, saling memahami, saling menolong atau topang menopang dan
mengupayakan hal-hal yang berguna bagi banyak orang.
Selain PGI
yang kebanyakan anggotanya adalah Gereja-gereja Protestan, terdapat juga
Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia (PGPI) dan Persekutuan Injili
di Indonesia (PII), Persekutuan Gereja-gereja Tionghoa Indonesia (PGTI).
J. Sejarah PGI
Pada tanggal
6-13 November 1949 diadakan ‘Konferensi Persiapan Dewan Gereja-gereja di
Indonesia.” Seperti diketahui sebelum Perang Dunia II telah diupayakan
mendirikan suatu Dewan yang membawahi pekerjaan Zending; namun karena pecahnya
PD II maksud tersebut diundur. Setelah PD II berdirilah tiga buah Dewan Daerah,
yaitu: “Dewan Permusyawaratan Gereja-gereja di Indonesia, berpusat di
Yogyakarta (Mei 1946) ; “Majelis Usaha bersama Gereja-gereja di indonesia
bagian Timur”, berpusat di Makasar (9 Maret 1947) dan “Majelis Gereja-gereja
bagian Sumatera” (awal tahun 1949), di Medan.
Ketiga dewan daerah ini didirikan dengan maksud membentuk satu Dewan Gereja-gereja di Indonesia, yang melingkupi ketiga dewan tersebut. Pada tanggal 21-28 Mei 1950 diadakan Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), bertempat di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang Sekolah Tinggi Teologi Jakarta). Hadir dalam konferensi tersebut adalah :
- HKBP
- GBKP
- Gereja Methodist Sumatera
- BNKP
- Gereja Kalimantan Evengelis
- GPIB
- Gereformeerde Kerken in Indonesia
- GKP
- Gereja Kristen Sekitar Muria
- Gereja Kristen Jawa Tengah
- Gereja Kristen Djawi Wetan
- Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jawa Barat
- Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jawa Tengah
- Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jawa Timur
- Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee/Khoe hwee Jakarta
- Gereja Kristen Protestan di Bali
- Gereja Kristen Sumba
- Gereja Masehi Injili Timur
- Gereja Masehi Injili Sangihe & Talaud
- Gereja Masehi Injili Minahasa
- Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow
- GKST
- GKTR
- GKTM
- GKST
- GKSS Makassar
- GMIH
- Gereja Protestan Maluku
- Gereja Masehi Injili Irian
- Gereja Protestan di Indonesia
Salah satu agenda dalam konferensi tersebut adalah pembahasan tentang Anggaran Dasar DGI. Pada tanggal 25 Mei 1950, Anggaran Dasar DGI disetujui oleh peserta konferensi dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dalam sebuah “Manifes Pembentoekan DGI”:
“Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan geredja-geredja di Indonesia, yang soedah ditetapkan oleh Sidang pada tanggal 25 Mei 1950. Kami pertjaja, bahwa dewan Geredja-geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini”.
Demikianlah DGI telah menjadi wadah berhimpun Gereja-gereja di Indonesia. Anggotanya pun semakin bertambah dari waktu ke waktu. Dengan makin berkembangnya jumlah anggota, maka makin menunjukkan semangat kebersamaan untuk menyatu dalam gerakan oikoumene di Indonesia. Dalam wadah PGI, gereja-gereja di Indonesia yang memiliki keragaman latar belakang teologis, denominasi, suku, ras, tradisi budaya dan tradisi gerejawi, tidak lagi dilihat dalam kerangka perbedaan yang memisahkan, melainkan diterima sebagai harta yang berharga dalam memperkaya kehidupan gereja-gereja sebagai Tubuh Kristus. Seiring dengan perkembangan dan semangat kebersamaan itu pulalah yang turut mendasari perubahan nama “Dewan Gereja-gereja di Indonesia” menjadi “Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia” sebagaimana diputuskan pada Sidang Raya X di Ambon tahun 1984. Perubahan nama itu terjadi atas pertimbangan: “bahwa persekutuan lebih bersifat gerejawi dibanding dengan perkataan dewan, sebab dewan lebih mengesankan kepelbagaian dalam kebersamaan antara gereja-gereja anggota, sedangkan persekutuan lebih menunjukkan keterikatan lahir-batin antara gereja-gereja dalam proses menuju keesaan”.
Dengan demikian, pergantian nama itu mengandung perubahan makna. Persekutuan merupakan istilah Alkitab yang menyentuh segi eksistensial, internal dan spiritual dari kebersamaan umat Kristiani yang satu. Sesuai dengan pengakuan PGI bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia serta Kepala Gereja, sumber Kebenaran dan Hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja sesuai dengan Firman Allah, maka sejak berdirinya PGI, gereja-gereja berkomitmen untuk menyatakan satu gereja yang esa di Indonesia. Keesaan itu ditunjukkan melalui kebersamaan dalam kesaksian dan pelayanan, persekutuan, saling menolong dan membantu. Oleh karena itu PGI tidaklah bermaksud untuk menyeragamkan gereja-gereja di Indonesia, dan PGI juga bukanlah hendak menjadi suatu super church yang mendominasi gereja-gereja anggota, melainkan keesaan yang dimaksud adalah keesaan dalam tindakan, artinya keesaan yang makin lama makin bertumbuh dan berkembang ketika melakukan kegiatan-kegiatan bersama dalam visi dan misi bersama.
Sampai pada tahun 2009, PGI telah menghimpun 88 gereja anggota dan lebih dari 15 juta anggota jemaat yang tersebar dari Merauke – Sabang dan dari Rote – Talaud. Keanggotaan PGI mewakili 80 persen umat Kristen di Indonesia. Dengan lambang “oikoumene” gereja-gereja anggota PGI optimistis berkarya dan melayani di Indonesia dan dunia. Di samping merekatkan hubungan di antara gereja-gereja anggotanya, PGI juga terpanggil untuk bekerjasama dan membangun kemitraan dengan gereja-gereja dan lembaga oikoumene lainnya, dan antaragama, baik tingkat nasional maupun internasional. Hubungan kemitraan ini dimaksudkan untuk menciptakan kerukunan umat beragama serta kesejahteraan manusia di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.
Kepustakaan
:
- Dr.
Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, Sejarah, Dokumen-dokumen
dan Tema-tema Gerakan Oikumenis, BPK-Gunung Mulia, Jakarta, 1996.
- Dr.
J.M. Pattiasina & Pdt. Weinata Sairin, M.Th (Ed), Gerakan Oikumene,
Tegar Mekar di Bumi Pancasila Buku Peringatan 40 tahun PGI, BPK-Gunung
Mulia, 1990.
- Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia, Dalam Kemantapan Kebersamaan Menapaki
Dekade Penuh Harapan, BPK-Gunung Mulia, 1991.
4. Victor
I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problem Sosial (Diskursus Tiologi tentang
Isuisu Kontemporer), Pustaka Cidesindo, Jakarta, 1998.
5. Th.
Sumartana, Noegroho Agoeng, Zuly Qodir (ed.), Pluralisme, Konflik dan
Perdamaian (Studi Bersama Antar Iman), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
6. H.
Berkhof, Sejarah Gereja, terj. I.H. Enklaar, BPK : Gunung Mulia,
Jakarta, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar