B
I S N I S P A U L U S
(Oleh: Pdt. Dadiana, MTh.)
Abstrak.
Pendeta,
penginjil, dan lembaga gereja membutuhkan uang untuk menunjang pelayanannya.
Paulus berbisnis tenda untuk membiayai pelayanannya. Pendeta, penginjil, dan
gereja dapat juga berbisnis untuk membiayai pelayanannya. Semuanya harus
dilakukan di dalam Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan.
Kata kunci:
bisnis, pelayanan, gereja
Abstrac
Pastors, evangelists, and church
instution needs money to support his ministry. Paul business tent to support
his ministry. Pastors, evangelists, and church can also do business to support
these ministry. But everything must be done in God and for the glory of God.
Keywords:
business, ministry, church
Bisnis berarti suatu usaha komersial dalam dunia
perdagangan, bidang usaha (barang dan jasa) dan secara sederhana berarti usaha
dagang,[1]
untuk mendapatkan uang. Komersial adalah
sesuatu yang berhubungan dengan niaga; dimaksudkan untuk diperdagangkan.[2] Dalam
dunia perdagangan pokok utamanya berkaitan dengan uang dan barang. Bisnis
adalah suatu kesibukan atau aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan
keuntungan atau nilai tambah.[3]
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diartikan bahwa bisnis adalah suatu
usaha (aktivitas kerja) berkenaan dengan barang, jasa, untuk mendapatkan keuntungan
yang berupa uang. Keuntungan merupakan hal yang dicari dan diusahakan dalam
bisnis.
Paulus yang dimaksud dalam judul di atas
adalah rasul Paulus yang gencar melayani pemberitaan injil setelah
pertobatannya, sebagaimana dilaporkan dalam Alkitab Perjanjian Baru terutama
dalam kitab Kisah Para Rasul dan surat tulisan-tulisan Paulus. Dengan demikian
tulisan ini hendak mengangkat sisi kehidupan Paulus, yang berhubungan dengan
bisnis dan juga pelayanan.
Berkenaan dengan judul dalam tulisan ini,
pertanyaan yang patut untuk diajukan adalah, “Apakah rasul Paulus berbisnis?”
Pertanyaan lain yang dapat diajukan adalah, Apakan rasul Paulus berdagang?
Untuk apa Paulus berdagang?
Dalam Alkitab Perjanjian Baru menyaksikan
bahwa, Paulus yang terkenal itu, memilik dua sisi yang sangat paradoks dalam
kehidupannya. Pertama, Paulus adalah salah seorang yang sangat menentang dan
membenci keberadaan orang-orang yang percaya Yesus yang dianggap sebagai
Kristus. “Paulus mencela ‘Mesias’ yang disalibkan itu. Ia membenci kegiatan
para pengikut Kristus gadungan itu.”[4] Ia sangat setuju bahwa para pengikut Yesus dan
yang memberitakan bahwa Yesus adalah Tuhan, dihukum mati dengan hukuman yang
paling keji (Kis.8:1). Paulus adalah penganiaya para pengikut Jalan Tuhan,
bahkan membunuh mereka, baik laki-laki maupun perempuan (Kis.22:4).
Kedua, kehidupan Paulus setelah ia
mengalami perjumpaan dengan Yesus dalam suatu penglihatan, yang membuat ia
bertobat, dan dibabtis (Kis.9:17,18). “Paulus sebelumnya membanggakan diri
tentang hal-hal besar yang telah dicapainya dalam agama Yahudi, mulai sekarang
seluruh hidupnya dikuasai oleh Kristus yang bangkit menampakkan diri kepadanya di
jalan menuju Damsyik, serta yang mengubah sama sekali cara hidup dan cara berpikirnya.”[5] Dalam
diri Paulus sisi kedua ini, terjadi perubahan hidup yang sangat berlawanan
dengan sisi pertama. Ia menjadi seorang yang getol memberitakan tentang Yesus
bahwa Yesus adalah Anak Allah (Kis.9:20). Ia membuat kebingungan orang-orang
Yahudi, karena Paulus membuktikan kepada mereka bahwa Yesus adalah Mesias
(Kis.9:22). Ia rela menderita dan bahkan mati demi pewartaan tentang Kristus.
Ia bekerja keras untuk semua yang dilakukannya (I Kor.9:16). Keadaan ini tentu
sangat kontras dengan sisi pertama kehidupan Paulus sebagai mana dijelaskan di
atas.
Selain kedua sisi tersebut di atas yang berkenaan
kehidupan Paulus, ada sisi lain yang berkaitan
dengan bagaimana Paulus mencari uang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sisi ini memang sepertinya tersembunyi dalam
pemaparan tentang kehidupan Paulus. Sisi yang penulis maksudkan adalah Paulus
bukan hanya seorang pekerja keras dalam memberitakan injil, ia juga seorang
pekerja keras dalam mencari uang untuk pembiayaan hidupnya bahkan kehidupan
rekan-rekannya (Kis.20:34; II Kor.11:9).
Tulisan ini hendak menguak sisi bisnis
Paulus untuk membiayai kehidupan dan pelayanannya. Dua hal penting dalam
tulisan ini adalah berkenaan dengan “bisnis” dan “pelayanan.” Bagaimana hubungan
bisnis dengan pelayanan, dan menarik relevansinya dalam praktik bisnis dan
palayanan pada zaman sekarang ini.
Dalam pemikiran kekristenan ada orang yang
memisahkan antara perkara-perkara rohani dan perkara sekuler.[6] Bila disimak dengan seksama, tak dapat
dipungkiri bahwa sebenarnya antara yang rohani dan yang sekuler, keduanya
sangat berkaitan, atau bahkan saling membutuhkan. Karena yang sifatnya
duniawi tetap diperlukan, sepanjang itu
tidak bertentangan dengan kehendak dan firman Tuhan, selama manusia masih hidup
di dunia ini. Bisnis memang kadang dipandang sebagai hal yang mengejar perkara
duniawi terutama yang berkaitan dengan uang. Berkenaan dengan hal tersebut
Eka Darmaputera mengemukakan dalam
tulisannya,
...untuk kurun waktu yang amat lama,
kekristenan tidaklah bersikap terlampau ramah terhadap dunia dagang dan bisnis,
dan oleh karena itu terhadap orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Ada
semacam sikap curiga. Ada pula sikap memandang sebelah mata ketika dunia bisnis
tetap saja berkembang dangan pesatnya, seolah-olah tidak terpengaruh dan tidak
peduli terhadap sikap-sikap dan prasangka negatif yang tertuju terhadapnya,
maka pemikiran Kristenlah yang dipaksa mengubah diri. Ia lambat-laun memang berubah
menjadi lebih positif dan terbuka.[7]
Sikap ketidakramahan
kekristenan terhadap bisnis terjadi karena adanya anggapan bahwa pelaku bisnis
bukanlah orang-orang jujur, saleh dan bermoral, ekonomi dan bisnis adalah
kotor.[8]
Terhadap pandangan-pandangan tersebut sangat menarik untuk dikaji mendalam secara
Alkitabiah, berkenaan dengan bisnis. Dengan tulisan ini diharapkan dapat
menjadi suatu pemahaman yang jelas berkenaan dengan bisnis dan pelaku bisnis
dalam Alkitab.
Dalam dunia pelayanan saat ini masih sering
muncul pertanyaan-pertanyaan: Apakah gereja[9]
sebagai lembaga boleh berbisnis? Apakah pendeta dan penginjil[10]
boleh berbisnis? Adakah pelaku bisnis dalam Alkitab?
Urusan
Bisnis
Sebelum lebih jauh menggali lebih dalam
berkenaan dengan bisnis Paulus, ada kisah menarik untuk disimak sejenak tentang
bisnis kecil yang dilakukan oleh Yesus. Dalam Injil Matius 17:24-27, dikisahkan
bahwa Yesus dengan murid-muridnya datang ke Bait Allah. Pemungut bea Bait Allah menghampiri mereka untuk
meminta pembayaran bea di Bait Allah. Rupanya mereka tidak punya uang untuk
membayar bea di Bait Allah. Untuk dapat membayar bea Bait Allah, Yesus memerintahkan
Petrus untuk pergi memancing, dan dari hasil pancingan didapatkan uang untuk
membayar bea Bait Allah. Dalam kisah ini jelas ada usaha bagaimana mendapatkan uang untuk keperluan
mereka. Memang waktu itu Petrus menemukan uang dalam mulut ikan. Seandainya
tidak ada uang dalam mulut ikan, ikanpun dapat dijual untuk mendapatkan uang. Yesus
dalam aktivitas dan pelayanannya selama di dunia juga memerlukan uang. Untuk
hal tersebut uang perlu dicari dan diusahakan. Dengan istilah lain mungkin hal
tersebut dapat juga dikatakan bisnis.
Paulus: Bisnis Tenda
Dalam kitab Kisah Para Rasul 18:2-3,
ketika Paulus di kota Korintus dipaparkan,
“Di Korintus ia berjumpa
dengan seorang Yahudi bernama Akwila, yang berasal dari Pontus. Ia baru datang
dari Italia dengan Priskila, isterinya,... Paulus singgah ke rumah mereka. Dan
karena mereka melakukan pekerjaan yang sama, ia tinggal bersama-sama dengan
mereka. Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah.” Dalam
nats tersebut ada istilah-istilah yang menarik untuk dicermati berkenaan dengan
bisnis Paulus. Istilah-istilah itu adalah: melakukan pekerjaan bersama, bekerja
bersama-sama, dan mereka sama-sama tukang kemah. Istilah-istilah tersebut dapat
diringkas bahwa mereka mempunyai pekerjaan sebagai tukang kemah, dan ketika
mereka dalam satu rumah mereka bekerja sama.
Bila mengamati dalam terjemahan literal dalam
The Interlinear Bible, ayat tiga
dituliskan sebagai berikut, “And because
he was of the same trade, he lived and worked with them; for they were
tent-makers by trade.”[11] Kata trade diterjemahkan dari kata Yunani techne,[12]
yang dapat diterjemahkan juga craft.[13] Pengertian dari
kedua kata tersebut adalah perdagangan; mata pencaharian (trade); keahlian, kepandaian khusus (craft).
Dengan demikian dapat diartikan bahwa
Paulus, Akwila, dan Priskila, mereka adalah orang-orang yang berkeahlian
membuat tenda, dan sekaligus memperdagangkan tenda yang mereka buat. Ketika
Paulus bertemu dan menumpang di rumah Akwila, mereka bekerja sama dalam membuat
tenda. Suatu kerja sama yang baik sebagai pembuat tenda dan sekaligus pedagang
tenda.
Bagaimana Paulus bisa menjadi seorang
tukang kemah? Dalam The NIV Study Bible,
Kisah Para Rasul 18:3 dijelaskan sebagai berikut, “tentmaker, Paul would have been taught this trade as a youth. It was
the Jewish custom to provide manual training for sons,..”[14]
Paulus telah belajar menjadi pembuat tenda sekaligus memperdagangkannya sejak
dari mudanya. Hal tersebut merupakan kebiasaan bagi bangsa Yahudi
bahwa mereka mengajarkan dan melatih
anak-anak mereka dengan ketrampilan. ”Sewaktu tinggal di Tarsus, Paulus juga
belajar membuat tenda, sebab setiap murid hukum Taurat dianjurkan mempelajari
suatu ketrampilan di samping ilmu. Hal itu sangat bermanfaat bagi Paulus pada
kemudian hari, sebab dengan demikian dia sanggup memperoleh nafkan sendiri.”[15] Ketrampilan untuk suatu pekerjaan telah
menjadi pokok penting yang harus dimiliki oleh anak-anak Yahudi. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Paulus telah berbisnis tenda sejak dari
mudanya.
Pada zaman Alkitab tenda merupakan suatu
alat yang penting, terutama untuk kehidupan para pengembara yang mungkin akan
memerlukan istirahat dalam perjalanannya. Tenda merupakaan “Sarana dibuat dari
kain atau kulit yang dapat dilipat-lipat, ditopang dengan tongkat dan biasanya
diikat teguh dengan tali, yang dibentangkan dari tongkat-tongkat itu...yang
ditancapkan ke tanah... Itulah tempat tinggal yang biasa, baik bagi
bangsa-bangsa pengembara maupun setengah pengembara.”[16]
Tenda yang baik memerlukan keahlian khusus untuk membuatnya. Paulus, Akwila,
dan Priskila adalah orang-orang yang ahli dalam membuat tenda. Tidak dijelaskan
dalam Alkitab tenda yang dibuat Paulus, Akwila, dan Priskila, apakah mereka
membuatnya dari bahan kulit binatang atau bahan dari kain.
Untuk apa Paulus berbisnis tenda?
Siapa Paulus sebenarnya? Menurut A. Brunot
SCJ, dalam bukunya yang berjudul, “Paulus dan Pesannya” mengemukakan,
Paulus seorang anak kota... dilahirkan di
Tarsus, ibukota Silisia..., kota yang besar dan bersemarak..., dia fasih
berbicara dalam bahasa Yunani: ‘Aku seorang Yahudi, warga kota Tarsus di
Silisia, kota bukan sembarang kota...(Kis.26, 39), Tarsus memiliki pemandangan
yang indah..., kota ini bangga karena menjadi ibukota, kota perdagangan dan
sekaligus kota peradaban dan berfungsi sebagai tempat pertemuan Timur dan Barat.
Tarsus termasyur sebagai pusat pengajaran.[17]
Di tempat di mana Paulus
dilahirkan, tampak jelas bahwa lingkungan di mana dia lahir dan dibesarkan
telah turut membentuk gaya hidup Paulus. Lingkungan keluarga Yahudi bercampur
dengan lingkungan kehidupan kota juga turut membentuk kepribadiannya. Berkenaan
dengan kepribadian Paulus, Brunot lebih lanjut mengemukakan,
Perkembangan
kepribadiannya banyak dicapai berkat latar belakang yang semarak ini, dengan
percampuran suku-suku bangsa, agama-agama, dan kelas-kelas sosial. Ia sendiri
menjadi seorang pengembara yang tak kenal lelah..., Ia bertingkah laku penuh
keyakinan seperti biasanya dimiliki anak-anak kota. Bakat-bakatnya dalam
berorganisasi dan kecintaannya pada pergumulan, bersamaan dengan nada senda gurau
dan sindiran yang cerdik..., Ia tidak pernah sayang akan dirinya.[18]
Paulus bertumbuh menjadi
seorang yang tangguh, cerdas, dan hidup dalam lingkungan metropolitan, yang
menuntutnya untuk hidup disiplin, dan dinamis mengikuti perubahan. Pendidikan
Paulus yang ditempuh di Tarsus ditingkatkan lagi dalam jenjang yang lebih
tinggi dengan menempuh pendidikan di Yerusalem. “Paulus dikirim dari Tarsus ke
pusat dunia Yahudi, yakni Yerusalem. Di Yerusalem ia menjadi murid Rabi
Gamaliel, yang merupakan cucu dan pengganti Rabi Hillel yang kesohor.”[19]
Paulus mengalami kemajuan yang baik dalam studinya di Yerusalem, ia sendiri
menuliskan sebagai murid yang sangat berhasil (Gal.1:14).[20]
Secara pengalaman belajar ada tiga pengaruh utama pada Paulus, yaitu agama
Yahudi, filsafat Yunani, dan agama-agama rahasia yang lainnya.[21]
Setelah mengalami perjumpaan dengan Yesus, ia tetap menjadi
seorang yang gigih dengan segala kecerdasan yang dimilikinya. “Paulus seorang
ahli taurat yang bertobat; dia murid dari rabi Gamaliel, tetapi lebih-lebih dia
seorang nabi. Pengalamannya, karyanya serta kegiatan-kegiatannya dan sifatnya
yang jujur dan bersemangat memiliki banyak kesamaan dengan para nabi besar
lainnya dalam sejarah kitab Suci.”[22] Suatu
penggambaran tentang semangat hidup dan pelayanan Paulus yang sangat pantas.
Selanjutnya Paulus menjadi seorang yang luar biasa dalam
pelayanan Injil. Banyak perkara dan risiko pelayanan Paulus hadapi dengan gagah
berani.
Karena imannya cukup kuat menggerakkan
gunung-gunung, tiada sesuatu dapat menghentikannya; deraan tidak membuatnya
jera. Meskipun dihukum dengan pukulan keji, meskipun dia dirajam, dia tidak mundur. Bahaya maut, di laut, di
padang gurun, bahaya dari bangsanya sendiri, maupun dari orang-orang bukan
Yahudi, tidak membuatnya patah semangat. Kelaparan, haus, kedinginan, dan
bahaya kapal tenggelam semakin menguji dia untuk lebih siap menderita sengsara
(2 Kor 11).[23]
Pelayanan Injil juga membutuhkan topangan
dana. Untuk hal ini pun Paulus memiliki prinsip tersendiri bagaimana ia
mecukupi kebutuhan kehidupan jasmaninya. Berkenaan dengan hal ini, Paulus
menjelaskan bagaimana ia memenuhi kebutuhan jasmaninya. Dalam tulisannya di I
Korintus 9:11-15, ia menegaskan tentang sikapnya dalam pelayanan pemberitaan
Injil. Paulus menyadari bahwa yang “menaburkan benih rohani, berhak menuai
hasil duniawi.” Namun demikian Paulus tidak menggunakan hak tersebut. Paulus
tidak mau hal tersebut justru akan menjadi batu sandungan dalam memberitakan
injil. Ia sendiri yang menanggung segala sesuatu untuk kehidupannya (ayat 12).
Paulus merupakan seorang pekerja keras dan
ulet dalam memenuhi kebutuhannya. Ketika Paulus pamitan di jemaat Efesus ia
menegaskan pentingnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan juga berbagi dengan
orang lain. “Kamu sendiri tahu, bahwa
dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan
kawan-kawan seperjalananku” ( Kis.20:34). Dengan pekerjaan yang dilakukannya
bukan sekedar memenuhi kebutuhan sendiri, namun juga kebutuhan rekan
sekerjanya. Dalam hal ini, apa yang dikerjakan oleh Paulus, ia mau memberi
contoh bahwa bekerja dan memberi adalah hal yang penting (Kis.20:35).
Dengan paparan tersebut di atas dengan
jelas dapat dimengerti bahwa bisnis yang dikerjakan oleh Paulus adalah untuk
menopang kebutuhan hidup jasmaninya dan sekaligus menopang aktvitas
pelayanannya. Keduanya (bisnis dan pelayanan) berjalan bersama tanpa dipertentangkan
antara satu dengan yang lainnya. Memang dalam tulisan surat-suratnya, Paulus
tidak menonjolkan sisi bisnisnya, yang diutamakan adalah pewartaan Injil
Kristus. Paulus menuliskan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah
keuntungan” (Flp.1:21).
Konteks Pelayanan Masa Kini
Pelayanan pada masa kini juga membutuhan dana untuk
memenuhi kebutuhan pengerjanya, untuk mengembangkan pelayanan yang lebih luas,
untuk pengadaan sarana dan prasarana, dan juga untuk pelayanan sosial yang
lebih luas. Untuk membahas tentang kebutuhan dana pelayanan pada masa kini
penulis membagi dalam dua bagian. Pertama, penulis menyoroti kebutuhan keuangan
bagi pendeta dan penginjil. Kedua menyoroti tentang kebutuhan keuangan dalam
lembaga gereja.
Pendeta, penginjil,
dan kebutuhan hidup jasmaninya
Pendeta dan penginjil pada dasarnya adalah pekerja, yang
pada umumnya lebih disebut sebagai pekerja rohani. Sebagai pekerja rohani bukan
berarti mereka tidak memerlukan kebutuhan jasmani. Kebutuhan jasmani tetap
merupakan hal penting yang perlu diperhatikan. Mencermati tentang “gaji”[24]
untuk pendeta dan penginjil, penulis mencoba untuk browsing di internet untuk mendapatkan gambaran berapa kisaran gaji
yang diterima oleh pendeta dan penginjil. Namun sayang penulis tidak menemukan
hasilnya. Sepertinya kurang ada (atau tidak ada?) transparansi berapa besar
gaji pendeta dan penginjil yang dibukakan untuk diketahui secara umum.
Dalam kenyataan setiap organisasi gereja memiliki standar
penggajian yang berbeda-beda. Ada lembaga gereja yang “kaya” ada lembaga gereja
yang “miskin.” Bentuk pemerintahan lembaga gereja juga mempengaruhi besar
kecilnya gaji pendeta dan penginjil. Demikian juga, lembaga gereja kota dan
lembaga gereja yang di desa juga berbeda dalam penggajian kepada pendetanya.
Pada umumnya pendeta dan penginjil yang menjadi pelaku bisnis karena memang
rendahnya “gaji” yang diterima dari jemaat. Terutama yang di desa-desa, atau
jemaat otonom yang msih kecil. Menurut pengamatan penulis di Kalimantan Barat,
gaji pendeta dan penginjil berkisar antara Rp 250.000,00 sampai Rp
5.000.000,00. Sebagian besar justru dibawah Rp 3.000.000,00. Dalam kondisi
seperti itu tentu sangat sulit untuk mencukupi kebutuhan keluarga, terlebih
untuk biaya pendidikan anak kejenjang pendidikan tinggi. Maka wajarlah bila
pendeta dan penginjil melakukan bisnis.
Bagaimana sikap lembaga-lembaga gereja berkenaan dengan
bisnis bagi para pendeta dan penginjil? Menurut Daniel Ronda, beberapa aliran
gereja mempunyai sikap,
Aliran
gereja injili terbagi dua yaitu ada yang mengizinkan hamba Tuhan penuh waktu
untuk berbinis dan ada yang tidak. Berbisnis bukanlah masalah di kalangan hamba
tuhan penuh waktu asalkan pelayanan tetap diutamakan, seperti gereja injili yang terletak dipelosok-pelosok
yang jemaatnya berpenghasilan sedikit..., tergantung sinode masing-masing... Aliran
gereja Kharismatik tidak memiliki batasan yang tegas... Hamba Tuhan boleh
berbisnis asalkan mereka menggunakan itu untuk kemuliaan Tuhan karena bisnis
itu milik Tuhan serta dapat digunakan untuk membantu jemaat yang
berkekurangan... Tetapi tidak semua gereja Kharismatik mengijinkan hamba Tuhan
untuk berbisnis semua itu tergantung dari sinode masing-masing... Aliran gereja
protestan seperti Gereja Toraja, HKBP, GPIB tidak mengijinkan hamba Tuhan penuh
waktu untuk berbisnis karena bentuk administrasinya berasal dari pusat sehingga
gajinya dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan harus fokus untuk
pelayanan saja.[25]
Jadi inti dari boleh
tidaknya berbisnis dalam lingkungan pendeta atau penginjil adalah cukup
tidaknya gaji yang diterima dari lembaga gereja di mana mereka melayani. Adalah
suatu kenyataan bahwa dalam pelayanan gerejawi, para pendeta dan pengijil
memerlukan kebutuhan keuangan yang layak untuk kehidupan jasmaninya. Bukan
hanya itu saja tetapi juga untuk mengembangkan pelayanan yang ada.
Lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan pribadi pendeta
atau penginjil dan keluarganya, dalam konteks pelayanan pedesaan kadang mereka
dituntut juga untuk memberdayakan ekonomi jemaat. Tidak jarang dalam pelayanan
pedesaan pendeta dan penginjil tidak hanya membina kerohanian jemaat, tetapi
juga dintuntut untuk membina ekonomi jemaat. Kesanggupan untuk berperan ganda
dalam pelayanan (pembinaan rohani dan pemberdayaan ekonomi) menuntut pendeta
dan penginjil untuk memilki kemampuan berkarya yang berkaitan dengan
pembangunan ekonomi. Alangkah baiknya bila kecakapan melakukan usaha juga
dimiliki oleh pendeta dan penginjil. Misalnya kemampuan untuk bertani,
berternak ayam atau babi, dan itu juga diberdayakan kepada jemaat yang
dilayaninya.
Kebutuhan Keuangan
untuk lembaga gereja
Lembaga gereja yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
memandang umat Tuhan dalam kelembagaan yang terorganisasi dengan seperangkat kepengurusan; mempunyai visi dan
misi yang akan dicapai; perlu sumber daya; perlu penatalayanan yang baik. Yang
jelas bahwa suatu lembaga pasti memerlukan keuangan untuk biaya operasional
kelembagaan. Dana lembaga gereja biasanya didapat dari berbagai jenis
persembahan jemaat. Tidak jarang bahwa uang persembahan dari jemaat tidak cukup
untuk membiayai luasnya pelayanan, dan juga pembangunan secara fisik. Oleh
sebab itu lembaga gereja perlu uang untuk menopang pelayanannya secara luas.
Beberapa
dasa warsa yang lalu, banyak organisasi gereja mengabaikan pembicaraan tentang
masalah keuangan. Alasan yang mendasari kekeliruan ini ialah pendapat bahwa
“uang adalah akar kejahatan” dan kaum rohaniawan tidak pantas terlibat di
dalamnya. Kedengarannya sikap tersebut sangat rohani, tetapi tidak alkitabiah.
Ayat yang sebenarnya mengatakan: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta
uang” (I Tim,6:10). Jelas akar segala kejahatan adalah cinta akan uang; suatu sikap terhadap uang dan bukan uang sebagai
benda. Dukungan keuangan perlu untuk kelangsungan pekerjaan Tuhan di dunia ini.[26]
Lembaga gereja tetap
membutuhkan uang untuk aktivitas pelayanannya di dunia ini. Tidak jarang gereja
sebagai lembaga perlu membangun gedung gereja (tempat ibadah) meminta bantuan
ke sana sini dengan proposal. Bahkan kegiatan-kegiatan acara gerejawi pun
kadang meminta bantuan pada suatu perusahaan yang bergerak di bidang bisnis.
Kenyataan bahwa lembaga gereja memerlukan keuangan, dan keperluan tersebut
tidak dapat dicukupi dengan persembahan
dari jemaat.
Paulus memang memberikan gambaran bahwa dia adalah seorang pebisnis tenda.
Namun tugas utamanya sebagai penginjil dan pelayan jemaat tidak pernah
ditelantarkan. Demikian pula hasil bisnis tendanya, semuanya diperuntukan bagi
dana penginjilan. Keuntungan bisnisnya bukan untuk membangun rumah pribadi yang megah, bukan untuk membeli mobil,
bukan untuk adu gengsi dan bukan pula untuk kantong pribadinya. Sangat jelas, bahwa keuntungan bisnis Paulus masuk ke dalam kas jemaat sehingga pelayanan semakin mantap. Jadi, pendeta dipersilakan berbisnis, namun hasilnya
dicatat dalam kas jemaat dan diperuntukan bagi pelayanan gereja. Dalam kerangka
ini kita bisa menerima bahwa lembaga gereja/jemaat boleh berbisnis (jasa, rumah
sakit, perkebunan, dll), karena keuntungannya masuk kas gereja dan sepenuhnya
bagi pelayanan. Yang perlu dicatat adalah nilai
keadilan dan kasih harus menjadi pertimbangan gereja dalam berbisnis. Mau tidak
mau, keadilan dan kasih seorang pendeta atau lembaga gereja harus berdampak
bagi jemaat dan keluarganya.[27]
Kutipan di atas merupakan tulisan dalam ranah GKE
dalam minyikapi tentang boleh tidaknya pendeta berbisnis. Pada prinsipnya
lembaga gereja pun dapat saja menjalankan pratik bisnis sepanjang itu dilakukan
untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan jemaat.
Penulis
mempunyai pengalaman kecil dalam pelayanan jemaat. Gereja sebagai lembaga di
mana penulis melayani mempunyai sebidang tanah yang cukup luas untuk dikelola.
Bersama jemaat penulis menggarap tanah milik gereja dengan bergotong-royong
ditanami kelapa sawit. Saat ini kebun sawit milik gereja telah menghasilkan,
dan uang yang didapat digunakan untuk mendukung pelayanan gereja. Menurut
penulis, tidak salah bila jemaat (terutama di pedesaan) diperdayakan untuk
menggali keuangan untuk keperluan pelayanan gerejawi. Bisa saja berupa pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, bahkan barang produksi seperti percetakan
dan lainya.
Sangat
menarik apa yang digagas oleh pemikiran Ruth F. Selan tentang bagaimana
menggali keuangan gereja secara praktis, cara-cara menggali keuangan gereja
antara lain,
Berladang atau berkebun. Cara ini sangat berhasil
untuk jemaat pedesaan. Setiap jemaat diminta untuk bertani di kebun gereja...
Peternakan. Gereja memberikan modal kepada para anggota jemaat untuk membeli
jenis hewan tertentu untuk dikembangbiakkan...[28]
Contoh praktis tersebut cocok untuk konteks pelayanan
pedesaan. Untuk pelayanan perkotaan bila jemaat perlu diberdayakan secara
ekonomi (biasanya daerah pinggiran kota dapat
dikembangkan berbagai jenis ketrampilan. Misalnya: bordir, sablon, atau jenis home industri yang lainnya. Menurut
penulis, gereja harus dapat melihat secara jelas bagaimana kehidupan ekonomi
jemaat. Bila jemaat perlu ditopang dalam masalah ekonomi (pemenuhan kebutuhan
jasmaninya) pembinaan rohani jemaat sebaiknya juga dibarengi dengan pemberdayaan
ekonomi jemaat. Gereja perlu menyelenggarakan pelatihan-pelatihan ketrampilan
untuk enggota gereja. Untuk pelayanan perkotaan, bursa lowongan kerja kalau
perlu ditempel dalam papan pengumuman, atau dimuat dalam warta jemaat.
Dalam
kaitannya anatara bisnis dan pelayanan, Lushak Andrews M. Butarbutar, dalam
artikelnya yang berjudul, “Berbisnis Itu Untuk Membangun Kerajaan Allah”
mengemukakan,
Karena itu, kita perlu memahami teologi
kerja, bisnis dan panggilan. Panggilan untuk menjadi pengusaha merupakan
panggilan mulia. Gaya hidup produktif merupakan panggilan sejati dan mulia bagi
umat Kristen. Kita menolak pemikiran yang tidak Injili bahwa pelayanan dan
bisnis merupakan kegiatan yang berbeda, yaitu bahwa hidup kita dibagi dalam dunia
sakral dan dunia sekuler. Semua pekerjaan yang tidak bertentangan dengan Hukum
Tuhan harus dianggap berguna dan layak. Perbedaan-perbedaan antara “yang
sekuler” dan “suci” dalam Perjanjian Lama sudah diselesaikan oleh Kristus
(“Semua hal adalah suci…), dan orang percaya harus memandang pekerjaan
“sekuler” mereka sebagai pelayanan Kristen penuh waktu, sehingga setiap
pengusaha Kristen harus memiliki integritas dan komitmen pribadi untuk menjadi
teladan bagi orang lain. Tanggung-jawab utama dalam seluruh kehidupan pengusaha
Kristen adalah untuk memuliakan Allah. Ini berarti seorang pengusaha Kristen
harus hidup suci dan taat kepada Firman Allah.[29]
Pendeta,
pengnjil, dan lembaga gereja yang terjun ke dalam dunia bisnis harus tetap
menjalankan usaha tersebut sebagai “hamba” yang mengadi pada Tuhannya. Bukan
membenturkan satu dengan yang lain, tetapi justru keduanya menjadi suatu ibadah
yang berkenan bagi Tuhan. Bila segala sesuatu yang dilakukan gereja dengan
segala perangkat di dalamnya adalah dalam koridor Tuhan dan firmanNya, semuanya
untuk kemuliaan Tuhan, maka yang bendawi pun dikuduskan bagi Tuhan. Bekerja
menghasilkan uang harus dilakukan untuk kemuliaan Tuhan.
Kesimpulan
Dalam pelayanan gerejawi perlu juga ditopang dengan
keuangan yang cukup. Bagaimana kebutuhan keuangan bagi pendeta, penginjil, dan
lembaga gereja itu dapat terpenuhi perlu adanya suatu tindakan untuk menggali
keuangan. Salah satu usaha untuk mendapatkan uang adalah dengan menjadi pelaku
bisnis. Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, pada dasarnya Alkitab tidak melarang pendeta,
penginjil, dan lembaga gereja melakukan bisnis, walaupun demikian Alkitab tidak
mengajarkan bagaimana seseorang menjadi pelaku bisnis. Namun demikian bagaimana
keuangan untuk menopang dana pelayanan dapat terpenuhi ada tokoh-tokoh Alkitab
yang menjadi pelaku bisnis.
Kedua, bisnis dilakukan untuk menopang jalannya pelayanan
gerejawi. Oleh sebab itu bisnis harus dilakukan di dalam Tuhan, dan untuk
kemuliaan Tuhan.
Harapan penulis materi ini bukan untuk diperdebatkan
untuk mempertentangkan antara pelayanan dan bisnis, tetapi justru keduanya
dapat berjalan seiring untuk membangun Kerajaan Allah di bumi ini. Para pelayan
Tuhan yang terjun dalam bisnis hendaknya harus waspada supaya tidak terjebak
menjadi pelayan bisnis.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
-------,
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1987
--------,
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2007
Barker,
Kenneth, The NIV Study Bible New International Version. Grand Rapids:
Zodervan
Publishing House, 1985.
Brunot
, A. SCJ, Paulus dan Pesannya. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1992.
Butarbutar,
Lushak Andrews M., Berbisnis Itu Untuk Membangun Kerajaan Allah.
http://www. suarakristen.com, diakses 19 Mart 2017
Darmaputera,
Eka, Etika
Sederhana Untuk Semua Bisnis, Ekonomi, dan Penatalayanan.
Jakarta: PT BPL Gunung Mulia, 2002
Drane,
John, Memahami Perjanjian Baru Pengantar
Historis-Teologis. Jakarta: PT BPK
Gunung
Mulia, 1998.
Green,
Jay P., Sr.,The Interlinear Greek-English New Testament. Peabody: Hendrickson
Publishers, 1993.
Kitchen
, K.A., Kemah, Tenda, dalam Ensilopedi
alkitab Masa Kini Jilid 1. terjemahan
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, 1992.
Maden, Kinurung
Maleh, Pertimbangan Etis Perspetif Etika Ekonomi: Pendeta dan Bisnis
Ronda,
Daniel, Pandangan Alkitab Tentang Praktik Bisnis di Kalangan Hamba Tuhan
Penuh
Waktu, pdf, http://ojs.sttjaffray.ac.id,
diakses tanggal 19 Maret 2017.
Selan,
Ruth F., Menggali Keuangan Gereja. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999.
Vine,
W.E., An Expository Dictionary Of New Testament Words. Old Tappan: Fleming
H.
Revell Company, 1966.
-------,
Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Gereja Persekutuan Pemberitaan Injil Kristus,
th. 2008
--------,
Definisi Bisnis,
https://thepradjna.wordpress.com, diakses tgl 24 Maret 2017
[1]-------, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007)
[2]-------, Kamus Besar....
[3] -------Definisi Bisnis, https://thepradjna.wordpress.com,
diakses tgl 24 Maret 2017
[4] John Drane, Memahami Perjanjian Baru Pengantar
Historis-Teologis, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1998), 305.
[6] Bersifat duniawi atau
kebendaan (-------, Kamus Besar....).
[7] Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua Bisnis, Ekonomi,
dan Penatalayanan, (Jakarta: PT BPL Gunung Mulia, 2002), 1.
[8] Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk....., 19
[9]Istilah gereja dapat
dipahami dalam dua sisi: pertama gereja sebagai organisme, yaitu kumpulan orang
kudus (jemaat); kedua gereja sebagai suatu lembaga organisasi.
[10] Penulis menyebut langsung
pendeta dan penginjil karena kedua pemangku jabatan ini yang sering
dipersoalkan berkenaan dengan bisnis.
Untuk kedua jabatan tersebut penulis tidak menggunakan istilah “hamba Tuhan” karena
menurut penulis “hamba Tuhan” tidak terbatas pada pendeta dan penginjil. Hamba
Tuhan menurut penulis adalah semua orang yang hidupnya menghambakan diri pada
Tuhan. Selama ini sebutan “hamba Tuhan”
hanya milik para pendeta dan penginjil.
[11] Jay P. Green, Sr.,The Interlinear Greek-English New Testament,
(Peabody: Hendrickson Publishers, 1993), 378
[12] W.E. Vine, An Expository Dictionary Of New Testament
Words, (Old Tappan: Fleming H. Revell Company, 1966), 147
[13] W.E. Vine, An Expository Of New....., 76
[14] Kenneth Barker, The NIV Study Bible New International
Version, (Grand Rapids: Zodervan Publishing House, 1985), 1681.
[15] John Drane, Memahami Perjanjian Baru..., 290
[16] K.A. Kitchen, Kemah,
Tenda, dalam Ensilopedi alkitab Masa
Kini Jilid 1, terjemahan (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1992),
542.
[17] A. Brunot SCJ, Paulus dan Pesannya, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1992), 10-11
[18] Brunot SCJ, Paulus dan....., 12
[19] John Drane, Memahami Perjanjian Baru..., 290
[20] John Drane, Memahami Perjanjian Baru,...290
[22] Brunot SCJ, Paulus dan Pesannya..., 33.
[24] Ada yang tidak menggunakan
istilah gaji untuk membayar pendeta dan penginjil dalam pelayanannya. Gereja
PPIK misalnya, menggunakan istilah honor untuk “gaji” gembala jemaat. Menurut
buku Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah
Tangga Gereja Persekutuan Pemberitaan Injil Kristus, th. 2008, hal.33.
[25] Daniel Ronda, Pandangan Alkitab Tentang Praktik Bisnis di
Kalangan Hamba Tuhan Penuh Waktu, pdf, http://ojs.sttjaffray.ac.id,
diakses tanggal 19 Maret 2017.
[26] Ruth F. Selan, Menggali Keuangan Gereja, (Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 1999), 10.
[27] Kinurung Maleh Maden, Pertimbangan Etis Perspetif Etika Ekonomi: Pendeta dan Bisnis (Uang) Dalam Ranah GKE, http://sttgke.tripod.com,
diakses, 19/Maret/2017
[28] Ruth F. Selan, Menggali Keuangan..., 40-41
[29]Lushak Andrews M. Butarbutar, Berbisnis
Itu Untuk Membangun Kerajaan Allah, http://www. suarakristen.com,
diakses 19 Mart 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar