TEOLOGI FEMINISME RADIKAL:
Tanggapan Kritis Terhadap Konsep Tentang Allah Dalam Prinsip Hermeneutika
Oleh: Becky, M.Div., M.Pd.
Abstrak
Pengalaman pribadi dan sekelompok orang pada masa kini seringkali dijadikan doktrin atau dasar pengajaran iman Kristen, tanpa memahami dengan baik dan benar maksud dan arti Firman Allah yang terdapat dalam Alkitab. Otoritas kebenaran dalam Alkitab diragukan bahkan dipersalahkan, karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi dan pengalaman masa kini, Alkitab tidak lagi sebagai standar kebenaran tentang penyataan Allah tetapi hanya sebagai pendukung pengalaman pribadi.
Keprihatinan tentang beberapa pokok masalah yang telah dipaparkan tersebut membuat penulis tertarik memaparkan tentang Teologi Feminisme Radikal yang menyatakan bahwa Alkitab salah dalam menggunakan metaphora Allah sebagai laki –laki atau maskulin karena dengan demikian Alkitab hanya mendukung kaum laki –laki dan meremehkan hak kaum perempuan.
Kata Kunci: Feminisme, Allah, Kritik dan Hermeneutika.
A. Latar Belakang Munculnya Teologi Feminisme
Istilah Feminisme berasal dari bahasa Latin “femina” yang berarti wanita. Perjuangan gerakan Feminisme pada mulanya hanya untuk mendapatkan kesejajaran hak dan kesetaraan kedudukan perempuan dengan laki-laki di dalam masyarakat serta mengupayakan keadilan bagi kaum perempuan. Namun kemudian gerakan ini beruaha membangun suatu bentuk teologi baru yang bernuansa feminis dan berusaha membangun sistem masyarakat matriakal bagi sekelompok orang. Teologi feminis muncul pada awal 1960-an, diakibatkan oleh keputusasaan kaum perempuan yang tidak mengakui jawaban teolog yang diakui secara resmi sebagai yang sesuai untuk pertanyaan dan masalah yang khusus (Anne Hommes, 1992: 59).
Namun kaum Feminisme mulai menampakkan spritualitas diri dengan tema-tema khusus sejak pada tahun delapan puluhan. Tema-tema yang dimunculkan tersebut adalah Monisme/New Movement: ( All is one), Pantheisme: (All is God), Selfisme (Self is God), Humanitas Baru yaitu bahwa segala sesuatu menuju kepada perjuangan yang baru, yang mengarah kepada humanitas baru yang sempurna, serta Unisex laki-laki dan perempuan menjadi satu bentuk yang netral atau no sex (Agung Wibisana Surya, 2002:98-99).
Isu Feminisme dipelopori oleh beberapa teolog wanita dan mahasiswi seminari, mereka mengembangkan satu jurusan teologi baru yang disebut teologi feminis. Teologi feminis ini di pengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang mewabah keseluruh dunia, khusus bagi masyarakat Amerika Utara. Akar dari aliran feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20, yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hal pilih kaum wanita yang diakui dan dilegalitaskan di Amerika dalam undang-undang. Lalu mulai ada beberapa penulis wanita merasa terbeban dalam mengembangkan dan memperluas pengaruh Feminisme ini ke dalam suatu karya tulis buku.
Teologi Feminisme dibagi menjadi beberapa golongan menurut jenisnya, yaitu kaum Feminis Pembaharuan, kaum Feminis Emansipasi, Kaum Feminis radikal. Tokoh-tokoh utama dalam gerakan teologi feminis ini di antaranya adalah: Elizabeth Schssler Fiorenza dengan karyanya In Memory of Her: A Feminist Reconstruction of Christian Origins (1983), Mary Daly dengan karyanya The Church and the Second Sex (1968) dan Beyond God the Father (1973), Letty M. Russell dengan karyanya Human Liberation in a Feminist Perspective-A Theology dan Feminist Interpretation of the Bible (1985), Rosemary Radford Ruether dengan karyanya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, Women-Church: Theology and Practice (1985), dan Virginia Ramey Mollenkott dengan karyanya The Divine Feminine: The Biblical Imagery of God as Female (Agung Wibisana Surya, 98-99).
Teologi feminisme adalah gerakan teologi yang bersama-sama melakukan perubahan kearah yang lebih baik dalam hal keadilan sosial bagi perempuan, suatu teologi yang lahir sebagai reaksi protes terhadap dominasi dan penindasan terhadap kaum wanita.
B. Prinsip-Prinsip Hermeneutik Teologi Feminisme Radikal
Para teolog Feminisme telah menetapkan suatu aturan dalam penafsiran, yaitu “crux interpretum”, yang berarti menolak atau tidak menerima segala bentuk penafsiran Alkitab yang tidak mendukung kebebasan kaum perempuan. Alkitab bukan otoritas tertinggi karena Alkitab mendukung sistem patriarkhi. Tiga langkah pendekatan yang dikembangkan oleh kaum Feminisme dalam berteologi:
Pertama, kritik yang dimulai dengan peristiwa masa lampau: suatu penyembuhan dari ingatan bahaya penindasan yang dialami oleh kaum wanita pada masa lampau yang dilakukan oleh kaum laki-laki “ patriarchal”, tradisi gereja dan budaya.
Kedua, mencari alasan, istilah dan alternatif lain untuk mendukung gerakan mereka, yang disesuaikan dengan keinginan mereka, bisa diambil dari Alkitab dan di luar Alkitab.
Ketiga, mengembangkan metode teologi untuk merevisi doktrin yang tidak sesuai dengan lingkup dunia wanita. Teologi sebagai refleksi dari suatu tindakan atau pengalaman yang diterima kaum wanita yang tertindas oleh kaum laki-laki. Semua pendekatan teologi feminisme harus didasarkan pada pengalaman ‘Praxis’ wanita bukan bersumber pada gereja, Alkitab atau tradisi gereja.
Dalam menafsir Alkitab kaum feminisme menggunakan metodologi yang disebut critical reflection sebagaimana yang dikemukakan oleh Russel, salah seorang dari Teolog Feminisme yang dikutip dalam tulisan Agung Wibisana, mendasari metodologinya dengan presaposisi sifat dinamis dari penafsiran pewahyuan. Suatu teologi menurutnya harus dimulai dengan pengalaman wanita, dan mengusulkan agar teolog Feminis menggunakan logos (mind) dalam perspektif Allah (Theos). Ia menyebut metodenya sebagai “logy-theo”, dimulai logos-mind milik wanita yang dialami secara individu lalu dengan pengalaman itu melihat dan menafsir “revelation” atau “Allah” . teologi feminism menurut Russel tidak mendukung otoritas yang mendukung Sistem patriakh, jika Alkitab sendiri mendukung ini maka secara tegas kaum feminisme menolaknya (Agung Wibisana Surya, 2002:22).
Kaum feminisme Radikal memakai metode Hermeneutik orthopraxis yang artinya teologi bukan hanya dipahami secara dogmatis atau secara teori pengajaran, tetapi ajaran mereka harus diwujudkan, dilakukan dipraktekkan secara nyata.
C. Pandangan Teologi Feminisme Radikal Tentang Allah
Manusia tidak dapat berbicara tentang Allah tanpa memakai alat metafora. Tujuan dari metafora adalah untuk membandingkan Allah yang Maha tinggi, yang transenden, agar Allah menjadi nyata dengan sifat manusia tetap tinggal ditengah-tengah manusia. Metafora menjembatani Allah yang transenden dengan alam manusiawi, Metafora tersebut juga terdapat di dalam penulisan Alkitab. Kitab PL, ditulis dalam konteks zaman dan budaya Patriakhat dimana menggambarkan bahwa yang berkuasa adalah kaum pria. Ini berarti baik disekitar publik maupun disekitar domistik pria sebagai patriakh yang berkuasa, suasana tersebut mewarnai metafora-metafora yang dipakai bagi Allah. Misalnya tentang “Allah Bapa”.
Pada gereja mula-mula metafora-metafora yang dipakai untuk Allah tidak dipermasalahkan, tetapi sekitar tahun 1970-an metafora dipakai untuk Allah dipertanyakan oleh kaum feminisme. Beberapa pertanyaan yang mereka ajukan adalah: apakah metafora “Allah Bapa” masih relevan baik bagi kaum pria maupun bagi kaum wanita? Apakah ibu pantas menjadi simbul tentang Allah? Dan apakah hanya salah satu dari pihak orang tua dipakai sebagai metafora? (Anne Hommes, 1992: 2).
Kaum Feminisme Radikal mengeritik metafora patriakh yang mengambil gambaran tentang Allah dengan menggali gambaran Allah yang sudah ada dalam Alkitab, dengan menafsir kembali nast-nast tertentu. Gambaran Allah dalam Taurat bercorak maskulin, sedangkan gambar Allah dalam Kitab Deutero Yesaya bercorak feminim. (Anne Hommes, 1992: 2).
Menurut teolog feminisme radikal, simbol linguistik ini perlu diganti dan direvisi untuk membawa simbol itu kedalam bahasa inklusif kesederajatan antara wanita dan pria. Kaum feminis yakin bahwa dengan perubahan simbol dan pemakaian bahasa yang inklusif akan membawa gereja semakin mendekat pada sifat dan karakter sejati Allah. teolog feminis mengganti nama Allah pada mulanya adalah untuk kepentingan liturgi baru di dalam gereja perempuan. Namun, dalam perkembangannya, mereka juga menulis ulang cerita-cerita Alkitab.
Daly seorang teolog radikal dari Feminimisme dalam bukunya Beyond God the Father: Toward a Philosophy of Women’s Liberation, menyerang kelelakian dalam sistem gereja, Allah Bapa dalam Alkitab yang memakai Gender ‘laki-laki’, tradisi Ibrani yang menomorduakan perempuan baik dalam tata upacara keagamaan maupun kehidupan sehari-hari. (Mary Daly, 1968:14 ).
Kaum Feminisme mengatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus dicurigai mempunyai unsur pilih kasih, bahkan mereka mencurigai para penulis Alkitab menyenangi dan cendrung memilih istilah Allah dalam konteks bahasa maskulin. Istilah nama Allah khusus yang berhubungan dengan Tritunggal, yang digunakan oleh Alkitab dipengaruhi oleh sistem “Patriarchal” atau “andrcocentricism” (Agung Wibisana Surya, 2002: 4-5).
Kaum Feminisme menolak Allah Bapa yang Maha Kuasa sebagai Allah yang Ilahi yang sama seperti Roh Kudus mengilhami untuk melihat dalam Iman, pengharapan dan kasih, ( Riet Bons- Storn, :3).
Kaum feminisme merevisi istilah Allah Tritunggal, dan merevisi tentang ibadah, seperti Doa Bapa Kami, diubah dengan bahasa inklusif menggunakan istilah kewanitaan menjadi:
“Our mother/Father, who is every where, Holy be your names, may your new age come, May your will be done In this and in every time and place Meet our needs each and forgive our failure to love As we forgive this same failure in others. Save us hard times, and Lead us into the ways of love, for yours is the wholenness, and the fower and the loving, forever, amen”. (Agung Wibisana Surya, 2002: 59).
Ibu/Bapa Kami, yang ada di mana saja, Kuduslah nama Kalian, datanglah zaman baru mu jadilah kehendak-Mu di sini dan setiap waktu dan tempat. Penuhi kebutuhan-kebutuhan kami setiap hari dan mengampuni kesalahan kami untuk mengasihi seperti kami juga mengampuni kesalahan sesama kami. Selamatkan kami di dalam masa kesusahan, Dan pimpin kami ke dalam jalan-jalan kasih, Karena Engkaulah yang memiliki segala-galanya, Dan kuasa, Dan kasih, Selamanya. Amin.
Teolog feminisme radikal melihat bahwa Allah tidak selalu dianggap sebagai Bapa karena Allah juga digambarkan seperti perempuan yang melahirkan (Yes. 42:14), sebagai ibu yang merawat (Yes.49:15), sebagai bidan (Mzm. 22:10), sebagai ibu yang dilupakan Israel (Bil. 11:12-13, Ayb. 38:8, 28–29, Mzm. 123:2; 131:2, Hos.13:8, Mat. 13:33; 23:37, Luk. 13:20-21; 15:20–21). Dengan beberapa kutipan ayat Alkitab tersebut, teolog feminis merasa berhak mengganti istilah Allah Bapa dengan Allah Ibu. Mereka juga bukan hanya mengusulkan penggunaan – kefeminiman dalam ke-Allah-an, melainkan juga mereka ingin menggunakan sebutan Allah yang netral. Di samping itu, metode pendekatan feminis menganggap bahasa adalah simbol manusia, yaitu bahasa dapat menggambarkan kenyataan yang berada di luar dirinya melalui gestur, lukisan, image, ritme, metafora, simile, dan mitos. Secara tradisi, dalam menyebut Allah, gereja menggunakan simbol yang semuanya berorientasi pada bahasa laki-laki (Ia, Raja, Tuan, dan Hakim). Simbol dalam tradisi gereja itu membuang keberadaan perempuan. Oleh sebab itu, menurut teolog feminis, simbol linguistik itu perlu diganti dan direvisi untuk membawa simbol itu ke dalam bahasa inklusif, yaitu kesederajatan antara perempuan dan laki-laki.
Kaum feminisme menentang teks-teks Alkitab yang terkenal “menindas” perempuan, misal 1 Tim. 2: 2:13-14 Perempuan harus tutup mulut di gereja, ayat-ayat ini menyatakan ketidakadilan dan ketidak seimbangan terhadap peranan wanita yang harus menempatkan diri tunduk di bawah laki-laki. Mereka mencurigai bahwa Paulus adalah seorang yang sangat dipengaruhi oleh sistem peranan Patriarkal, sehingga kepentingan laki-laki lebih menonjol. Sebaliknya mengambil bagian dari ayat-ayat Alkitab yang mendukung kaum perempuan misalnya Markus 14:3-9. Menurut para teolog Feminisme ayat –ayat ini memberikan pencerahan, karena ayat ini membuka kesadaran akan betapa berharganya perempuan yang sudah dibuang. Feminisme menitik beratkan hanya pada peristiwa seorang wanita yang mengurapi Yesus.
Dasar teologi yang terdalam dari feminism radikal adalah keyakinan bahwa kaum perempuan sebagaimana juga laki-laki dipanggil oleh yang Ilahi, disentuh oleh Roh Kudus untuk memperdayakan pengetahuan tentang yang Ilahi dan hubungan-Nya dengan dunia ini, agar supaya dapat mengetahui tentang tujuan, arti, sasaran utama dapat menjadi diri manusia dalam waktu sejarah yang khusus dalam sebuah konteks geografis budaya, sosial, politik dan pribadi yang khusus.
D. Tanggapan Kritis Teradap Konsep Teologi Feminisme Tentang Allah
Menanggapi teologi feminisme Radikal, maka harus berani berapologetika dengan menguraikan tentang fakta-fakta dan kebenaran pemakaian istilah Allah Tritunggal. Harus kembali kepada prinsip-prinsip Alkitabiah yang benar, yang harus dijadikan pedoman untuk penafsiran istilah Allah. Beberapa prinsip penting tentang kebenaran akan Allah, dalam menanggapi pemahaman teologi Feminisme Radikal yaitu:
1. Allah hanya dapat dikenal melalui dua macam pewahyuan yakni wahyu umum (general revelation) dan wahyu khusus (special revelation). Melalui wahyu umum, Allah dapat dikenal secara umum oleh semua manusia tanpa terkecuali, tanpa perlu melihat penyataan Allah dalam Alkitab. Wahyu umum ini tidak dapat menebus dosa, yang menyelamatkan manusia adalah wahyu khusus yang terdapat dalam diri Yesus Kristus dan Alkitab. Pendekatan dan penghayatannya dapat saja dimulai melalui sudut pandang seluruh aspek kehidupan manusia, seperti sosial. Historis, psikologi dan yang lainnya.
2. Pengenalan manusia akan Allah tetap terbatas ( John M. Frame, 1999:32).Yaitu sejauh Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia atau persekutuan umat pilihan-Nya. Sejauh mana Allah membuka Diri-Nya, sejauh itu pula manusia dan orang percaya dapat mengenal Diri Allah, pikiran Allah adalah kekal, dan tidak diciptakan karena dia bukan ciptaan.; pikiran manusia diciptakan dan dibatasi oleh ruang dan waktu. Pikiran Allah sangat pasti dan terencana terhadap segala sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang, sedangkan pikiran manusia tidak dapat memahaminya, pikiran Allah absah pada diri-Nya sendiri, hanya melayani kriteria kebenaran-Nya sendiri. Pikiran Allah selalu membawa kemuliaan dan pemujaan kepada diri-Nya karena Allah selalu menjadi berkat untuk diri-Nya sendiri. Pikiran Allah adalah pikiran orisinil sedangkan pikiran manusia yang terbaik selalu merupakan salinan dari pikiran Allah. Allah tidak memerlukan sesuatu yang ‘dibukakan (diwahyukan) pada diri-Nya, pengetahuan-Nya berasal dari inisiatif diri-Nya sendiri tidak dipengaruhi oleh sesuatu di luar diri-Nya sendiri dan Allah tidak memilih untuk memberikan semua kebenaran-Nya kepada manusia, manusia tidak mengerti masa depannya bahkan pengetahuan yang melebihi Alkitab.
3. Percaya bahwa Alkitab adalah wahyu Allah dan mempunyai otoritas tertinggi dari segala sumber pengetahuan tentang Allah, hanya di dalam Alkitab satu-satunya sumber pengetahuan tentang Allah yang sejati. Alkitab sudah sempurna dan mencukupi kebutuhan manusia untuk mengenal Allah tidak memerlukan penambahan dan pengurangan., pereduksian atau perevisian. Kesukaran dalam memahami Alkitab bukan kesalahan Alkitab, tetapi biarkanlah kesukaran itu dijawab oleh Alkitab sendiri atau biarkanlah Alkitab menafsirkan Alkitab itu sendiri.
4. Menyelidiki diri Allah harus dilakukan dengan kesungguhan hati, ketaatan, takut dan gentar serta dengan hati, penuh penyembahan dan ucapan syukur agar jangan menyebut nama Allah dengan sembarangan. Harus disadari bahwa yang diteliti bukan ‘objek’ tetapi subjek yang menciptakan, yaitu Allah yang jauh melampaui segala akal dan pikiran dan pengetahuan manusia. Jalan satu-satunya mengerti dan mengenal Allah secara benar dan bertanggung jawab adalah melalui pewahyuan Allah di dalam Alkitab dimana Allah sendiri berbicara tentang siapa Diri-Nya. Teologi feminis terlalu memaksa dengan memakai satu metode hermeneutik berdasarkan pengalaman perempuan untuk mencakup seluruh kesulitan dari tradisi yang ada. Bahkan yang paling fatal, karena teolog feminis berusaha mengubah dan menstruktur ulang semua istilah yang dipusatkan pada Allah.
5. Teologi feminism radikal telah men-seksualitaskan Allah pencipta sebagai Allah ciptaan yang mempunyai gender sebagai laki-laki atau perempuan ataupun netral. Ketika kaum feminis mengubah simbol bahasa maskulin menjadi simbol bahasa feminim dalam penjelasan tentang Allah, sebenarnya mereka sedang merendahkan posisi Allah dari pencipta sebagai mahluk ciptaan. Dengan memberi nama kembali Allah menjadi “She atau He” berarti telah membatasi dan menggugat kemerdekaan Allah sebaagi pribadi yang bebas untuk menyatakan diri-Nya yang sepenuh-penuhnya bebas. Allah bebas menyatakan wujud-Nya dalam metafora yang Dia pilih, baik sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Menamakan ulang pribadi Allah dengan istilah baru yang bernapaskan warna feminin mengindikasikan secara logis atau berarti mengikis kemerdekaan ontis Pribadi Allah serta dapat membawa dampak adanya gagasan bahwa Allah adalah Pribadi yang bernatur multiseks, padahal Allah yang sesungguhnya secara simultan adalah laki-laki dan perempuan, sekaligus bukan laki-laki dan perempuan. Allah adalah Roh, misteri Allah melampaui segala gambaran. Pemakaian kata-kata ganti bergender maskulin untuk pribadi Allah Tritunggal bukan hanya masalah penggunaan bahasa kiasan fenomenal yang dapat diganti-ganti, melainkan juga hal itu mengacu pada pemikiran yang lebih mendalam secara ontologis, yaitu menerangkan karakter Pribadi Allah yang luas dan dalam artinya. Penggunaan istilah patriarkal bukan seperti yang dimengerti oleh kaum Feminis bahwa penulis Alkitab di pengaruhi oleh budaya yang menjunjung tinggi nilai manusia laki-laki, pemilihan kata-kata ini adalah benar-benar atas pemilihan Allah sendiri untuk memakai istilah yang Dia inginkan sampaikan kepada manusia tentang siapa diri-Nya dalam komunikasi secara akomodasial. Jadi kalau simbol yang diubah maka secara khusus juga menyerang hakekat terdalam dari karakter Allah. Pemaksaan kehendak kaum feminis mengubah istilah nama Allah yang berwarna kelaki-lakian ini berarti akan mengakibatkan hilangnya relasi dalam inter-personal-relationship pribadi-pribadi Allah. Karena kedudukan Bapa dan Anak, dan Roh Kudus mustahil dapat diganti dengan nama lain yang mempunyai kualitas kedalaman, kesatuan dan keharmonisan seperti yang sudah diwahyukan Allah dalam Alkitab. Hubungan ketiga pribadi Allah Tritunggal bukan hanya berarti hubungan tubuh secara kontak fisik, secara psikologis, secara sosial-ekonomis, hubungan itu lebih mengarah kepada suatu “alam-being” yang dimiliki oleh Allah. Istilah yang dipakai adalah untuk menerangkan Allah yang tidak terbatas itu kepada manusia yang sangat terbatas.
6. Kesalahan kaum feminism radikal terletak pada sistem hermeneutik yang hanya menekankan satu aspek metode panafsiran saja, yaitu pengalaman perempuan yang tertindas. Metode hermeneutik kaum Feminisme tidak memperhatikan hubungan antar teks, konteks, dan kontent. Suatu metode yang bukan exegesis melainkan eisegesis. Juga merupakan sistem hermeneutik yang menyangkal akan hubungan Allah Tritunggal, maka dengan demikian secara otomatis menyangkal keberadaan Allah yang seutuhnya dan menggantikan dengan allah palsu yang dikonseptualisasikan oleh para teolog Feminis. “Allah” para teolog Feminisme bukanlah Allah Tritunggal yang ada dalam Alkitab. Karena konsep Allah Tritunggal dari Feminisme telah diformulasikan, sehingga menyebabkan konsep tersebut menjadi kacau, sangat menyesatkan dan tidak sesuai dengan kebenaran Firman Allah, menyangkali otoritas Alkitab. Hal itu berarti bahwa teolog feminism radikal bukanlah orang percaya yang takut akan Allah.
E. Kesimpulan
Setelah membahas tentang teologi Feminisme, maka dapat disimpulkan bahwa teologi tersebut menyangkal otoritas kebenaran Alkitab dan kebenaran doktrin tentang Allah Tritunggal yang dinyatakan di dalam dan melalui Alkitab. Dengan mengganti istilah Tritunggal yang merupakan inti dari doktrin Kristen, maka akan mengakibatkan perubahan terhadap keseluruhan doktrin yang ada. Gereja dan orang percaya harus melihat pergumulan ini sebagai ancaman bagi kebenaran doktrin Kristen secara khusus doktrin tentang Allah. Gereja harus kembali kepada otoritas kebenaran penyataan Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab serta tegas menolak metode hermeneutik para teolog Feminisme yang mendasari teologinya hanya dengan pengalaman wanita atau “critical reflection” karena metode tersebut akan menyesatkan dan tidak sesuai dengan kebenaran Firman Allah.
Tidak seorangpun yang berhak mengganti nama Allah Tritunggal, yang berhak memberi nama kepada Allah adalah Allah sendiri. Teologi Feminisme telah menentang ajaran fundamental ortodoks tentang Allah Tritunggal dan otoritas Alkitab.
KEPUSTAKAAN
Berkhof, Louis, Teologi Sistematika 1, Doktrin Allah. Surabaya: Momentum (LRII), 2005.
Bons- Storn, Riet. Dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, edisi 55. Yogyakarta: Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana.
Daly , Mary. The Churh and the Second Sex. Boson: Beacon Press, 1968.
Frame, John M. Teologi Doktrin Pengetahuan Tentang Allah, Jilid 1.Objek Pengetahuan dan Justifikasi Pengetahuan. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,1999 .
Hommes, Anne. Perubahan Peran Pria dan Wanita Dalam Gereja dan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1992.
Sproul,R.C. Sifat Allah, Mencari dan Menemukan Allah. BPK Gunung Mulia, 2002.
Surya, Agung Wibisana. Arti dan Makna Keberadaan, Studi Kritis Hermeneutik Teologi Feminis Tentang Penggantian Nama Allah Tritunggal: Bolehkah Panggilan Allah Bapa Diganti Dengan Allah Ibu. Bandung: Sekolah Tinggi Teologi Bandung dan Yayasan Kalam Hidup, tt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar