BERTEOLOGI SECARA KONTEKTUAL
Oleh
Pdt. Akiong Epit, STh, M.Pd.K.
ABSTRAK
Berteologi
secara kontekstual merupakan salah satu metode berteologi yang bisa digunakan
oleh hamba-hamba Tuhan, dalam rangka mendaratkan Injil (kabar baik) kepada
masyarakat tradisional yang masih kuat memegang adat dan budaya dalam kearifan
lokal, disamping itu dengan berteologi
secara kontektual maka gereja bisa berjalan bersama-sama dan dapat melestarikan
adat dan kebudayaan yang merupakan warisan leluhur, khususnya masyarakat bangsa
Dayak. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat menjembatani perbedaan pendapat
antara masyarakat adat dan gereja.
Kata Kunci : Berteologi, Tuhan, Kontekstual
ABSTRACT
Contextual berteologi is one of the
theological methods that can be used by servants of God, in order to land the
Gospel (good news) to traditional people who still hold strong customs and
culture in local wisdom, besides that by contextual theology then the church
can walk together -sama and can preserve the customs and culture which are the
ancestral heritage, especially the Dayak people. With this writing, it is hoped
that it can bridge differences of opinion between indigenous peoples and the
church.
Keywords:
theology, God, contextual
PENDAHULUAN
Dalam
rangka keseragaman pandangan gereja menurut Alkitab terhadap adat dan
kebudayaan Dayak Kanayatn, yang selama ini banyak menuai kritikan dan pandangan
yang berbeda, sehingga terjadi banyak pergesekan antara Tokoh Agama ( toga ) dan
tokoh masyarakat ( tomas ) dan tokoh adat ( todat ) sehingga mengurangi hidup
keharmonisan, karena saling curiga mencurigai satu dengan yang lainnya.
Karena
itu masalah ini sebenarnya lebih cocok kita duduk bersama (bahaum) membahas masalah-masalah yang sekarang kita hadapi, sehingga
tidak lagi terjadi kesalah pahaman, dalam tugas kita masing-masing, dan
menghindari sikap yang saling menghakimi
satu dengan yang lainnya, apalagi itu
terjadi sesama orang Dayak.
Belum
kita berperang dengan orang lain, sesama kita sudah saling serang menyerang,
sakit menyakiti, kapan kita mau jadi kuat? Kapan kita mau maju? hanya karena
saling salah memahami, ada yang mengatakan apa yang dilakukan oleh orang Dayak itu penyembahan berhala, sedangkan bagi orang
Dayak sering mengatakan bahwa orang
Kristen itu tidak beradat, jika semua memiliki pandangan yang berbeda maka keduanya
sangat susah untuk mendapatkan titik temu.
Kapan
masalah ini bisa berakhir, semua merasa benar dan semua mau menang sendiri
sehingga menimbulkan gesekan dan bisa berakibat menghakimi satu dengan yang
lainnya, sehingga tidak heran beberapa gereja diserang dan dirusak, karena
salah pemahaman atau salah mengerti antara pengurus gereja dan pengurus adat,
yang seharusnya kedua-duanya ini yang
sebagai tokoh teladan dan pengayomi pada umat dan pada masyarakat.
Mungkin
saja kita pengurus adat tidak tahu adatnya, mengapa demikian? Seorang pengurus
adat itu selalu bertindak arif dan bijaksana, tidak anarkis dan membabi buta,
dan jika ada masyarakat yang salah/melanggar ketentuan yang berlaku maka
pengurus adat mengadakan pertemuan sesama pengurus, hal ini menghindari sesama
pengurus beda tuntutan satu dengan yang lainnya, dan hasil pertemuan
kesepakatan itu, baru disampaikan tuntutan
kepada yang bersangkutan dengan cara musyawarah, tidak serta merta menekan dan
memberikan hukuman.
Sampaikan
kesalahan, sampaikan tuntutan kepada “terdakwa”, dalam hal ini keluarga
“terdakwa”, juga bisa menyempaikan keberatan-keberatan dan alasan-alasan yang disampaikan, dan jika yang disampaikan
itu ada hal-hal yang meringankan, maka perlu menjadi pertimbangan pengurus
untuk mengurangi hukuman, tapi jika tuntutan itu sesuai pelanggaran, maka
“terdakwa”, harus memenuhi hukumannya.
Pepatah
orang dayak saya pikir baik, untuk dipahami dengan baik, bagaimana mereka
membuat hukum adat itu supaya adil dan tidak berat sebelah, maka pepatah yang
mereka buat adalah, “labih adat Jubata
bera, tapi kurang adat hantu bera” artinya; lebih adat Tuhan marah, kurang adat
hantu marah).
Jadi
hukuman itu benar-benar harus sesuai dengan pelanggaran yang berlaku, karena adat melebihi, punya resiko dan adat
kurang juga punya resiko, baik oleh penerima hukuman (orang yang benar) maupun
oleh pemangku adat.
Kenyataan
selama ini adalah menyerang sesama orang dayak, melempari rumah, merusak gereja
ataupun membakar gerja, memukul-mukul
rumah orang, tindakan ini merupakan tindakan penganiayaan bahasa dayak “Ngarumaya”. Hal ini pengurus adat juga
harus tahu, jika melakukan tindakan seperti itu
maka wajib diberikan hukuman.
Begitu
juga dengan pengurus agama yang tidak selesai dengan pemahaman agamanya atau
pemahaman teologinya, karena hanya
mengikuti belajar kursus kilat, yang mementingkan semangat penginjilan, doa dan
khotbah, tapi aspek-aspek yang ada disekitar ilmu teologi itu sangat banyak,
dan itu tidak mendapatkan perhatian serius sehingga tidak tahu turunan dan asal
usul yang dipercayai.
Karena
sama-sama tahu sedikit-sedikit maka berkelahi karena saling mempertahankan
pengetahuan yang terbatas tadi, ini sesuatu yang tidak menguntungkan bagi
kebersamaan kehidupan dalam kumunitas orang Dayak, karena orang Dayak yang
beragama dan orang Dayak yang beradat, mengapa demikian?
Karena
menurut pengamatan penulis bahwa tidak ada lagi orang Dayak yang tidak menganut
agama, apakah dia Katolik, Kristen bahkan ada yang Islam, yang membedakannya
adalah kadar keimanannya.
Apakah
dia Katolik, Katolik yang taat, atau cuma dalam kartu identitas, begitu juga
Kristen yang taat atau Kristen identitas dan tidak mungkin juga orang Dayak itu
tidak tahu adat, karena itu, adat sudah ada sejak nenek moyang, artinya keduanya itu sudah dipahami orang Dayak
yang sama, berdebat hal yang berbeda.
Dan
saya saat ini membahas tentang bagaimana pandangan gereja terhadap adat dan
budaya, khususnya yang menyangkut kehidupan kita orang Dayak.
TIGA PENDEKATAN GEREJA TERHADAP ADAT
DAN BUDAYA
1.
Gereja
menerima, apapun yang dilakukan masyarakat adat bisa juga
dilakukan oleh gereja. Susah untuk dibedakan orang itu beragama atau tidak,
orang itu pemangku adat atau bukan, karena keduanya sama-sama dilakukan dan
dipercayai sebagai sesuatu yang mendatangkan kuasa dan berkat. Gereja (orang percaya) yang seperti ini
sangat taat juga ke gereja, mungkin tiap Minggu tidak pernah absen Ibadah, tapi
dalam hal adat juga sangat taat, bahkan masih mau berdukun, masih memegang
segala ilmu megic, segala guna-guna dan ilmu baca-membaca masih sangat kental.
2.
Gereja
yang menyaring, gereja harus selektif mana tradisi adat
dan budaya itu yang memiliki nilai-nilai Alkitabiah, atau nilai-nilai
Kristiani, mana yang bersifat penyembahan berhala, ini perlu kejelian dari
seorang tokoh gereja, jangan sampai terjebak dengan ajaran percampuran ajaran
adat budaya dan ajaran gereja (sinkretisme), karena itu seorang teologi itu
harus memahami apa itu adat dan budaya dan apa itu agama dan ajaran-ajarannya.
Didalam ajaran adat dan budaya itu ada atau tidakkah nilai-nilai Injil dan itu
yang perlu diseleksi dan dipertimbangkan oleh tokoh-tokoh agama.
3.
Gereja
yang menolak, semua yang dilakukan orang Dayak itu
penyembahan berhala, tidak boleh dimasukkan dalam acara-acara gereja. Sikap
seperti ini biasanya gereja didoktrin oleh misionaris-misionaris Barat atau Eropa, karena mereka tidak
mengerti ataupun mengetahui adat dan kebudayaan orang Dayak maka semua yang
berbau adat dan budaya itu dikatakan penyembahan berhala. Apa lagi orang Dayak melakukan ritual-ritual
itu di gunung, di bawah-bawah pohon, di ladang/sawah, lumbung padi dan di dalam
rumah dengan seperangkat adat yang sebagai sesembahan.
Karena
itu sampai sekarang nama Jubata saja masih banyak yang merasa alergi untuk
penyebutannya, karena pemahaman masyarakat adat dulu dan sekarang tentu
berbeda, dulu yang tidak tahu membaca dan menulis, tidak ada informasi
pengetahuan yang mereka miliki, tapi apa yang mereka (orang Dayak) lakukan dan
sembah itu sesuatu yang diakui sebagai sumber kehidupan dan berkat, dan yang
berkuasa atas hidup mereka. Gereja tidak bisa langsung menghakimi apa yang
dilakukan orang Dayak itu suatu penyembahan berhala, teliti dulu kedalam ritual itu, apakah tidak ada kesamaan
dengan pemahaman YHWH. Elohim, (Israel) Allah (Arab) yang berkuasa di atas
permukaan air menurut Alkitab dan bangsa Arab, dengan terjemahan Jubata bagi
orang Dayak Kanayatn.
Jika
mau jujur, pemahaman orang Israel dan orang Arab sebenarnya juga bukan sesuatu
yang istimewa tentang YHWH Elohim dan Allah, tapi justru pemahaman Jubata itu
dipahami ditempat-tempat yang terhormat, bisa ke gunung dan menguasai salah
satu tempat, dibandingkan dengan pemahaman Israel dan Arab.
YHWH
(Israel) ini Nama yang Mahatinggi, Mulia dan Kudus, yang berkuasa atas seluruh
jagat raya. Namun jika kita melihat kitab Kejadian 1 : 2…Roh Allah
melayang-layang di atas permukaan air, pemahaman ini tidak ada bedanya dengan
pemahaman bangsa Arab sebelum Kristen memasuki tanah Arab, dan justru orang
Kristenlah yang lebih dulu memakai nama Allah di Arab dibandingkan orang Islam.
Allah (Arab) adalah dewa yang berkuasa di atas permukaan air, hal ini sama dengan
Alkitab (Kejadian 1 : 2), menunjukkan tempat yang sama yaitu “air”, wilayah
tertentu dan terbatas. Karena itu
penulis mau bedakan antara sebuatan dan pemahaman, jika kita sekarang sebut
Jubata itu bukan lagi yang berkuasa di tempat-tempat kecil, tapi pahamilah
Jubata itu seperti kita memahami Tuhan Allah sekarang ini, maka masuklah dalam
pemahaman bersama.
ASAL USUL AGAMA YANG ADA
Hampir
semua agama di dunia ini berasal dari Asia, Agama Yahudi dari Israel, Agama
Kristen/Katolik dari Israel, agama Islam dari Arab, agama Shinto dari Jepang,
agama Hindu dari India, agama Budha dari China, agama Khongkuchu dari China,
agama Zoroaster dari Persia, agama
kaharingan dari Kalimantan, dan agama-agama suku ditiap-tiap daerah dan suku di
Indonesia, yang sangat beragam dan hampir tiap-tiap daerah berbeda-beda adatnya, caranya dan sebutannya.
Mengapa Injil susah masuk di Asia, dan lebih berkembang di Barat/Eropa, pada hal bermula dari Asia? Karena Asia sudah mempunyai agama sendiri
yang sudah berakar pinak di tempatnya, sedangkan di Barat/Eropa tidak ada
kelahiran agama.
ASAL USUL NAMA TUHAN ALLAH
Untuk
menjawab permasalahan yang menjadi perdebatan antar pengurus adat dan gereja,
yaitu mengenai Nama Jubata, maka penulis meruntun dari mana istilah nama itu
datang, Nama TUHAN (Terjemahan, YHWH) Tuhan (Terjemahan, Teos, Adonai dan
lain-lain), nama Allah (Terjamahan, Arab) artinya dewa yang berkuasa di atas
air, dan nama ini menjadi besar setelah kehadiran agama Kristen di Arab sebelum
Islam ada, diterjemahkanlah nama YHWH
itu nama Personal, yang sangat disegani dan dihormati, oleh bangsa Israel, karena itu salah satu hukum Taurat berbunyi,
Jangan menyebut YHWH Elohim (Yahweh Elohim) Tuhan Allahmu dengan sembarangan.
Nama
ini memang nama yang sakral sekali, bila menyebut-Nya dengan sembarangan maka
resikonya adalah mati, karena itu bangsa Israel sangat hormat dan patuh atas
Nama Itu, yang menjadi junjungan mereka.
YHWH
(TUHAN) itulah yang membawa bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, dari tempat
perbudakan, dan YHWH itulah yang menuntun mereka ada di padang gurun selama
empat puluh tahun, dan ketika orang-orang Yahudi ada yang menjadi Kristen dan percaya
bahwa Yesus Kristus menjadi Tuhan dan Juruselamat, pada saat hari Pentakosta
ada bahasa Arab yang diucapkan dalam doa mereka, maka Injil tentang Yesus
Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat diberitakan, dan tentu sampailah kepada
bangsa Arab, dan nama YHWH dan Elohim itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, diterjemahkanlah Nama itu menjadi Allah, itu yang dipahami bangsa Arab,
tentang Allah yang Mahabesar, Pencipta dan Pemelihara.
Dan
Islam sangat anti dengan terjemahan Alquran ke dalam bahasa Indonesia, karena
takut salah menterjemahkan, sehingga Nama Allah itu sebagai sebutan Oknum yang
berkuasa itu dipakai oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia, dan itu jugalah
yang dibawa oleh agama Islam yang ada di Indonesia, yang dipakai sampai
sekarang, pertanyaannya adalah bolehkah orang Kristen memakai Nama Allah itu,
karena berasal dari Arab, tentu boleh, toh Nama Allah sudah dipatenkan sebagai
bahas Indonesia, dan bukankah orang Kristen dulu yang memakai Nama Allah
sebelum Islam ada di Negara Arab.
Di
Inggris diterjemahkan Lord /God, di Indonesia diterjemahkan ke Tuhan Allah, ini
terjadi saat penterjemahan zaman Belanda yang bertanya kepada orang Islam,
istilah Lord ini apa menurut bahasa kalian, maka diterjemahkanlah menjadi
Allah, dan sampai saat ini dipakai oleh LAI, karena kata Allah dipakai juga ke
dalam bahasa Indonesia.
Tapi
jika kita mau telusuri, bagaimana pengertian Alkitab tentang Nama itu, atau apa
yang dipahami oleh orang Israel tentang Sosok YHWH itu, dalam Kitab Kejadian 1
: 2, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan Air.
Pemahaman
itu sama dengan pemahaman bangsa Arab, yang mengakui bahwa Allah itu berkuasa
di atas permukaan Air, itu zaman dulu tentunya berbeda dengan zaman sekarang,
yang memahami Allah itu bukan saja berkuasa di atas permukaan Air, tapi
berkuasa di seluruh jagat raya.
Sekarang
di terjemahkan kedalam bahasa Kanayatn,
apa boleh? Apa ada nama lain selain
Jubata, bukankah nama asli Yahweh Elohim sudah diterjemahkan kedalam semua suku
bangsa di dunia ini, misalnya di Indonesia; suku Batak disebut Debata, suku Manado
disebut Opo Wanatas, suku Ambon disebut Tete Manis, suku Jawa sebut Gusti Allah,
Dayak juga harus sebut Jubata, karena Nama ini yang dipahami orang dayak
sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pemberi berkat, itu bukan sebutan penyembahan
berhala.
Kesalahan
kita bukan pada penyebutan Jubata, yang perlu kita ubah adalah pada pemahaman,
jangan lagi kita memahami Jubata itu sesuatu yang kecil, yang hanya berkuasa
pada satu area saja, tapi pahamilah Jubata itu sesuatu yang Besar, Kuat, Dahyat
dan Berkuasa.
Karena
jika memahami ada Jubata dalam lokasi ini, lokasi itu, maka kita akan
mendapatkan kelemahan-kelemahan yang seperti disampaikan panyangahatn, jubata
ada di sini jubata ada di situ, jubata di gunung ini, jubata di gunung itu,
jubata di air ini dan di air itu. Kelemahannya antara lain:
1. Memahami
Jubata hanya berkuasa di satu lokasi saja.
2. Memahami
Jubata itu jadi banyak, Kristen memahami Dia satu.
3. Memahami
Jubata itu memiliki suatu tepat sebagai kekuasaannya.
Karena
itu pandangan penulis adalah mulai
sekarang kita ubah pemahaman kita tentang Jubata yang hanya ada pada lokasi
tertentu, atau tempat yang kecil, tapi pahami Jubata sebagai Jubata Mahabesar.
BERTEOLOGI SECARA KONTEKSTUAL
Berteologi secara kontekstual salah satu dari banyak
metode berteologi,yang dapat ditempuh dalam upaya berteologi. Metode berteologi secara kontekstual disebut
sebagai gagasan penting, dalam mengembangkan upaya berteologi di Indonesia (Theologia in loco) yang dikembangkan
oleh Prof DR. Muller Kruger, Pendiri STT
Jakarta.
Metode teologi kontektual mulai dipopulerkan antara lain
oleh teolog-teolog Asia, yang ingin mencari jalan-jalan baru dalam
memahami masalah dalam hidup mereka
dalam terang firman Allah. Karena orang-orang Asia jiwanya dibentuk oleh
kebudayaan mereka yang mempunyai ciri khas, kesalahan teologi barat yang
memasukkan gaya berteologi negara barat, sehingga banyak bertentangan dengan
kebudayaan di Asia.
Kazoh
Kitamori, karyanya “Teologi Kesakitan Allah”, (terj. Dari Theology of the Pain of God, terbit tahun 1946). Usaha konkrit yang
termasuk awal dari berteologi secara kontektual. Ia mencoba memberitakan Injil
Yesus Kristus bagi bangsanya Jepang yang sedang dilanda kepahitan yang sangat
hebat. Jadi salah satu ciri metode ini adalah
kesadaran mengenai keterikatan
pada konteks yang amat konkrit, baik konteks tempat, waktu dan kebudayaan.
Dengan
berteologi secara kontekstual ini memiliki peluang untuk berkembang secara
cepat dan tajam kearah isu-isu yang konkrit, dan dapat dikelola dibandingkan
dengan metode teologi yang universal.
CIRI-CIRI TEOLOGI KONTEKTUAL
1. Teologi
kontektual ini memandang kebudayaan sebagai konteks teologi itu dikembangkan
dan diterapkan, yang membahas isu-isu yang muncul dalam konteks itu. Ia
berteologi atas dasar filosofi dan kebudayaan konteks, sehinggga mampu kritis
terhadap kebudayaan itu sendiri.
2. Sebagai
satu metodologi ia tidak menolak secara membabi buta, segala sesuatu yang
bersifat Barat.
3. Mempunyai
tujuan jangka panjang, menumbuhkan teologi baru dalam konteks kebudayaan.
4.
Perhatian
teologi kontekstual adalah pada tugas
hermeneutis yaitu interprestasi dari iman Kristen dalam situasi lintas budaya.
Tetap setia pada teks namun relevan dengan konteks, yang memberikan dengan serius mengenai kebudayaan, sebagai kerangka
teologi. Tujuan bertelogi kontekstual adalah melihat hubungan antara dunia
menurut Alkitab dan dunia menurut pandangan
kebudayaan-kebudayaan non-Barat.
5.
Berusaha
mengakarkan Kekeristenan ke dalam
kebudayaan-kebudayaan yang khas, dan mengungkapkan kembali berteologi secara
filsafat.
6.
Ia
berusaha untuk menyatakan apakah yang Tuhan kehendaki dalam suatu konteks
historis ataupun kultural, ketimbang berbicara tentang penciptaan, dosa,
penebusan dan eskatologi
KESIMPULAN
Dalam berteologi secara kontekstual yang harus dipahami
adalah konteks dimana kita ada, maka berilah segala sesuatu itu dengan
nilai-nilai Injil, karena dengan cara itu pula Nomensen datang di tanah Batak
bisa mendaratkan Injil kepada suku Batak yang sangat memiliki karakter yang
sangat keras.
Pelajarilah teologi dengan baik dan hal-hal yang ada di
sekitar teologi itu, karena ada begitu banyak masalah yang ada di sekitar
teologi itu, sehingga kita bisa mendaratkan Injil dengan baik, karena Injil itu
kabar baik bagi semua orang dan Injil itu adalah kekuatan Allah. Injil bukan
membuat orang takut, Injil bukan membuat orang sakit justru Injil harus membawa
kabar baik.
KEPUSTAKAAN
Berkhof H. AND Enklaar I.H., Sejarah Gereja, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1987.
Elwood D. J., Teologi Kristen Asia, Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 1993.
Jagersma H., Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba,
Jakarta: BPK Gunung Mulia1994.
Ruck A., Sejarah Gereja Asia, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006.
Sairin Weinata, Iman Kristen dan Pergumulan Kekinian,
Jakarta : BPK Gunung Mulia,
1996.
Schreiner L., Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1994.
Vriezen Th.C., Agama Israel Kuno, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2001.
Yewangoe A.A., Theologia Crucis di Asia, Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar