TEOLOGI "DOA BAPA KAMI" : :Kritik terhadap pemakaian Doa Bapa Kami dalam penerapannya pada Gereja masa kini.


Oleh: Yoel Benyamin, M.Th

Abstrak
Doa Bapa Kami sangat tepat diucapkan oleh kaum Israel yang berada pada masa sebelum salib, di mana mereka menantikan Kerajaan Mesianis yang dinantikan. Seingga frase “datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu” menjadi permohonan yang selalu harus diulang-ulang dalam ucapan doa. Indahnya Kerajaan yang digambarkan itu serta keadaan diampuni dari segala dosa sebagai upah dari saling mengampuni adalah dambaan dan kerinduan yang diajarkan dalam Doa Bapa Kami. Yesus mengajarkan murid-murid agar saling mengampuni untuk dapat memperoleh pengampunan Bapa. Mengampuni supaya diampuni adalah keniscayaan untuk dilakukan baik bagi orang Israel maupun bagi murid-murid pra-salib. Bagi orang Kristen, Doa Bapa Kami dalam Matius 6:9-15 ini adalah doa familier bagi setiap kita yang mudah diucapkan dan dihafalkan oleh semua kalangan usia. Orang yang percaya dalam masa anugerah sekarang ini sepertinya kalimat demi kalimat dalam Doa Bapa Kami patut dicerna kembali apakah kena mengena dengan kaidah beriman kita masa kini. Orang percaya hendaknya memiliki kemandirian dalam berdoa, sehingga tidak perlu bersifat hafalan atau pengulangan suatu ucapan. Jadi dapat dikatakan rumusan doa bersifat fleksibel, tidak bergantung pelafalan kata atau kalimat doa yang persis seperti yang diajarkan, sebagaimana Doa Bapa Kami. Analisis menyeluruh terhadap teks doa Bapa Kami ini adalah penting bagi sekalian kita, supaya orang percaya bisa memiliki penerapan yang tepat dan konsekuen, tidak berdasarkan pada kata “pada umumnya”.

Abstract
The Lord's Prayer is very well spoken by the Israelites who were in the period before the cross, where they waited for the anticipated Messianic Kingdom. So that the phrase "Your kingdom comes, be your will" becomes a request that must always be repeated in the words of prayer. The beauty of the depicted Kingdom and the forgiven state of all sin as a reward for forgiving one another is the longing and longing taught in the Lord's Prayer. Jesus taught the disciples to forgive one another in order to obtain forgiveness from the Father. Forgiving to be forgiven is a necessity to do for both the Israelites and pre-cross disciples. For Christians, this Lord's Prayer in Matthew 6: 9-15 is a familiar prayer for each of us that is easily pronounced and memorized by all ages. People who believe in the time of grace now seem to be sentence by sentence in the Lord's Prayer, it should be digested again whether it is touching with our present belief principles. Believers should have independence in prayer, so there is no need to memorize or repeat words. So it can be said that the formulation of prayer is flexible, does not depend on the pronunciation of words or sentences of prayer that are exactly as taught, as our Lord's Prayer. A thorough analysis of the text of our Father's prayer is important to all of us, so that believers can have appropriate and consistent application, not based on the word "in general".
Kata Kunci: Doa, Kerajaan, Anugerah, Pengampunan.
Keywords: Prayer, Kingdom, Grace, Forgiveness.


Pendahuluan
Bagi orang Kristen, Doa Bapa Kami dalam Matius 6:9-15 ini adalah doa familier bagi setiap kita yang mudah diucapkan dan dihafalkan oleh semua kalangan usia. Terasa aneh apabila orang Kristen tidak hafal doa ini mengingat biasanya ini dihafalkan ketika seseorang mengikuti kelas katekisasi atau dipajari ketika kanak-kanak.
Agustinus mengatakan “doa itu merupakan penghubung antara manusia dengan Allah, termasuk juga Doa Bapa Kami yang merupakan doa yang sangat populer dalam dunia Kristen dan dijadikan acuan bagi semua doa,”[1].  Geldenhuys mengatakan: “Doa dalam Matius 6:9-13, Tuhan Yesus mengajarkannya sebagai contoh doa yang cocok dengan segala syarat, yang telah diletakkanNya sendiri sebagai dasar bagi doa yang benar.”[2] Ini menjadi cerminan bagi doa-doa lainnya dalam kekristenan. Bahkan para petobat baru biasanya wajib menghafal doa ini sebagai syarat permulaan hidup beriman dalam Kristen. Dan seringkali dalam setiap pelayanan ibadah jemaat, doa ini selalu menjadi penutup sebuah doa seakan-akan hendak “menyempurnakan” setiap doa yang sedang dipanjatkan. Jadi, benarkah setiap doa akan tampak “sempurna” apabila ditutup dengan doa Bapa Kami ini? Begitu sempurna dan sakralnya Doa Bapa Kami, bahkan Agustinus menegaskan “segala sesuatu yang harus dan pada umumnya dapat kita minta kepada Allah dengan doa, kita dapati tercantum dalam rumusan ini (Doa Bapa Kami), yang seakan-akan merupakan pedoman untuk berdoa yang diajarkan kepada kita oleh Kristus.”[3] Tetapi menetapkan satu-satunya doa Bapa Kami sebagai cara meminta sesuatu kepada Allah adalah hal keliru. Doa apapun yang kita tujukan kepada Allah dapat dipanjatkan dengan satu pengertian bahwa “doa merupakan sarana memperoleh berbagai hal dari Allah, karena aspek terbesar doa adalah untuk mengetengahkan permintaan.”[4] Jadi dapat dikatakan rumusan doa bersifat fleksibel, tidak bergantung pelafalan kata atau kalimat doa yang persis seperti yang diajarkan.
Pengulangan Doa
Ketika Doa Bapa Kami diucapkan dalam liturgi gereja saya yakin peserta dalam ibadah tidak berpikir terlebih dahulu apa makna dari ungkapan dalam doa yang diajarkan Yesus ini. Bahkan mungkin karena terasa sangat sakral di telinga umat, ketika secara serempak mengucapkan doa itu, pertimbangan nurani dan pikiran tidaklah diperlukan lagi. Doa Bapa Kami dirasa tidak boleh “dikritisi” siapapun. Mungkin saja ada keberatan atau tidak setuju dengan apa yang saya sampaikan ini. Namun analisis menyeluruh terhadap teks doa Bapa Kami ini adalah penting bagi sekalian kita, supaya orang percaya bisa memiliki penerapan yang tepat dan konsekuen, tidak berdasarkan pada kata “pada umumnya”. Ada alur pemikiran logis yang salah, sehingga jelaslah doa Bapa Kami jika diucapkan di setiap ibadah sangat bertentangan dengan ucapan Yesus sendiri yakni: “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan” (Mat.6:7). Dalam KJV digunakan kata “repetitions” yang berarti pengulangan-pengulangan. Mungkinkah doa berwujud sebagai “suatu perbuatan yang mengandung daya kekuatan dan menimbulkan keajaiban-keajaiban…doa dpat menjadi suatu rumus sakti (yang diucapkan berulang-ulang).”[5] Memang tidak ada rumusan berapa kali kita harus menyampaikan suatu pokok doa kepada Allah atau pokok apa yang patut kita panjatkan dalam doa, namun dengan tidak mengulang doa tersebut juga menyatakan kepercayaan kita bahwa Allah mendengar doa kita.
Sebagian besar mahasiswa teologi dalam kelas saya ketika diskusi tentang pokok ini terjebak dalam berbagai asumsi yang tidak relevan dengan rumusan pokok keimanan dalam konteks kekinian. Ketika saya bertanya apa alasan mereka mempraktekkan doa Bapa Kami dalam liturgi gereja, mereka menjawab karena doa itu diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Baik, berikut suatu contoh, jika kita berpatokan dengan istilah “perintah atau diajarkan Yesus”, apakah kita akan pergi melayani Israel saja?, karena ada perintah “pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Mat.10:6). Pada bagian ini beberapa orang konsepnya akan sedikit berubah pikiran, dan mengatakan bahwa Israel itu adalah gereja (Israel rohani). Namun saya akan balik bertanya, bukankah Israel sebagai sebuah negara ada dan bahkan mereka tidak menerima Yesus sampai sekarang? Mengapa anda tidak kesana menginjil mereka, sebagaimana perintah Yesus dalam kitab Injil? Dan banyak perintah Yesus yang sulit dan bertentangan jika dipaksakan mencari aplikasinya pada zaman ini. Ya, upaya alegorisasi merupakan alternatifnya jika demikian. Doa Bapa Kami diajarkan Yesus dan dijadikan “syarat moral dan spiritual bagi seorang percaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Milenial.”[6] Murid-murid yang mengharapkan Kerajaan Mesianis patut atau penting mengucapkan doa ini. Doa Bapa kami sebaiknya dipandang sebagai doa yang cocok dalam konteks Injil Kerajaan dan para Murid waktu itu. Karena memang Yesus menghendaki agar “doa Bapa Kami menjadi contoh dan pola bagi semua muridNya.”[7] Waktu itu belum tersingkapkan tentang program gereja Tubuh Kristus sekarang, jadi para murid diarahkan pada perjuangan kerajaan.
Banyak Gereja terlihat begitu kreatif dengan menambahkan unsur-unsur Alkitab ke dalam ketentuan gerejawi mereka, tanpa memperhatikan bilamana hal itu disampaikan kepada pendengar dalam kajian konteks dan historisnya. Ini dapat memunculkan teologi berbeda, seperti dikatakan Roma Katolik. Bahkan Hodge “mengakui doa sebagai anugerah.”[8]  Dalam Doa Bapa Kami hal yang harus diperhatikan ialah konteksnya, yakni itu disampaikan Yesus sebelum salib dan sebelum Allah menurunkan program baru yang rahasia akibat dari penolakan Israel terhadap penawaran kerajaan yang telah dijanjikan bagi mereka dalam nubuatan hamba-hambaNya terdahulu.

Doa yang Kurang Relevan
Dapat dikatakan doa Bapa Kami kurang relevan bagi pergerakan gereja masa kini dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada di dalamnya. Banyak hal tidak konsisten dengan kehidupan kristen dimana Anugerah bekerja melalui iman dalam Yesus Kristus. Berikut pertimbangan iman dan pikiran saya yang hendaknya kita ketahui:
1.    Saya berpendapat tidaklah masuk akal apabila telah menjadi kristen bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tetapi masih dikatakan belajar berdoa, dengan doa Bapa Kami, bahkan diulang-ulang terus-menerus. Sangat ironi! Lalu, bagaimana dapat menikmati “makanan keras” rohani (Ibr.5:14), sedangkan berdoa saja hafalan yang bahkan tidak relevan dengan tatanan gereja Tubuh Kristus kini. Jadilah kristen yang dewasa dan mandiri dalam hal keyakinan akan ucapan doa. Doa Bapa Kami diajarkan Yesus kepada para Murid karena pemuka agama Yahudi pada waktu itu memiliki cara berdoa yang keliru baik dalam praktik hidup maupun dalam teori. Ini juga merupakan persiapan mereka memasuki kerajaan Mesianik yang dinantikan. “Yesus mengajarkan murid-muridNya tentang cara berdoa, setelah mengingatkan mereka untuk tidak memakai pengulangan-pengulangan yang sia-sia seperti dilakukan orang kafir.”[9] Menurut hemat saya Yesus memberi banyak keteladanan doa, seperti doa dalam kesesakan, doa untuk orang sakit, juga doa untuk membangkitkan orang mati, doa untuk makan dan lain-lain. Tetapi mengapa doa Bapa Kami saja yang dikumandangkan secara berulang-ulang dan rutin dalam liturgi sebagai doa yang sangat “sakral? Saya kira kita telah memperlakukan semua doa yang Yesus sampaikan secara tidak adil.
2.    Tidak tepat bila dikatakan ini Doa Bapa Kami. Seharusnya yang benar adalah Doa Para Murid. Karena yang harus dan diajarkan berdoa demikian adalah para murid Yesus. Bapa tidak pernah berdoa, Bapa mau berdoa kepada siapa lagi?. Baker mengatakan “mungkin lebih baik disebut sebagai Doa Murid-Murid.”[10] Doa ini diterapkan kepada semua murid sebagai kewajiban yang mengikat suatu perkumpulan kerajaan. Finck memberi sedikitnya tiga alasan mengapa Doa Bapa Kami ini tidak cocok untuk orang percaya kini: Pertama, meski secara umum kita menyebutnya “Doa Bapa Kami”, namun sesungguhnya lebih tepat disebut “Doa Para Murid.” Faktanya memang demikian, itulah sebab mengapa kita menamai doa ini sebagai “Doa Para Murid”. Anda dapat melihat ini bukanlah suatu doa yang Yesus doakan. Doa Yesus terdapat dalam Yohanes 17, ketika Dia di sebuah taman. “Doa Para Murid” merupakan satu contoh sederhana yang Dia berikan kepada murid-muridNya.  Kedua, Kristus tidak pernah menekankan kepada murid-muridNya untuk mengulangi doa ini kata demi kata, lagi dan lagi. Sesungguhnya telah dijelaskan kepada kita bahwa dalam ayat 9, “oleh karena itu berdoalah demikian.” Kata “manner” secara literal berarti “dengan cara ini” atau “seperti ini”. Dalam bagian lain, Yesus berkata, “Beginilah kamu harus berdoa.” Dia tidak sulit mengatakan mereka harus mengulang kata demi kata yang sama, lagi dan lagi. Tetapi itu tidak demikian. Ketiga, kendatipun ini satu doa yang sangat indah, itu tidak pernah berarti bagi orang yang hidup dalam dispensasi sekarang. Doa ini cocok bagi orang yang akan masuk masa Tribulasi, yakni waktu kesusahan besar yang akan melanda bumi. Kita dapat menunjukkan bahwa Doa Bapa Kami banyak mengacu pengertian tentang Tirbulasi daripada mengenai Dispensasi Anugerah.[11] Sudah lumrah dalam suatu kegerakan mazab apa pun waktu itu, setiap kelompok orang  mengumpulkan murid-murid untuk dididik menjadi pengikut yang militant. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah Yahudi dan mazab-mazab yang pernah muncul. Yudas Makabeus, misalnya, mempunyai murid-murid yang setia dan militant. Yohanes Pembaptis juga punya murid-murid demikian (Yoh.1:35 à murid Yohanes Pembaptis ini belakangan menjadi murid Yesus).
3.    Bila dicermati frasa “datanglah kerajaanMu” (dalam Mat.6:10) mengindikasikan bahwa kerajaan itu sesungguhnya belum datang pada saat doa itu diucapkan, karena masih dipohonkan dalam setiap ibadah dan doa-doa rohani. Kata Yunani elto[12] dalam Matius 6:10 ini memakai bentuk vokatif yang mengindikasikan sifat permohonan. Dengan kata lain hal yang dipohonkan tersebut belum ada ketika itu. R.Sudarmo berpendapat “memang kesempurnaan kerajaan Allah masih akan datang. Para murid masih harus berdoa demikian: datanglah kerajaanMu. Kesempurnaan akan datang pada kedatangan Yesus kedua kali.”[13] Lebih lagi, hal itu berarti menerangkan bahwa si pendoa memiliki pengharapan dan keyakinan menantikan datangnya kerajaan. Padahal telah dikatakan bahwa ada beberapa kelompok teologi mengatakan kerajaan Allah sudah datang, namun di sisi lain selalu berseru-seru melalui doa Bapa Kami dengan meminta datanglah kerajaanMu. Sepertinya ada dua sikap yang berbeda dan bertentangan. Jika anda merasa kerajaan itu sudah datang untuk apa meminta kerajaan untuk datang? atau kerajaan mana lagi yang dipohonkan itu? Kecuali kita berkata kerajaan itu belum datang. “Tuhan Allah telah berjanji kepada bangsa Israel bahwa akan datang Kerajaan damai di bumi. Kepada murid-muridNya, Tuhan Yesus mengajar berdoa “datanglah kerajaanMu”, dan Kerajaan seribu tahun adalah jawaban atas permohonan itu.”[14] Tetapi Geldenhuys berkeyakinan lain dengan mengatakan: “Itu adalah permohonan kita agar pemerintahan Allah berlaku pada zaman ini, sekarang dan di sini, dalam hati manusia secara pribadi, maupun ada di dunia seanteronya.[15] Masalahnya adalah konteks tidak sedang meminta kerajaan universal atau kerajaan rohani, tetapi paparan Sinoptik dan Matius secara khusus menjelaskan kerajaan yang riil dan politis! (dalam konteks pemberitaan Yesus selama Dia hidup). Dan selagi diminta terus menerus setiap waktu berarti belum berdiri kerajaan itu. “Sebagaimana kita telah lihat bahwa kerajaan itu sesungguhnya sudah dekat pada Israel waktu itu namun belum berdiri. Sungguh keganjilan yang aneh bahwa banyak orang-orang Kristen yang tidak percaya bahwa Yesus akan datang kembali mendirikan Kerajaan di bumi namun terus berdoa untuk kedatangan Kerajaan itu dalam pelayanan di gereja mereka. Kedatangan Kerajaan itu bergantung penerimaan Israel akan Yesus sebagai Mesias dan Raja mereka. Walaupun Israel menolak dan menyalibkan Yesus namun Dia berdoa bagi pengampunan mereka dan kesempatan baru bagi Israel.”[16] Sesungguhnya ketika doa Bapa Kami terucap oleh murid-murid Yesus waktu itu, Yesus sedang mengajar mereka supaya orang Yahudi sungguh-sungguh meminta kerajaan Allah.
4.    Ungkapan “di bumi seperti di surga” seperti mimpi yang sulit dipaparkan bahkan dirasakan. Karena keadaan surgawi kita masih sebatas janji pasti Alkitab, konsep teologis dan harapan di masa depan. Kita masih di bumi. Akan terjadi nanti “di bumi seperti di sorga” apabila “pemerintahan yang didasarkan hanya atas kebenaran, di mana Kristus akan menjadi Raja yang memerintah dalam kebenaran yang mutlak.”[17] Akan ada suasana di bumi seperti di surga yang dipohonkan juga. Ini mengingatkan kita akan suasana indah dan damai kerajaan Mesianic dalam Yesaya 11, bahwa semua makhluk satu dengan yang lain hidup berdampingan dengan damai dan rukuntidak adanya permusuhan secara lahiriah melainkan keharmonisan yang sesungguhnya.”[18] Waw, awesome! Namun sadarlah, kita masih di bumi dan suasana di bumi seperti di surga belum terrealisasikan. Ini ditegaskan dengan kesimpulan bahwa dunia ini semakin hari semakin jahat, bejat dan rusak (baca Matius 24; 2Timotius 3). Tidak seperti pemikiran para amillenialis bahwa karena Injil diberitakan ke seluruh bumi maka bumi berangsur-angsur membaik penuh kedamaian sebagai perwujudan keadaan “di bumi seperti di surga” itu. Justru alasan mengapa nanti Gereja akan diangkat ke sorga dalam Rapture ialah karena pendurhaka, Antikrist, mulai bekerja di bumi ini (2Tes.2:7,8) semakin merusak orang percaya dan pekerjaan Allah dengan kedahsyatan mengerikan. Janji kerajaan Mesianic yang politis akan menyatakan keadaan di bumi seperti di surga dalam kerajaan seribu tahun pada masa yang akan datang. Itulah kerajaan damai yang diminta orang Israel serta para Murid sesuai yang dijanjikan dalam nubuatan kitab suci. Peristiwa ini tercatat dalam nubuatan kitab-kitab Perjanjian Lama, bahkan Yesaya 11 menggambarkan suasana indah dan damai bagi semua alam semesta. Di bumi seperti di sorga terwujud ketika nanti “orang-orang lemah dan orang-orang miskin tidak akan tertekan oleh Mesias sebagaimana mereka telah dipimpin oleh pemimpin-pemimpin manusia. Orang-orang yang tertekan akan menikmati KeadilanNya, dan yang lemah akan mengadili.”[19] Kedamaian tercipta karena Mesias menjadi Raja atas seluruh semesta, yang terwujud dalam Kerajaan Millenium pada masa yang akan datang.
5.    Mengampuni sebagai syarat diampuni. Dalam rentang Perjanjian Lama bersama Hukum Taurat, seseorang harus rela dan ikhlas mengampuni sesamanya jika ia hendak memperoleh pengampunan Bapa di surga. Jika tidak, dosanya tidak akan diampuni. Ya, anda tidak akan diampuni! Menariknya ialah Doa Bapa Kami dalam Matius 6 kurang lengkap jika hanya sampai pada ayat 13 saja. Seringkali pembacaan doa Bapa Kami lupa mempertimbangkan ayat 14 dan 15: “jika kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jika kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu”. Hal yang patut direnungkan adalah  bagaimana mungkin kita dapat masuk sorga dengan kesalahan yang belum terampuni Bapa karena mungkin lupa, enggan atau belum sempat mengampuni orang lain? Andaikata sesaat sesudah orang lain bersalah padanya dan belum sempat mengampuni kemudian yang bersangkutan meninggal dunia, apakah dia dapat masuk surga? Lupa atau terlambat untuk mengampuni orang lain akan berakibat sangat fatal bagi terampun atau tidaknya dosa seseorang? Jika demikian, saran praktisnya buatlah moment tertentu atau hari besar kristen yang dapat digunakan untuk saling mengampuni atau memaafkan lahir dan batin! Dalam doa Bapa Kami, mengampuni orang merupakan syarat menerima pengampunan Bapa! Jadi, tidak mengampuni orang lain pun merupakan dosa yang tak terampuni. Ini agaknya kurang bersesuaian dengan Efesus 4:32, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu. Yang mana alasan mengampuni ialah karena telah diampuni bukan mengampuni untuk mendapat pengampunan Bapa. Terlihat sebuah paradox bahwa orang yang sudah diampuni namun terus meminta pengampunan. “Melalui karyaNya, utang karena melukai hati Allah yang tak mungkin kita bayar, telah lunas. Ada pengampunan atas pelanggaran dan dosa-dosa. Hukuman tidak ada lagi bagi orang yang dengan iman mengulurkan tangannya untuk menerima pengampunan dengan cuma-cuma yang disediakan oleh Juruselamat kita.”[20] Hendaklah kita hidup dalam pengampunan yang Yesus telah berikan pada kita bukan hidup dalam permintaan pengampunan terus menerus. Kecuali ada keraguan atas pengampunan yang telah diberikan itu. Alur pemikiran pra-salib ini sepertinya agak bertentangan dengan konsep Anugerah Allah yang telah menyelamatkan kita pasca-salib. Saya ingin menegaskan kepada kita bahwa Kristus telah menghapus dosa kita sekali untuk selamanya (Ibr.9:26). Syarat dan prasyarat yang diungkapkan ayat 14 dan 15 Matius 6 harus dimengerti bahwa itu semua disampaikan sebelum Yesus disalib. Setelah salib teori mengampuni untuk dapat menerima pengampunan Bapa dirasa tidak memadai lagi dalam lingkup penatalayanan Anugerah Allah dalam gereja masa kini. Darah Kristus lebih sahih menghapus dosa dan kesalahan daripada sebuah kedisiplinan rohani dalam saling mengampuni sesama atau saling maaf-memaafkan, karena itu hanya bertumpu pada kelemahan manusiawi kita yang seringkali lalai dan gagal.
6.    Karakter Allah yang tidak sesuai, selalu membawa ke dalam pencobaan? Dalam setiap rentang zaman, Allah selalu memberikan cobaan bagi umatNya. Contoh, Allah mencobai Israel di padang gurun yang menyebabkan ribuan bangsa Israel tidak sampai ke Kanaan karena mati di perjalanan dan mereka “tidak lolos” dalam cobaan yang diberikan Tuhan, hanya Yosua dan Kaleb yang lolos dari Mesir ke tanah Kanaan. Kelihatannya Allah senang memberi cobaan sejauh itu. Hal ini dibuktikan dalam Ulangan 8:2 yang berbunyi: “...dan mencobai engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu”. Juga dalam Hakim-Hakim 2:22 “...Aku mencobai orang Israel, apakah mereka tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan Tuhan”. Pemikiran pra-salib dan Perjanjian Lama maupun orang Israel memang demikian, karena demikianlah disampaikan Allah kepada mereka yang hidup dalam masa itu. Dan Allah berurusan dengan manusia pra-salib mungkin memang demikian, sehingga banyak yang tersandung. Namun agak berbeda jika kita lihat dalam Yakobus 1:13: “apabila seorang dicobai janganlah ia berkata: pencobaan ini datang dari Allah! Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.” Matius 4, Roh Kudus membawa Yesus untuk dicobai Iblis. Dalam Ayub 1 juga Iblis mencobai atas seijin Tuhan. Keberhasilan maupun kegagalan manusia dalam setiap cobaan merupakan alat penyaring atau seleksi bagi Allah untuk menguji sejauh mana ketaatan seseorang yang bedampak pada Allah berkenan atau tidak berkenan pada seseorang. Dalam masa anugerah sekarang Allah menjamin dengan pasti keselamatan seorang percaya tidak dipengaruhi oleh kegagalan maupun juga ketidaktaatan agamawi manusia. Hanya iman dalam Yesus Kristus yang menentukan. Ketika kita diselamatkan, kita memperoleh kehidupan di dalam Kristus. Kita mendapatkan pembenaran Kristus di dalam kita. Maka, kita telah memiliki hidup yang kekal. Inilah pengharapan kekal itu. Pengharapan akan kebangkitan menjamin bahwa kita tidak akan mengalami kematian lagi.[21] Jaminan ini telah  menciptakan rasa aman dalam diri orang percaya. Di dalam Yesus Sejak dahulu hingga sekarang semua manusia tidak sanggup memenuhi standard kesempurnaan yang ditetapkan Allah, sehingga hanya dengan anugerah sebagai jalan pengampunan adalah solusi bagi keselamatan manusia.
7.    Program Ilahi yang berbeda menjadi penentu relevan atau tidaknya suatu teks kitab suci. Berulangkali saya sampaikan dalam kelas-kelas teologi bahwa setiap kita yang percaya harus memahami posisi di mana kita berada dalam rentang sejarah karya Allah dalam firmanNya. Sekalipun seluruh isi Alkitab adalah firman Allah, namun tidak semua bagian dan isinya adalah relevan untuk waktu, masa dan orang yang berbeda dalam rentang Alkitab. Stam berkata: “Dengan demikian seluruh Alkitab adalah untuk kita, tetapi tidak semua dialamatkan kepada kita atau menuliskan tentang kita. Dan jika kita bersedia mengerti dan memahami; jika kita bersedia untuk dapat mengetahui bagaimana menggunakan Alkitab secara efektif dalam pelayanan Kristus, maka kita akan selalu berhati-hati mengatakan ini dialamatkan kepada siapa, tentang apa dan kapan atau mengapa.”[22] Sekalipun demikian setiap kita yang membaca Alkitab dapat sangat terberkati melalui pembacaan atau penyelidikan terhadap bagian-bagian manapun dalam Alkitab. Kekacauan akan muncul ketika melakukan penerapan akan bagian teks yang tidak diperuntukkan bagi kita di masa kini, sekalipun tampak kreatif dan menyenangkan. Saya memberi simpulan dan menyampaikan dengan tegas bahwa dalam ajaran Pauluslah kita menemukan kebenaran terkini bagi hidup kita, diluar itu tidak. Dalam Injil yang Paulus britakan terkandung kebenaran spesifik berhubung dengan anugerah Allah bagi kita kini. Finck mengatakan: “Paulus adalah Arsitek. Paulus adalah perancang, perencana, karena ia adalah Arsitek.”[23] Kebenaran penting mengenai program ilahi bagi kita ialah Allah memulai tugas penatalayanan Injil Anugrah melalui rasul Paulus untuk kita masa kini.

Doa Bapa Kami, sekalipun diucapkan dalam liturgi jemaat, tidak dapat menjadikan doa kita sempurna atau tidak sempurna. Doa Bapa Kami disampaikan Yesus sebagai pola doa bagi orang Israel yang menantikan janji kerajaan itu dan sedang belajar bagaimana hidup dalam kerajaan yang diidam-idamkan itu.
Saya ingin memberi alternative penafsiran atas Matius 6:9-15 supaya dapat menjadi terang bagaimana seharusnya teks itu dipahami.

6:9  à
“Bapa kami di surga dikuduskanlah namaMu.” Kalimat ini adalah kata pembuka dalam doa-doa Yahudi, yang memang harus menempatkan Yahweh di tempat tertinggi. Ini mengajarkan kepada para pendengar Yahudi dalam khotbah di bukit supaya menempatkan Bapa dalam kekudusan surgawi. Orang Yahudi harus ingat bahwa Tuhan mereka adalah kudus dalam segenap aspek kehidupan praktis mereka. Mereka harus menjaga hal itu. Dalam sejarah beragama manusia, Yahudilah yang pertama membuat gambaran relasi manusia dengan Allah sebagai Bapa. Ini menunjukkan hubungan yang rohani dan emosional antara Allah dengan umatNya, Israel.
6:10 à
“datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga.” Bagi orang Israel, menantikan Kerajaan yang terjanji bukanlah barang baru. Dengn kata lain mereka “sudah bosan” menantikan janji Kerajaan ini sejak nenek moyang mereka, Daud, Salomo, Raja-Raja, Imam-Imam dan Nabi-Nabi Israel, kemudian sampai pada masa pelayanan Yesus dan Yohanes Pembaptis, belum juga ada titik terang mengenai pemenuhan janji tersebut. Tentang itu Yesus mengajarkan mereka supaya senantiasa memohon kepada Bapa dengan mengucapkan “datanglah KerajaanMu”, supaya Bapa memberikannya kepada mereka. Orang Yahudi yang menantikan janji ini harus berdoa dengan tekun dan tak henti. Ketika kerajaan itu sunggu-sungguh datang maka suasana surgawi di bumi benar-benar terasa. Selama Yesus melayani di bumi, mereka telah merasakan atau mencicipi nikmatnya suasana kerajaan itu melalui tanda-tanda ajaib yang dapat disebut sebagai uang muka sebelum realisasinya. Mereka inilah yang dikatakan Ibrani sebagai yang telah mengecap karunia surgawi. Etika-etika kerajaan juga sudah disampaikan oleh Yesus kepada mereka dalam Sinoptik. Permintaan “jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga”  bukanlah permintaan kosong, melainkan suatu kebenaran yang akan pasti terjadi. Nabi Yesaya sudah menyampaikannya dalam nubuatan tentang kerajaan Mesianis (Yes.11), di mana keharmonisan alam sungguh terjadi dalam kerajaan Mesianis. Tiada yang lebih indah memang selain kehendak Tuhan digenapkan atas bumi ini, yakni kedaulatanNya atas semesta dalam pemerintahanNya.
6:11 à
“Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” merupakan refleksi eskatologis di masa sesudah itu, bahwa bangsa Israel akan memasuki masa kesusahan besar yang sangat sukar. Mereka diajarkan berdoa untuk situasi sulit ini, terutama supaya kebutuhan sehari-hari dalam masa itu dapat terpenuhi. Kita tahu bahwa kekuasaan anti kristus dalam masa kesusahan besar nanti akan meliputi aspek sosial, agama, ekonomi dan politik. Selain refleksi teologi, refleksi praktis juga dapat dilaksanakan dalam keseharian mereka pada waktu itu, yakni mereka tetap berharap pada pemeliharaan Bapa atas segala sesuatu dalam hidup mereka.
6:12 à
“dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Kalimat ini dapat dikatakan kalimat bersyarat, dengan pengertian bahwa seorang yang hendak diampuni Bapa kesalahannya haruslah ia terlebih dulu mengampuni orang lain yan bersalah padanya. Kalimat ini memang harus dipahami dalam konteks sebelum salib, yakni mengacu kepada tradisi Yudaisme tentang etika hidup bersama yang berkaitan erat dengan hubungan mereka dengan Tuhan. Kekudusan di antara umat Yahudi mempengaruhi kudusnya relasi mereka dengan Tuhan.
Kelalaian dalam hal tradisi ini berakibat sangat fatal bagi Israel (dijelaskan dalam ayat 14,15). Dicatat dalam ayat 15: “jikalau kamu tidak mengampuni kesalahan orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” Demikianlah cara manusia (Yahudi) memperoleh ampunan Bapa ketika itu dan mereka cukup taat dalam hal-hal saling mengampuni di antara mereka. Jebakan dalam diskusi kelas teologi ialah peserta akan mulai berpikir membuat penerapan dogmatis-praktis untuk saling mengampuni sesama sebagai suatu kebiasaan baik yang dapat dilestarikan dalam kehidupan Kristen. Namun demikian peserta mungkin lupa memperhitungkan aspek teologis dari pengertian ini, bahwa sikap demikian sangat mengabaikan pengorbanan darah Kristus di kayu salib sebagai pengampunan dan penghapus dosa kita. Salib memecah kebuntuan dan kejenuhan tradisi usang tak bermutu itu. Tanpa itu konsep pengampunan kita hanya “jalan di tempat” saja. Umumnya pada masa kini orang meminta maaf atas kesalahan yang dia lakukan dan pihak kedua akan memberi maaf, bukan mengampuni. Semua manusia di bumi membutuhkan ampunan dari yang Mahakuasa yang tercerminkan dalam praktek hidup dalam keagamaan masing-masing. Sekalipun demikian sikap memberi dan menerima maaf atau ampun boleh dilakukan namun tidak terkait dengan terampunnya seseorang di hadapan Allah.
                           


Kepustakaan:
Agustinus. Institutio Pengajaran Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, jilid 1. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2002.
Charles F. Baker. A Dispensational Theology. Grand Rapids: Grace Publications, 1971.
A.G. Hong Jr. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Charles F. Baker. Understanding The Gospels A Different Approach. Grand Rapids: Grace Publications, 1971.
Joel Finck. The Mistery. Grand Rapids: Grace Publications, 1970.
Horst Balz dan Gerhard Schneider. Exegetical Dictionary Of The New Testament, volume 1. Grand Rapids: William Eerdmans Publication Co, 1994.
R.Sudarmo. Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
Frans P. Tamarol. Ayat-Ayat Alkitab Saling Bertentangan Benarkah? Jakarta: Yayasan Pelayanan Literatur Anugerah, 2005.
Joe Jordan & Tom Davis. Countdown to Armagedon. peny., Charles Ryrie, Jordan dan Tom Davis. Batam: Gospel Press, 2002.
Charles L. Feinberg. Premillenialism or Amillenialism?  Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1936.
John F. Walvoord & Roy B. Zuck. The Bible Knowledge Commentary. Wheaton: Victor Books, 1986.
William W. Menziea & Stanley M. Horton. Doktrin Alkitab. Malang: Gandum Mas, 2003.
Cornelius Stam. Tings That Differ.  Grand Rapids: Grace Publications, 1971



[1]Agustinus, Institutio Pengajaran Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal. 187.
[2]J.N Geldenhuys, “Doa Bapa Kami” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, jilid 1, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2002), hal. 252.
[3]Agustinus, Institutio, hal. 191.
[4]Charles F. Baker, A Dispensational Theology, (Grand Rapids: Grace Publications, 1971), hal. 396.
[5]A.G. Hong Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hal. 45. (pemaknaan doa ini diterapkan dalam kepercayaan dinamisme dalam penyembahan biasanya).
[6]Baker, Understanding The Gospels, hal. 76.
[7]Geldenhuys, “Doa Bapa Kami” dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, jilid 1, (Jakarta: YKBK, 2002), hal. 252.
[8]Baker, A Dispensational Theology, 397.
[9]Geldenhuys, 252.
[10]Baker, Understanding The Gospels, hal. 82.
[11]Finck, The Mistery, 99.
[12]Horst Balz dan Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary Of The New Testament, volume 1, (Grand Rapids: William Eerdmans Publication Co, 1994), hal. 505.
[13]R.Sudarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hal. 43.
[14]Frans P. Tamarol, Ayat-Ayat Alkitab Saling Bertentangan Benarkah?, (Jakarta: Yayasan Pelayanan Literatur Anugerah, 2005), hal. 127.
[15]Geldenhuys, 253.
[16]Charles F. Baker, Understanding The Gospels A Different Approach, (Grand Rapids: Grace Bible College Publications, 1978), hal. 82.
[17]Joe Jordan, “Seribu Tahun yang Maha Indah,dalam Countdown to Armagedon, peny., Charles Ryrie, Jordan dan Tom Davis (Batam: Gospel Press, 2002), 243
[18]Charles L. Feinberg, Premillenialism or Amillenialism? (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1936), 168.
[19]John A. Martin, “Isaiah,” dalam “The Bible Knowledge Commentary, peny., John F. Walvoord & Roy B. Zuck (Wheaton: Victor Books, 1986), 1057.
[20]William & Stanley, Doktrin Alkitab, 101.
[21]Finck, The Mistery, hal. 83-84.
[22]Stam, Tings That Differ, hal. 14.
[23]Finck, The Mistery, 55.

Tidak ada komentar:

DOKTRIN KRISTUS (KRISTOLOGI)

PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG KRIST US A.       Ebionisme: “Yesus manusia biasa, diangkat menjadi Mesias karena kesalehan.” Go...