Abstrak
Penyajian
prinsip persembahan berdasarkan 2Korintus 8 dan 9 dapat diaplikasikan dalam
hidup beriman Kristen. Persembahan ini meliputi makna simbolis, makna tuaian (2Kor. 9:6-11), persaingan sehat (2Kor. 9:1-5), harus
diawasi secara teliti (2Kor. 8:16-24), merupakan keseimbangan dan kesetaraan, bernilai Proposional, didasari oleh salib
Kristus, merupakan suatu kharisma, dan merupakan suatu ungkapan
rahmat Allah. Umat Allah diberikan kesempatan yang sama dalam memberi berdasarkan
kerelaan masing-masing.
Kata kunci:
Persembahan, Korintus, Paulus, Teologis-Biblikal dan Pola Iman.
A.
Pendahuluan
Kehidupan
Kristen kita tidak terlepas dengan kegiatan memberi persembahan dalam kegiatan
agmawi kita. Bahkan dengan sangat kreativ gereja-gereja memberi nama spesifik
bagi bentuk-bentuk persembahan yang bersifat umum maupun khusus, insidentil
maupun terprogram. Saya menjumpai dan mengamati ada gereja yang mengajarkan teologi berkat-kutuk untuk memobilisasi
jemaatnya agar sebanyaknya memberi persembahan bagi khas gereja. Berkat
melimpah, kehidupan makmur sejahtera menjadi tujuan memberi dengan prinsip atau
tujuan “akan menuai 30, 60 dan 100 kali ganda”. Tidaklah mengherankan gereja
memiliki saldo keuangan yang fantastis, hamba Tuhan, Gembala dan pengerjanya
makmur.
Tanpa
didasari prinsip Biblikal Kristen, memberi persembahan dapat salah terapan, salah
kaprah, salah arah, salah motivasi dan salah tujuan. Apapun alasan jemaat
memberi persembahan dan seberapa besar persembahan itu tetaplah bermanfaat bagi
perkembangan suatu gereja. Prinsip-prinsip yang benar dalam memberi persembahan
bagi gereja masa kini dapat ditemukan dalam 2Korintus 8 dan 9 dimana Rasul Paulus
mengembangkan beberapa prinsip persembahan Kristen.
B.
Persembahan Kristen merupakan suatu ungkapan rahmat Allah
Jika kita teliti secara
mendalam dalam kitab 2Korintus 8 dan 9 ini, Paulus tidak mulai dengan
mengacu pada kemurahan hati gereja-gereja Makedonia di Yunani bagian utara. Namun ia langsung
kepada alasan memberi persembahan yaitu kemurahan Tuhan, kasih karunia yang dianugerahkan kepada jemaat-jemaat di Makedonia”. Sebagaimana dikatakan
John Stott “Kasih karunia
adalah kata lain dari kemurahan hati. Dengan kata lain, di balik kemurahan hati
jemaat Makedonia, Paulus melihat kemurahan Allah,”[1] maka Allah kita yang senantiasa
menganugerahkan rahmat adalah Allah yang murah hati, dan Dia sedang bekerja
membuat jemaat-Nya menjadi murah hati pula. Seolah-olah karakter Allah ini menjadi dasar
gerakan hati memberi persembahan. Seorang penulis mengatakan: “Dalam terang
anugerah-Nya yang tak terbatas, satu-satunya kewajiban orang percaya tentulah
mengucap syukur lewat puji-pujian dan perbuatan baik (Ef. 2:8-10).”[2] Wujud
dari perbuatan baik itu salah satunya adalah memberi persembahan bagi Allah.
Paling tidak ada tiga situasi yang datang bersamaan dengan kemurahan hati memberi dari orang-orang Makedonia, yaitu
pencobaan yang berat, sukacita yang meluap dan kemiskinannya. Dapat dikatakan orang-orang Makedonia memberikan
lebih dari yang mereka mampu, dan mereka memohon kehormatan untuk melakukannya.
Seorang hamba
Tuhan terkenal, Charles R. Swindoll pernah berkata tentang jemaat Makedonia: “Pemberian
mereka mengalir dengan kemurahan hati yang disertai pengorbanan. Tidak ada
orang kikir di antara mereka. Sungguh luar biasa!”[3]
Mungkin tidak berlebihan jika kita meneladani orang Makedonia dalam hal memberi
persembahan.
Kemudian kita dapat melihat bagaimana Paulus mendesak Titus
untuk menyelesaikan hal-hal yang telah ia mulai di Korintus, ibukota Akhaya,
beberapa waktu sebelumnya. Titus telah menasihati orang-orang Korintus untuk memberi sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang Makedonia.
“Paulus
mengharapkan dan mengajak jemaat supaya dengan murah hati ikut serta dalam
“pelayanan kasih” itu menuruti teladan baik jemaat-jemaat di Makedonia. Karena
itu ia mengambil tindakan untuk menghilangkan segala curiga (8;1-23).
Pengumpulan dana itu sudah lama dimulai, tetapi rupanya di Korintus tidak jalan
dengan lancar (8:6-7. 10-11; 9:2-5).”[4]
Dalam bagian ini kita dapat
melihat Paulus memulai dengan kasih karunia atau kemurahan Allah dalam jemaat Makedonia di
Yunani bagian utara dan dengan rahmat Allah yang sama di jemaat Akhaya di
Yunani bagian selatan. Kemurahan hati Kristen mereka adalah luapan kemurahan
Allah yang telah
dilimpahkan atas mereka.
“Setelah kita
ditebus menjadi anak-Nya melalui iman kepada Kristus, Tuhan ingin membentuk
kita agar memiliki karakter yang telah menjadikan Kristus berbeda dari
orang-orang lain pada jaman-Nya. Tuhan berkehendak untuk mengembangkan
sikap melayani dan memberi dalam diri
setiap anak-Nya, sama seperti yang dimiliki oleh Kristus.”[5]
Sudah selayaknya seorang
Kristen sebagai anggota tubuh Kristus yang sudah memiliki jaminan kepastian
keselamatan di dalam dirinya, harus memahami akan keterpanggilan dan
tanggungjawab sebagai seorang pelayan Tuhan yang siap sedia dalam segala hal
untuk melayani dan memberi seluruh apa yang menjadi miliknya baik itu uang,
waktu, tenaga dan pikiran sebagai suatu persembahan yang hidup, yang kudus dan
yang berkenan kepada Allah karena itu adalah ibadah yang sejati (Rm. 12:1; Kol. 3:23-24).
C.
Persembahan Kristen menjadi suatu kharisma, yaitu karunia Roh Kudus.
Ayat dalam 2Korintus 8:7 mengatakan bahwa memberi adalah bagian dari
karunia Allah yang diberikan kepada orang percaya, “maka sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu, dalam
iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk
membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami demikianlah juga hendaknya kamu kaya
dalam pelayanan kasih ini” (2 Kor. 8:7). Perhatikan, orang-orang Korintus telah maju dalam karunia Roh berupa iman,
perkataan, pengetahuan, kesungguhan, dan kasih, dan sekarang rasul Paulus
mendorong
mereka untuk maju juga dalam “karunia memberi” ini. Demikian pula dalam Roma 12:8
Paulus memasukkan karunia roh lainnya ke dalam daftar, yaitu “menunjukkan
kemurahan”. Kemurahan untuk memberi adalah karunia roh. Goppelt,
seperti dikutip Carson mengatakan: “persembahan rohani bukan perbuatan-perbuatan
lahiriah sebagai ketaatan pada hukum-hukum tertulis, melainkan penyerahan yang
diilhami oleh Roh Kudus untuk mengerjakan semua pelayanan.”[6] Maka,
memberi persembahan tidak dapat dipisahkan dari gerakan Roh Kudus dalam hati
orang percaya.
Banyak dari karunia Allah
dianugerahkan secara murah hati sampai batas tertentu untuk semua orang percaya
dan dianugerahkan secara luar biasa kepada beberapa orang. Demikian juga, semua
orang Kristen dipanggil untuk menjadi murah hati, tetapi beberapa diberi khusus
“karunia untuk memberi”. Mereka yang dipercayai mengelola sumber-sumber
finansial yang signifikan mempunyai tanggung jawab khusus untuk menjadi pelayan
yang baik atas sumber-sumber itu.
D.
Persembahan Kristen didasari
oleh salib Kristus
Rasul Paulus
berkata: “Aku mengatakan hal itu bukan
sebagai perintah, melainkan, dengan menunjukkan
usaha orang-orang lain untuk membantu, aku mau menguji keikhlasan kasih kamu.
Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia,
yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi
kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2
Kor. 8:8-9). Salib Kristus
merupakan kekayaan rahmat Allah yang menyelamatkan orang percaya. Pengorbanan
yang demikian itu dapat menjadi landasan bagi ketekunan memberi persembahan.
Dalam hal ini bukan ajakan memberi dengan kemurahan hati tetapi refleksi atas
karya salib Kristus itu menguatkan semangat memberi. Paulus menguji ketulusan kasih mereka dengan membandingkannya
dengan orang lain dan terlebih lagi dibandingkan dengan kasih Kristus, karena
mereka mengenal “kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus”. Sama juga seperti dikatakan Einar M. Sitompul, “memberi persembahan, pada hakikatnya, adalah pola kehidupan orang
Kristen, meniru apa yang dilakukan Allah melalui Tuhan Yesus.”[7] Jadi prinsipnya adalah apa yang telah Allah
lakukan untuk kita begitu pula seharusnya yang kita lakukan bagi Allah.
Perhatikan dua acuan kemiskinan dan
kekayaan. Karena kemiskinan kita Kristus meninggalkan kekayaan-Nya, sehingga melalui kemiskinan-Nya
kita menjadi kaya. Tentu bukanlah kemiskinan dan kekayaan material yang ada di benak Paulus.
“Kemiskinan” Kristus terlihat dalam inkarnasi-Nya dan terutama dalam
salib-Nya, sedangkan “kekayaan” yang diberikan adalah keselamatan dalam segala
anugerah-Nya, yang melimpah. Saat kita memberikan persembahan,
kita juga merefleksikan salib, dan semua yang telah didapatkan bagi kita
melalui kematian Kristus. Betapa tidak sepadannya kekayaan duniawi kita
dibandingkan dengan kemurahan hati
Allah menyediakan keselamatan melalui salib!
E.
Persembahan
Kristen adalah persembahan yang Proposional
Landasan
alkitab ialah: “Hendaklah pelaksanaannya sepadan
dengan kerelaanmu, dan lakukanlah itu dengan apa yang ada padamu. Sebab jika
kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu
berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu” (2 Kor. 8:11-12).
Peringatan
keras Rasul Paulus kepada jemaat yang ada di Korintus supaya mereka yang hendak memberikan persembahan ke dalam pelayanan gereja tubuh
Kristus, harus dengan kerelaan hati dan sesuai dengan apa yang ada pada mereka
bukan karena kepaksaan. Tuhan tidak
meminta apa yang tidak kita punyai dan kita tidak mungkin bisa memberi dari apa
yang tidak kita punyai. John Stott memberi ulasan demikian:
“Sepanjang tahun sebelumnya
orang-orang Kristen Korintus telah menjadi yang pertama, bukan hanya dalam
memberi tetapi juga dalam keinginan untuk memberi. Jadi, sekarang Paulus
mendorong mereka untuk menyelesaikan tugas yang telah mereka mulai, sehingga
yang mereka lakukan sesuai dengan yang mereka inginkan. Ini harus sesuai dengan
apa yang ada pada mereka. Sebab persembahan Kristen adalah persembahan yang
proposional. “Keinginan kuat datang lebih dahulu; sejauh ada keinginan, pemberian
itu diterima berdasarkan apa yang ada pada si pemberi”.[8]
Frasa ungkapan “lakukanlah dengan apa yang ada padamu” mestinya
mengingatkan kita tentang dua ungkapan senada dalam Kisah Para Rasul 11:29. Anggota-anggota
gereja di Antiokhia memberi kepada orang-orang Kristen Yudea yang tertimpa
kelaparan “sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing”. Dalam Kisah Para
Rasul 2 dan 4 anggota gereja di Yerusalem memberikan “kepada masing-masing
sesuai dengan kebutuhannya”.
F.
Persembahan
Kristen merupakan keseimbangan dan
kesetaraan.
Ayat dalam
2Korintus 8:13-15 dikatakan: “sebab
kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan,
tetapi supaya ada keseimbangan. Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu
mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan
kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: Orang yang
mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak
kekurangan.” Harapan Paulus, sebagaimana ia jelaskan kemudian, bukanlah agar orang
lain mendapat keringanan sementara mereka harus dibebani oleh kesukaran orang
lain itu. Yang seperti ini hanya membalik keadaan, memecahkan satu masalah
dengan menciptakan masalah yang lain. Paulus menginginkan “agar ada
kesetaraan”. Pada waktu itu, jemaat Korintus yang berkelebihan akan mencukupkan
kebutuhan jemaat Korintus yang
berkekurangan. “Maka, akan terjadi kesetaraan dan keseimbangan”. John Stott
menulis bahwa prinsip ‘manna di padang gurun’ berlaku dalam jemaat.
“Paulus mengilustrasikan prinsip ini dengan pemberian manna
dipadang gurun. Allah menyediakan cukup untuk setiap orang. Keluarga yang besar
mengumpulkan banyak, tetapi tidak berlebihan. Keluarga yang lebih kecil
mengumpulkan sedikit, tetapi tidak terlalu sedikit, sehingga mereka tidak
kekurangan.”[9]
Paulus sedang menempatkan
kelimpahan beberapa orang seiring dengan kebutuhan orang lain, dan meminta
penyesuaian , yaitu mencukupkan kebutuhan dari yang kelimpahan. Hal ini
dilakukan dengan sudut pandang isotes, kata
Yunani yang dapat diartikan sebagai “kesetaraan” atau “keadilan”.
G.
Persembahan Kristen harus
diawasi secara teliti (2Kor.
8:16-24).
Satu hal yang harus dicamkan ialah mengelola uang merupakan
kegiatan yang penuh resiko, sehingga Paulus jelas sekali sadar terhadap bahaya-bahayanya. Dikatakan dalam 2Korintus 8:16-24: “kami hendak menghindarkan hal ini: bahwa ada orang yang dapat
mencela kami dalam hal pelayanan kasih yang kami lakukan”, dan “kami menanggung
resiko untuk melakukan yang baik, bukan hanya dihadapan Tuhan, tetapi juga
dihadapan manusia”. Hamba Tuhan
ataupun jemaat dapat tercela juga jika salah dalam pengelolaan dan penggunaan
keuangan gereja. Melakukan yang benar pun mengandung resiko. Edgar Walz menulis dalam bukunya bahwa, “Penggunaan uang yang
baik, memerlukan perencanaan. Rencanakan apa yang harus
dilakukan. Rencanakan biaya yang diperkirakan.”[10] Maka
mulai dari rencana, pendapatan, penganggaran, belanja, penggunaan,
pertanggungjawaban keuangan haruslah transparan, sebab sekecil apapun itu uang
milik Tuhan untuk kepentingan bersama dalam jemaat.
Mengingat bahaya dari kekeliruan pengelolaan keuangan yang mungkin saja
terjadi, langkah apa sajakah
yang diambil oleh Paulus? Pertama, rasul Paulus tidak ingin menangani peraturan keuangan itu sendiri, melainkan menugaskan
Titus untuk melakukannya dan memberikan kepercayaan penuh kepadanya. Kedua, Paulus menambahkan bahwa ia
sedang mengirim bersama Titus seorang saudara yang lain, yang “dipuji oleh
jemaat karena pelayanannya kepada Injil”. Ketiga,
saudara yang lain ini telah “ditunjukkan oleh jemaat untuk menemani” Paulus dan
membawakan pemberian itu (lihat 1 Kor. 16:3) orang yang membawakan persembahan
itu ke Yerusalem telah dipilih oleh jemaat karena kepercayaan mereka kepadanya. Ada kesadaran kepada perkara keuangan ini
dapat dipercayakan pengelolaannya. Jadi harus orang yang terkenal jujur dan memiliki
integritas dalam pelayanan.
Andreas Untung Wiyono dalam bukunya ia menulis bahwa:
“Uang
dan harta benda gereja adalah sumber daya yang besar. Dalam praktik, besar
kecilnya sumber daya ini dapat disediakan oleh gereja, berpengaruh kepada
kuantitas dan kualitas yang diperoleh dari pekerjaan/pelayanan yang dihasilkan.
Meskipun uang dan harta benda gereja bukan satu-satunya sumber daya yang
menentukan, namun dalam praktik sangat dibutuhkan. Oleh karena itu,
penggelolaan sumber daya ini perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.”[11]
Lebih baik gereja dengan hati-hati
mempertimbangkan jumlah orang yang hadir saat persembahan dihitung, dan
menyajikan laporan berjangka kepada jemaat mengenai keuangan gereja. Transparansi dalam jumlah persembahan yang
diterima dapat meningkatkan kepercayaan jemaat kepada hamba Tuhan dan pengurus
dalam jemaat.
H.
Persembahan Kristen dapat digerakan dengan
sedikit persaingan sehat (2Kor.
9:1-5).
Paulus
mengangkat nama jemaat sebagai pembanding bagi yang lainnya. Kepada gereja-gereja di Yunani sebelah utara (yaitu Filipi),
Paulus telah membanggakan kesiapsediaan gereja di Yunani sebelah selatan (yaitu
Korintus) untuk memberi, dan antusiasme ini telah menggerakan orang-orang utara
untuk bersaksi. Sekarang Paulus sedang mengirim saudara-saudara yang telah
disebutkan ke Korintus untuk menyakinkan bahwa kemegahannya tentang orang-orang
selatan bukanlah omong kosong belaka, dan bahwa mereka akan siap seperti telah
dikatakannya.
“Biasanya orang dapat melaksanakan penatalayanan waktu, bakat dan
kemampuan, tanpa ada rasa sesuatu yang “hilang”. Tapi apabila orang harus
melaksanakan penatalayanan uang, maka terciptalah dihadapannya dua pilihan yang
berat: antara menyangkal diri sendiri (mengatasi rasa kehilangan sesuatu itu),
dan menuruti diri sendiri. Hanya sedikit orang yang dengan mudah dapat
mengambil pilihan yang tepat.)”[12]
Adalah hal
yang memalukan sakma sekali, jika
beberapa orang utara datang bersama Paulus dan menemukkan bahwa orang-orang
selatan tidak siap. Jadi, Paulus mengirim saudara itu lebih dahulu, untuk
menyelesaikan persiapan dan pengaturan pemberian yang telah mereka janjikan. Dan mereka
dapat bersiap-siap dan pemberian mereka akan menjadi bukti kemurahan hati
mereka tanpa bersungut-sungut. Dengan cara membanggakan kemurahan hati orang-orang selatan, Paulus berharap orang-orang utara juga akan menyumbang dengan murah hati. Sehingga Paulus dengan halus mendorong orang-orang selatan untuk memberi dengan murah hati,
sehingga orang-orang utara tidak kecewa kepada mereka.
Sangatlah menarik melihat cara bagaimana Paulus mempertemukan orang-orang utara dan selatan untuk
membangkitkan kemurahan hati kedua belah pihak. Inilah yang dikatakan sebagai kompetisi sehat dalam
jemaat. Namun ini juga adalah
permainan berbahaya, karena
menyangkut nama para pemberi atau donatur dan jumlah yang mereka berikan. Akan
menjadi isu yang sensitiv. Tetapi Tuhan dapat menggerakkan setiap kita untuk menjadi lebih murah hati dengan mendengar kemurahan hati
orang lain.
I.
Persembahan
Kristen menyerupai tuaian (2Kor.
9:6-11).
Pertama, jelas kita menuai apa yang kita tabur. Siapa pun yang menabur sedikit
akan menuai sedikit, dan siapa yang menabur banyak akan menuai banyak pula. Istilah “menabur” adalah lukisan yang jelas tentang orang yang memberi. Lalu
apa yang mereka tuai? Semestinya kita tidak menafsirkan maksud Paulus secara
harafiah, seolah-olah ia berkata bahwa makin banyak kita memberi makin
banyak pula kita akan mendapat. Tidak. Setiap kita harus memberi “seturut
kerelaan hatinya”, tidak dengan berat hati, atau karena dipaksa, sebaliknya
dengan sukacita dan tanpa bersungut-sungut, karena “Allah mengasihi orang yang
memberi dengan sukacita”. Baiklah kita
mencermati frase “hendaklah
masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya”. Di sini
terdapat semacam keyakinan yang sudah tetap tentang jumlah yang harus
diberikan, suatu keputusan yang diambil setelah pertimbangan yang matang, dan selalu dalam sukacita dan
kegembiraan. “Jarang sekali kita perlu memberi dengan tiba-tiba tanpa
pertimbangan yang matang. Jauh lebih baik jika kita mengambil waktu dan
menemukan keyakinan yang tetap.”[13] Sehingga hati bersukacita ada pada kita
menyertai pemberian yang kita lakukan.
Jika anggota jemaat memberi dengan semangat yang demikian, apa
yang akan terjadi? Buah-buah apa yang dapat anggota jemaat harapkan? Jawabannya
rangkap dua: “Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu”
sehingga “dalam segala sesuatu” (tidak selalu dalam hal-hal material) kamu
boleh mendapatkan semua yang kamu perlukan; dan kamu akan “berkelebihan di
dalam pelbagai kebajikan” karena kesempatan-kesempatan untuk pelayanan lebih
jauh akan makin besar. Sebagaimana dikatakan pemazmur, buah dari memberi kepada
orang miskin adalah kebajikan yang tetap untuk selama-lamanya (Mzm. 112:9).
Kedua, pastinya apa yang kita tuai mempunyai tujuan. Baik untuk kebutuhan konsumsi
maupun untuk musim tabur yang selanjutnya. Allah pemilik tuaian
tidak hanya memuaskan kebutuhan kita
masa kini, tetapi juga menyediakan bekal di
masa depan. Tepatnya, Dia menyediakan “roti untuk dimakan” (kebutuhan primer saat ini) dan “benih bagi penabur” (kebutuhan primer di masa-masa mendatang hidup kita). Dengan cara yang sama, Allah akan “menyediakan benih bagi kamu
dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu”. Barnet mengatakan:
“Pemberian membuahkan banyak hasil positif, yang sering disebutkan
dalam Alkitab. Diantaranya: pertama,
pemberian membuahkan ucapan syukur dan pujian (2 Kor. 9:11-13; Flp. 4:18; 1:3;
4:10,18). Kedua, pemberian membuahkan
doa (2 Kor. 9:14; Flp.1:3-5), Ketiga,
pemberian membuahkan kedewasaan (2 Kor. 8:1,7; 2 Kor. 9:10). Keempat, Pemberian mendorong orang lain
untuk memberi (2 Kor. 8:1-4; 2 Kor. 9:20).”[14]
Ayat-ayat ini adalah asal-usul
konsep “benih uang”, mengharapkan Allah melipatgandakan persembahan kita.
Paulus tidak mengajarkan “Injil kemakmuran”, sebagaimana diklaim beberapa kelompok Kristen.. Benar, ia menjanjikan bahwa “engkau akan menjadi kaya dalam
segala hal”, namun Paulus menambahkan langsung bahwa hal ini “agar engkau dapat memberi
dengan murah hati dalam segala kesempatan” dan dengan demikian memperbesar
persembahan Anda. Perhatikan
prinsip ini: kekayaan dibarengi dengan suatu
sikap kemurahan hati.
J.
Persembahan
Kristen memiliki makna simbolis
Ada makna tersembunyi dari persembahan
Kristen yang tidak terlihat dengan mata. Rasul Paulus sangat jelas jelas memaparkan tentang hal ini. Berhubungan
dengan masalah di gereja-gereja Yunani, Paulus menyiratkan pemberian mereka sebagai bentuk “pengakuan mereka akan Injil Kristus” (2 Kor. 9:13). Apa maksudnya Paulus disini? John Stott
mencoba menjelaskan demikian:
“Paulus
melihat lebih dari sekedar pengiriman uang, yaitu sampai pada makna simbolis
yang diwakilinya. Maknanya lebih dari sekedar geografis (dari Yunani ke Yudea) atau ekonomis (dari yang kaya kepada yang miskin). Makna pemberian itu
juga bersifat teologis (dari
orang-orang Kristen Yunani kepada orang-orang Kristen Yahudi), karena pemberian
itu adalah lambang solidaritas Yahudi-Yunani yang sengaja dan disadari, dalam
kesatuan tubuh Kristus.”[15]
Kebenaran “misteri” yang perlu dicatat yakni orang Yahudi dan bukan Yahudi diterima dalam tubuh Kristus dengan posisi yang sama,
agar dalam Kristus mereka menjadi ahli waris, sesama anggota, dan saling
berbagi, hanya diwahyukan kepada Paulus. Inilah esensi dari tulisan Paulus yang lain dari pada yang lainnya dalam Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Kebenaran ini disinggung di sini, tetapi di uraikan lebih
panjang dalam Roma 15:25-28. Pdt. Dr. Einar M. Sitompul mengatakan bahwa,
“Persembahan adalah lambang penyerahan diri kepada Tuhan. Ini adalah
ciri-ciri kemanusiaan yang baru.”[16] Menyerahkan diri menjadi milik gereja Tubuh
Kristus sama artinya dengan mempersembahkan segala sesuatu bagiNya.
Rasul Paulus mengatakan bahwa gereja orang Yunani di daerah Yunani “bersuka hati”
menyumbang bagi orang Kristen Yudea yang dilanda kemiskinan. Paulus menegaskan bahwa “Mereka memutuskan untuk melakukannya”. Memang, “itu adalah
kewajiban mereka. Sebab, jika bangsa-bangsa lain telah beroleh bagian dalam
harta rohani orang Yahudi” “maka wajiblah juga bangsa-bangsa lain itu berbagi
dengan orang Yahudi dengan harta duniawi mereka” (Rm. 15:27). “Dengan
cara serupa, persembahan Kristen dapat mengungkapkan teologi kita. Bila kita
memberi untuk kedewasaan gereja, kita mengakui tempat gereja pada pusat rencana
kehendak Tuhan untuk kedewasaan gereja.”[17]
K.
Persembahan
Kristen memupuk rasa penuh ucapan
syukur kepada Tuhan.
Paling tidak
dalam 2Korintus 9:11-15, emapat kali Paulus
menyatakan kepercayaannya bahwa hasil akhir persembahan orang-orang Korintus
akan memperbesar syukur dan pujian kepadaTuhan Yesus.
Kemurahan hati, yang membangkitkan
syukur kepada Allah oleh karena kami (ayat. 11). Bentuk pelayanan kasih yang berisi pemberian ini bukan hanya mencukupkan
keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur
kepada Allah (ayat 12). Mereka memuliakan Allah karena ketaatan kamu dalam
pengakuan akan Injil Kristus dan karena kemurahan hatimu dalam membagikan
segala sesuatu dengan mereka dan dengan semua orang,(ayat 13) Syukur kepada
Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!(ayat 15).
Persembahan Kristen yang
nyata dan tulus membuat orang lain tidak hanya berterima kasih kepada kita yang
memberi, tetapi juga bersyukur kepada Allah. Orang lain juga akan dapat melihat pemberian kita kepada mereka dalam terang kasih
karunia-Nya yang tidak terkatakan, ditunjukkan secara paling agung dalam
pemberian Anak-Nya.
Dalam buku “Prinsip-prinsip
memberi” karangan Kevin J. Conner dapat ditemukan hal-hal penting sebagai
berikut:
“(a) Memberi diri
kepadaTuhan (2 Kor. 8:5); (b) Memberi sesuai dengan kemampuan (2 Kor. 8:3,
2). Juga dalam Kel. 25:2 dan 1 Taw. 29:9; (c) Memberi dengan riang, dengan
senang hati (2 Kor. 9:7); (d) Memberi dengan sukacita, dengan bebas (2 Kor.
8:2). Juga dalam Yak. 1:5; (e) Memberi dengan layak (2 Kor. 9:6; 8:14-15); (f) Memberi secara
teratur (1 Kor. 16:1-2); (g) Memberi menurut kerelaan hati (2 Kor. 9:7); (h) Memberi dengan
kasih (2 Kor. 8:24); (i) Memberi disertai ucapan syukur (2 Kor. 8:24); (j) Memberi sebagai
seorang pelayan Tuhan dan orang-orang kudus-Nya (2 Kor. 9:11-13); (k) Memberi sesuai
dengan kemampuan (Ul. 16:17; Ezr. 2:69; Kis. 11:29; 2 Kor 8:12); (l) Memberi seperti
menabur benih iman (Gal. 6:7; Ams 11:25; Yer. 48:10); (m) Memberi dengan
hati yang ikhlas (Rm. 12:8); (n) Memberi dengan cuma-cuma, karena kita memperoleh
dengan cuma-cuma (Mat. 10:28); (o) Memberi kepada Tuhan bukan kepada manusia
(Mat. 6:3, 33).”[18]
Kesanggupan melepaskan lebih banyak uang yang
telah dipercayakan kepada kita sebagai pelayan akan bermuara dari hal-hal yang disampaikan Conner di atas.
Memperbesar ucapan syukur kepada Tuhan
Yesus demi keluhuran nama-Nya sungguh merupakan tujuan kita yang paling tinggi. Selamat memberi bagi Tuhan.
Kesimpulan
Orang-orang Makedonia memberikan lebih dari
yang mereka mampu, dan mereka memohon kehormatan untuk melakukannya. Paulus memulai dengan kasih karunia atau kemurahan Allah dalam jemaat Makedonia di
Yunani bagian utara dan dengan rahmat Allah yang sama di jemaat Akhaya di
Yunani bagian selatan. Kemurahan hati Kristen mereka adalah luapan kemurahan
Allah yang telah
dilimpahkan atas mereka. Ini dapat digolongkan sebagai karunia roh lainnya,
yaitu “menunjukkan kemurahan”. Kemurahan untuk memberi adalah karunia roh. Salib Kristus merupakan kekayaan rahmat Allah
yang menyelamatkan orang percaya. Pengorbanan yang demikian itu dapat menjadi
landasan bagi ketekunan memberi persembahan.
Tuhan tidak meminta apa yang tidak kita punyai dan kita tidak mungkin bisa
memberi dari apa yang tidak kita punyai. Kelimpahan beberapa orang seiring dengan kebutuhan orang lain, dan merupakan penyesuaian, yaitu mencukupkan kebutuhan dari yang kelimpahan. Keuangan gereja
harus dikelola dengan baik mulai dari rencana, pendapatan, penganggaran,
belanja, penggunaan, pertanggungjawaban keuangan haruslah transparan, sebab
sekecil apapun itu uang milik Tuhan untuk kepentingan bersama dalam jemaat. Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu”
sehingga “dalam segala sesuatu” (tidak selalu dalam hal-hal material) kamu
boleh mendapatkan semua yang kamu perlukan; dan kamu akan “berkelebihan di
dalam pelbagai kebajikan” karena kesempatan-kesempatan untuk pelayanan lebih
jauh akan makin besar. Bentuk pelayanan kasih yang berisi pemberian ini bukan hanya mencukupkan
keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur
kepada Allah.
KEPUSTAKAAN
Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2001.
Alkitab
Edisi Studi. Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 2010.
Alkitab
Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum Mas, 2010.
Azariah, V.S. Memberi Secara Kristen., Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1996.
Arkady, Stephane Iwan. Sumber Pembiayaan Gereja. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1976 .
Brill, J. Wesley. Tafsiran Surat Korintus Kedua. Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 2003.
Barnett, Jake. Harta dan Hikmat.Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1993.
Barclay William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari Surat 1 & 2 Korintus. Jakarta:
BPK. Gunung Mulia, 2009.
Baxter, J. Sidlow. Menggali Isi Alkitab 4 Roma – Wahyu, Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, 2008.
Beyer Ulrich. Sukacita
Memberi Tafsiran Korintus. Jakarta:
BPK. Gunung Mulia, 2010.
Burkett Larry. Mengatur Keuangan Dengan Bijak. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006.
Elim, Jerry. J. Persepuluhan Alkitabiah tapi Tidak Injili, Manado: CV. Agung Abadi,
2009.
Pfitzner V.C. Ulasan Surat 2 Korintus. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2008.
Sitompul, Einar M. Gereja Menyikapi Perubahan. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004.
Stott, John, The Living Church.Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2009.
Swindoll, R. Charles, Meningkatkan Pelayanan Anda, Bandung: Pionir Jaya, 2005.
Wagner, C. Peter. Memimpin Gereja Anda Agar Bertumbuh. Jakarta: Harvest Publication
House, 1995.
[2] D.A. Carson, Gereja Zaman
Perjanjian Baru dan Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 1997), hal. 147.
[3] Charles R. Swindoll, Meningkatkan
Pelayanan Anda, (Bandung: Pionir Jaya, 2008),, hal. 48
[4] Dr. C. Groenen OFM, Pengantar
ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: KANISIUS, 2006), hal. 243.
[5] Charles R. Swindoll, Ibid,
hal. 15
[6] D. A. Carson, Ibid, hal.
153
[7] Dr. Einar M. Sitompul, Ibid,
hal. 162
[8] John Stott, Ibid,hal. 11
[9] John Stott, Ibid, 112
[10] Edgar Walz, Bagaimana
Mengelola Gereja Anda, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), hal. 106
[11] Andereas Untung Wiyono & Sukardi, Manajemen Gereja, (Jakarta: Bina Media Informasi, 2010), Hlm. 119
[12] Iwan Stephane Arkady. S.Th, Ibid,
hal. 84
[13] Jhon Stott, Ibid, hal.
120
[14] Jake Barnett, Ibid, hal.
172-173
[15] John Stott, Ibid, hal.
121
[16] Pdt. Dr. Einar M. Sitompul, hal.162
[17] John Stott, Ibid, hal.
122
by >>ybyf<<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar